Malam ini dapat pelatihan singkat jenis-jenis murai dan karakteristiknya dari seorang teman penghobi burung. Menurutnya, burung murai yang paling bagus itu berasal dari Medan. Kalau yang paling jelek itu dari Lampung. “Jambi masih di tengah-tengah,” ujarnya.
“Lha burung kan berpindah-pindah. Gimana cara tau kalau murai itu dari Medan?”
Kata teman saya, murai Medan punya ekor paling panjang. Bisa sampai 20 centimeter. Ekornya juga bergerak-gerak seperti reog. Murai yang nyaris serupa adalah murai Aceh. Ekor panjang, namun dengan ukuran tubuh yang lebih besar.
Kalau murai dari Nias, warna kepala hingga ekor hitam. Panjang badannya sekitar 18 centimeter. Nah, pembedanya dengan murai Medan adalah jenis Medan punya warna putih di atas ekor.
Percakapan ini bermula dari cerita sang kawan yang sedang pusing. Makan tak enak. Dicium istri terasa hambar. Penyebabnya: murai kesayangannya lepas dari kurungan. Saya tahu perasaannya.
Almarhum Ayah pernah menjadi penghobi burung. Dulu, di puncak kegilaan terhadap hobinya, ada puluhan jenis burung di rumah. Mulai cendet, kacer, kenari, sampai cucak rowo. Suatu hari burung kesayangannya hilang. Ia mengajak saya mencarinya. Berkeliling. Bertanya pada tiap anak yang hobi menjaring burung. Hasilnya nihil. Burungnya tak kembali. Ayah lantas jadi mirip orang digendam. Linglung.
“Murai itu gak ada yang murah. Yang sudah bisa berkicau harganya bisa Rp 2,5 juta,” kata teman saya itu, mengenang kembali rasa pahitnya.
Saya membayangkan ekspresi kawan saya yang muram itu. Tapi saya pasti akan tertawa geli. Ia memang dikenal punya ekspresi yang bisa memancing tawa. Kawan saya itu tambah pusing karena sudah memelihara murai sedari belum bisa berkicau. Ia menyebut harga Rp 1,25 juta saat pertama membeli. Mahal. Apalagi untuk saya yang tak hobi burung.
“Istrimu tahu soal harga segitu?” goda saya.
“Tahu dong. Kan sebagai keluarga kami harus terbuka. Kenapa, Ran?”
“Oh enggak, mau aku pakai buat bahan tulisan.”
“Hehh! Ojo cuk. Aku bilang ke istriku harganya cuma Rp 700 ribu.”
Saya ngikik.