Sejak sekira enam bulan lalu, aku mulai mendata nama-nama festival musik di Indonesia. Ini adalah bagian dari penulisan buku soal festival musik yang kurencanakan bisa terbit tahun depan.
Dari data yang kukumpulkan pelan-pelan dan terus menerus kuperbarui, aku cukup kaget juga: hingga per November, ada lebih dari 40 festival musik di Indonesia. Tentu ada beberapa catatan, semisal penggunaan festival yang seringkali serampangan (seperti Colour Music Fest di Karawang yang lebih cocok disebut konser).
Perkara definisi festival, dan bedanya dengan konser, adalah sesuatu yang bisa jadi topik obrolan lain kali.
Sekarang aku cuma ingin mencatat dua hal soal festival musik di Indonesia. Ini adalah catatan yang dibuat di ponsel, dengan tujuan mengeluarkan isi kepala, dan belum melewati proses editing. Jadi harap maklum kalau tulisannya terasa seperti omelan, kurang runut, atau ada satu dua salah ketik/ eja.
1. GELEMBUNG
Sekarang Indonesia sedang masuk dalam tahap awal gelembung festival musik. Jumlah festival adalah salah satu indikator. Rasanya belum pernah ada tahun yang begitu ramai festival musik seperti 2022.
Apakah gelembung ini berbahaya? Seperti namanya, ia akan terus membesar, tapi sulit menduga kapan ia akan meletus. Satu yang pasti: meletus adalah keniscayaan bagi gelembung.
Tapi biasanya akan muncul gejala-gejala awal ketika akan meletus, sama seperti yang terjadi di gelembung properti. Kapan gelembung festival musik akan meletus? Entah.
Efek dari gelembung ini, banyak promotor dan EO menganggap bikin festival adalah bisnis yang semata menguntungkan. Mereka sama seperti orang yang ikutan di awal gelembung properti: menganggap properti adalah investasi, menguntungkan, tak ada ruginya, bla bla bla.
Secara kasat mata, bisnis bikin festival musik memang menggiurkan. Sekarang, ada kelompok besar di Indonesia, didominasi mereka yang berusia 17-40an, yang menganggap nonton festival atau konser musik sebagai kebutuhan sekunder, bahkan primer. Ia sudah beranjak dari kebutuhan tersier. Kelompok ini, terutama yang sudah bekerja atau mapan, jelas tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk membeli tiket event musik.
Dalam pandangan promotor, ini adalah pangsa pasar yang harus digarap. Tak salah, memang. Sayangnya, membuat festival musik tak semudah itu.
Bisnis festival musik, sama seperti kegiatan yang mengumpulkan banyak orang dalam satu tempat, adalah jenis bisnis berisiko tinggi. Salah-salah nyawa bisa melayang. Dan ini sudah pernah terjadi sebelumnya.
Maka, yang sekarang perlu disebarkan ke promotor atau khalayak yang ingin jadi promotor: bikin festival musik yang baik dan benar serta aman dan nyaman itu ultra sulit, rumit, dan jelas tak selalu menguntungkan.
Jadi jangan gampang tergiur!
2. AMATIR
Promotor yang tergiur dengan keuntungan semata, cenderung menganggap remeh halangan dan tantangan bikin festival musik. Berbekal pernah bikin event satu dua kali, mereka dengan nekad mencoba peruntungan bikin festival.
Mereka mungkin tak membayangkan bahwa habit, alias sifat festival itu berbeda dengan event seperti konser. Secara hari acara, jumlah penampil, jumlah panggung, hingga pengurusan izin, festival punya kerumitan yang lebih besar ketimbang konser.
Repotnya, karena masih dalam tahap awal penggelembungan, belum ada satu badan yang bisa jadi semacam event watch. Akibatnya, semua orang yang punya modal kapital, bisa dengan mudah membuat festival musik meski mereka gak punya pengalaman dan kemampuan bikin festival.
Hasilnya ya sudah bisa ditebak. Kacau. Acara tak berjalan lancar. Penampil dibatalkan. Festival tak sesuai SOP, dll. Dalam catatanku, sudah ada beberapa festival musik yang gagal atau berjalan dengan buruk hingga memancing kekecewaan dan kemarahan banyak orang.
Sebut saja Tegal Amazing Festival yang dibatalkan H- beberapa jam. Berdendang Bergoyang yang hebohnya bikin efek domino: banyak festival terancam dibatalkan atau ditunda. Playlist Live Festival di Bandung yang juga bikin ngamuk banyak penonton. Hingga yang terbaru: Fosfen Festival di Bandung yang tak memenuhi kewajiban pada para penampil, dan berujung penyelenggara menghapus semua konten di Instagram mereka, menyisakan satu postingan minta maaf bahwa acara ditunda.
Kehadiran Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) adalah langkah awal yang bagus. Sebagai asosiasi promotor musik satu-satunya di Indonesia dan berisikan promotor besar dengan segudang pengalaman, mereka bisa menghadirkan pengetahuan dan diseminasi ide serta wawasan soal festival. Mereka harusnya juga bisa saling membantu satu sama lain, kolaborasi, bukan kompetisi.
Tapi mereka belum punya kewenangan besar, seperti mem-blacklist nama promotor/ EO amatir nan curang nan culas nan nakal nan brengsek. Sampai sekarang, sistem yang berlaku ya seleksi alam dan hukum rimba. Jika ada event gagal, media sosial ramai, penonton marah-marah, tapi ya sebatas di situ saja. Belum ada upaya menunjuk orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kegagalan/ keruwetan sebuah festival/event musik.
Aku membayangkan beberapa tahun ke depan APMI bisa bekerjasama dengan pemberi izin (idealnya satu pintu, diurus oleh orang-orang berkompeten), untuk membuat semacam standar jenjang pemberian izin bagi promotor/EO yang mau bikin acara.
Misalkan ada satu promotor baru ingin membuat event dengan jumlah penonton 10.000 orang. Pihak pemberi izin bisa punya kewenangan memeriksa latar belakang promotor ini: apakah mereka pernah bikin event sebelumnya, berapa jumlah penonton di acara sebelumnya, seperti apa jalannya acara di masa lalu, apakah event mereka sukses atau tidak, dll. Lalu mereka juga bisa memeriksa apakah penyelenggara sudah punya cukup sponsor atau dana untuk bikin festival.
Jika background check sudah beres, maka kasih lampu hijau izin. Dan setelah sukses bikin beberapa event dengan skala sama, maka mereka bisa naik tingkat: berhak mengadakan konser dengan 15.000 penonton.
Sebaliknya, jika beberapa kali bikin event gagal, promotor bisa di-banned, bahkan bisa sampai ke nama pendiri yang izin menyelenggarakan acaranya bisa dicabut.
Lagi-lagi, ini baru bayangan. Sebab bikin SOP seperti itu perlu penggodokan yang matang dan perencanaan yang tak sebentar.
Tapi kupikir semua sepakat, bahwa promotor amatir, semaunya sendiri, serampangan, culas, nekad, itu seharusnya tak diberi ruang gerak. Sebab mereka tak hanya merugikan penonton, artis, atau vendor. Mereka juga membahayakan ekosistem festival dan event musik di Indonesia yang sekarang sedang kembali berkembang.
apik, mas
baru tau telaahnya jd begini, smoga saja terwujud deh, kasian kalau ada nyawa melayang sia2 gara-gara panitia yang amatir
Mas Nuran idolakuuuuu~