“Ayo ke Korea.”
Aku bengong. Ke Korea? Ngapain? Aku tahu belakangan ini dia lagi gandrung serial Korea. Dia punya satu grup WA dengan seorang kawan baiknya, gambar profile picture grup ini adalah seorang aktor Korea yang aku tak tahu namanya. Vibe bapak paruh baya yang kalem dan ganteng gitu. Dia bahkan memutuskan beli tiket konser Blackpink, Maret 2023.
Namun bukan itu semua yang membuatnya ingin ke Korea.
“Aku baca, pemerintah Korea bikin kebijakan buat mengurangi umur warganya, setahun lebih muda,” ujarnya saat kami sedang mencari makan.
Aku terkekeh.
Kenapa dia, dan banyak temanku, suka sekali dengan usia muda? Apa salahnya jadi tua, sih?
Dia bicara ihwal pemerintah Korea dan kemudaan sehari sebelum dia berulang tahun. Usianya akan jadi 39. Terpaut sekitar 3 tahun, 11 bulan, 17 hari denganku, kalau aku tak salah hitung. Ia selalu menekankan bahwa usia kami beda tiga tahun. Iya, tiga tahun, bukan empat tahun, kok. Aku selalu menghiburnya seperti itu. Padahal apa masalahnya sih lebih tua ketimbang pasanganmu?
Aku selalu suka perempuan yang berada di fase lewat 30 tahun. Bagiku, ini adalah usia perempuan yang matang, dan akan lebih matang seiring waktu. Di fase ini, berdasarkan pengalamanku menjalani hubungan sejak usianya 28 tahun (dan aku lebih muda 3 tahun, 11 bulan, dan 17 hari darinya), dia sudah lebih tenang, kalem, dan perlahan tahu apa yang dia mau.
Hubungan kami tak mulus, tentu saja. Di usia 28 itu, hidupnya seperti digelayuti awan gelap dari masa lalu. Awan yang sudah mengikutinya seperti bayangan sejak bertahun lampau itu berpengaruh besar dalam caranya menjalani hubungan. Termasuk denganku. Kadang, kalau kami sedang menengok ke belakang, kami takjub juga bagaimana kami bisa bertahan sampai sejauh ini.
Dua tahun kemudian, kami menikah. Usianya 30 lebih beberapa bulan. Entah pengaruh umur atau karena awan gelapnya sudah perlahan hilang, dia jadi lebih kalem. Hubungan kami tak lagi seperti roller coaster, melainkan jadi seperti kereta lori yang jalan perlahan, tak perlu ketergesaan, di jalur yang rata dan mendatar.
“Hidup sama kamu itu kalo dipikir-pikir datar banget, ya,” ujarnya suatu ketika.
Aku menganggap itu pujian, mengingat betapa berantakan cerita tentang masa lalunya.
Di usia 30, dia juga sudah tahu apa yang dia mau. Dia bekerja keras untuk itu. Kadang kami bertengkar karena perbedaan cara kami memandang tujuan. Aku berpikir hidup yang berarti dan layak dijalani itu adalah kerja sedikit, banyak mainnya. Dia sebaliknya. Sangat ingin pekerjaannya selesai dengan cepat, untuk kemudian disiram pekerjaan lain (yang akan dikerjakannya dengan lekas, dan tentu punya dampak besar pada kesehatannya, baik fisik maupun mental).
Belakangan, setelah melewati banyak debat dan pertengkaran, aku menyadari bahwa dia yang memilih jalan itu dengan sadar dan penuh pertimbangan. Lagipula, kan memang aku yang sejak awal sudah memutuskan akan menemaninya dan “…be here standing until the bitter end.”
Usia kami merambat naik dengan melewati banyak hal bersama. Juga tak melewatinya bersama, alias menjalani momen kami sendiri-sendiri. Tak apa. Kami tak harus bersama setiap saat, dan memang seharusnya seperti itu kan? Aku percaya padanya, dan dia percaya padaku. Dalam beberapa masa, kami merasa perlu menjalani hidup masing-masing, merdeka melakoni kesukaan dan kegemaran yang berbeda, serta nongkrong dengan teman-teman berbeda pula. Itu jarak yang kupikir amat perlu. Membiarkan kami menjalani hidup seperti ketika belum saling kenal.
