“Aku tau ndelok tendo ngawang, cuk!”
Joseph Sudiro, dengan gaya Suroboyoan yang khas dan berapi-api lengkap dengan cak-cuknya, mengisahkan pengalaman menonton Fuji Rock Festival pada 2019 silam. Hitung maju enam tahun kemudian, kami berdua ada di satu gondola dengan Aya dan Faisal.
Aya adalah partner hidup sekaligus rekan terbaik Joseph menonton festival musik. “Wis teruji arek iki,” puji Joseph. Sedangkan Faisal adalah kawan baikku sejak lama, partner dalam banyak kebodohan. Salah satu buktinya, ya, Fuji Rock 2025 ini.
Faisal adalah anak rumahan, lebih suka mendengar musik di kamar atau membaca buku ketimbang datang ke festival musik penuh manusia. Entah setan belantara mana yang nemplok di bahunya sepulang liputan, kok tiba-tiba saja dia mau ikut pas aku cerita rencana datang ke Fuji Rock 2025.
“Ical padahal jarang keluar kamar kos, sekali-kalinya keluar kamar kok malah langsung ke Fuji Rock,” ujar seorang kawan, membalas story Instagram-ku ketika kami baru mendirikan tenda di permukaan tanah yang tak terlalu landai.
Tapi di sini lah kami, dua tahun semenjak kami membicarakan Fuji Rock di Glam Rock Kitchen. Naik gondola dengan rute terpanjang di dunia. Dua puluh lima menit perjalanan naik turun di gondola berkapasitas empat orang, dengan roda di bagian atas yang terkait dengan kabel baja. Gondola berwarna biru yang kami tumpangi berjalan perlahan, dengan decit yang kadang bikin bulu tengkuk meremang, puluhan meter di atas tanah. Kami sepenuhnya menyerahkan nyawa pada teknologi dan standar keamanan Nippon.
Di bawah kami, tampak rimbun pohon pinus. Hijau. Ada sungai mengalir. Saking beningnya, bebatuan di dasar terlihat jelas. Aku membayangkan di suhu 34 derajat, betapa surgawinya nyemplung di sungai itu. Di sebelah kanan, ada dua panggung yang satu per satu terlihat.
“Itu White Stage,” ujar Aya menunjuk panggung di arah jam 3.
“Kalau itu Field of Heaven.”
“Iku deloken rek, danau.”
“Danau opo?” tanya Joseph.
“Gak eruh, cuk, lali aku,” kata Aya ketawa.
Josep dan Aya bisa dibilang veteran perihal Fuji Rock. Sembari meraba ingatan –cuk, mereka bahkan lupa sudah berapa kali nonton– mereka sepertinya sudah sembilan kali menonton perhelatan musik tahunan yang diadakan di Naeba ini. Banyak yang berkesan bagi mereka. Di 2023 line up-nya seru, ada Foo Fighter, The Strokes, Alanis Morisette, Weezer, Slowdive, Yeah Yeah Yeahs, hingga Lizzo.
Sedangkan Fuji Rock 2024 berkesan karena mereka ngobrol dengan sepasang suami istri berusia lanjut yang mengagumi kaus Ash (halo Jelly!) yang dipakai Joseph.
Lalu tibalah momen Fuji Rock 2019 disebut. Chemical Brothers dan The Cure jadi penampil pamungkas. Itu bikin hati girang, tentu saja. Namun ada lagi yang lebih lekat di ingatan mereka: topan!
Di beberapa video yang pernah kutonton, termasuk video dari Fujirocker Indonesia, aku melihat para penonton yang menginap di tenda harus dievakuasi ke lobi hotel Prince Naeba saking dahsyatnya topan menghajar kawasan Naeba.
Dan di situlah Joseph dan Aya menyaksikan tenda terbang.
Sepuluh menit di dalam gondola, aku masih merasakan ndok ngerenyeng jika melongok ke bawah. Gimana kalau terjadi adegan khas Final Destination di gondola ini? Seorang petugas lupa memberi pelumas pada roda, menghasilkan gesekan ke kabel baja yang berlebihan, putus, lalu kami terjatuh ke bawah, ditangkap oleh bebatuan. Warna merah kemudian mengalir mengikuti arus.