Suatu waktu, dia mengirimiku tautan di Twitter. Isinya sebuah utas singkat tentang hubungan gitu, lah. Dan tanpa disangka, dia mengirimi pesan yang bikin aku senyum-senyum macam bocah SMA lagi jatuh cinta.
Aku selalu bilang padanya kalau usianya yang semakin beranjak tidak akan mengubah apapun penilaianku terhadapnya. Usia bertambah hanya akan menambah pesonanya. Yaaa, paling tidak buatku ya, yang memang sejak dulu menyukai perempuan usia 30 ke atas. Pure mature (if you know, you know). Maka di mataku dia punya daya pikat yang berbeda ketika kami pertama kenal di usia 20-an. Di usianya sekarang, walau dia masih suka bermanja-manja dan amat menggantungkan diri padaku (terutama soal makan), dia adalah perempuan yang matang. Dia punya keanggunan alamiah, sekaligus menguarkan aura ketangguhan yang lahir berkat tempaan waktu.
Dan semakin usianya bertambah, aku yakin kematangan itu akan bertambah pula. Aged like fine wine.
Setelah menulis sampai sini dan membacanya ulang, aku merasa tulisan ini lebih cocok sebagai tulisan untuk ulang tahun pernikahan, ya? Tapi tak apa lah, lanjut saja.
Akhir tahun lalu, aku mengambil keputusan penting dalam hidup sejak tujuh tahun terakhir. Awalnya aku ragu, tapi satu dan lain hal membuatku yakin untuk mengambil keputusan ini. Sebenarnya keputusan sudah kuketok di dalam hati, tapi aku merasa wajib memberi tahunya soal keputusan ini, disertai argumen-argumen kenapa aku mengambil langkah ini.
Aku sudah menduga dia akan setuju, walau mungkin akan mempertanyankan alasanku. Ternyata aku salah.
Dia setuju, tanpa mempertanyakan alasanku.
“Kamu gak pernah bersikap seperti ini. Kalau sekarang kamu seperti ini, maka alasanmu sudah pasti kuat,” katanya lewat pesan pendek.
Kami sedang terpisah jarak seribuan kilometer. Bateraiku sekarat, tinggal 1 persen, tapi pesan pendeknya membuatku yakin.
“Gasss!” katanya memberi semangat.
Dia sudah bukan perempuan usia 28 tahun, seperti saat kami bertemu sebelas tahun silam. Dia sekarang berusia 39, kokoh seperti karang, dan teguh seperti pohon beringin. Kekuatannya menopangku saat sedang doyong dan limbung. Ia sering mengeluhkan lemak di lengan, yang selalu kubalas bahwa lemak itu bikin semua tambah lezat.
Tahun depan usianya 40, dan aku masih akan lebih muda 3 tahun, 11 bulan, dan 17 hari. Aku tak tahu sampai kapan kami sanggup hidup bersama. Karena seperti kata Andy Liany: hanya waktu yang bisa jawab semua itu, sampai kapan? Aku tak tahu.
Meski aku mengamini petuah Om Andy itu, aku selalu berharap, kami masih akan saling menyayangi, mengasihi, melengkapi, dan menemani, sampai nanti, sampai usia kami berhenti: entah dia yang makin jauh lebih tua daripadaku, atau usia kami jadi sama dan aku lebih tua darinya.
Selamat ulang tahun ke 39, Ran. Ayo menua dan bersenang-senang bersama.
P.S: Tak usah ke Korea, ya, jauh, mending ke Krukut, makan ikan bakar Sulawesi dan soto Betawi Bang Yadih. Dekat, enak, murah.
BUSET DAH MINDUSTAN RAYUAN GOMBAL MAKDIKIPEEEEE LUUUUU 🤣🤣