Tapi aku mengusir pikiran goblok itu.
Gondola merayap naik, kemudian setelah sampai di puncak kabel, dia turun lagi pelan-pelan seperti seorang kakek yang terserang rematik di seluruh sendirinya. Angin berhembus pelan. Tapi tak ayal gondola kami goyang. Bajingan.
Aku melongok ke atas. Mendung. Aku membayangkan naik gondola puluhan meter dari bumi kemudian dihantam hujan badai, jelas bikin jeri dan jantung seperti ditarik. Tapi pikiranku justru ke kawasan kemping. Pasalnya: Joseph bercerita soal obsesinya pada kemping. Karena itu, Fuji Rock adalah festival paling menyenangkan baginya, sebab ajang yang sudah diadakan sejak 1997 ini memadukan dua hal paling dia cintai: musik dan kemping.
“Aku invest nang tendo dan pasak. Puenting iku,” kata Joseph.
Joseph lantas berkisah bagaimana dia kerap menghimpun teman-temannya untuk nonton Fuji Rock. Yang diperlukan hanya meeting online satu kali dan menentukan titik ketemu di Tokyo. Joseph biasanya sampai di Tokyo pada Kamis pagi, lalu naik Shinkansen ke Stasiun Echigo-Yuzawa, untuk kemudian nyambung naik bis shuttle ke area Naeba Ski Resort, kawasan yang jadi area Fuji Rock ketika musim panas, dan akan berganti menjadi kawasan ski ketika memasuki musim dingin.
Hari Kamis, sehari sebelum Fuji Rock resmi dimulai, area kemping sudah dibuka.
Di momen itu, Joseph akan mencari lokasi datar –bersaing dengan ribuan orang lain– meletakkan footprint (alas agar bagian bawah tenda tak langsung bersentuhan dengan tanah, berfungsi mencegah dingin atau air tembus ke bagian bawah tenda), memasang tenda-tenda kualitas apik miliknya, memalu pasak hingga dalam dan ajek, dipungkasi dengan memasang flysheet sampai rapi.
Joseph, pemain bass Vox yang sering cekakakan, selalu jadi serius ketika bicara tempat tinggal serta kenyamanan selama Fuji Rock. Dia akan jadi komandan bagi kawan-kawan yang dia pimpin, tapi juga tak segan turun tangan ketika ada sesuatu yang terasa kurang pas.
“Mangkane tendoku selalu aman, gak tau teles,” kata Joseph cengengesan.
“Kalau soal tenda dan kenyamanan Fuji Rock, dia bukan lagi Joseph Sudiro,” kata Aya. “Tapi sudah jadi Joseph Stalin.”
Cerita Joseph tak ayal bikin aku tambah tercenung.
Ratusan meter dari Day Dreaming dan Silent Breeze, kawasan puncak yang rata, dingin, berangin, tapi juga syahdu; tempat satu restoran besar, tenda yang menampilkan beberapa pertunjukan seni kecil-kecilan, dua kedai kopi dan kudapan; tempat kami menginjakkan kaki setelah menempuh dua puluh lima menit perjalanan dengan gondola yang menegangkan, tenda kuning kami sudah pasti bergoyang letoy kena angin sepoi.
Aku tak memasang tenda dengan ideal. Maklum, sudah lama tidak. Pasak kupasang sekenanya, asal masuk ke tanah. Flysheet juga dihela dengan ala kadarnya. Footprint jelas tak ada. Bagaimana kalau hujan topan? Hampir bisa dipastikan: dalam sedetik sejak topan lewat, tenda pinjaman dari Muhammad Harmein itu sudah terbang entah ke mana, memuntahkan semua isinya ke tanah –carrier, sleeping bag, matras, dan segala obat-obatan untuk aku yang makin ringkih ini– mungkin bisa sampai ke Echigo Yuzawa dan pasrah disapu untuk kemudian dimusnahkan bersama sampah-sampah jalanan hari itu.
Bersambung…