Catatan dari Menyimak Kegagalan Konser BMTH

Seperti yang banyak orang tahu, konser Bring Me the Horizon (BMTH) yang berlangsung di Beach  City International Stadium pada 10 November 2023 berakhir dengan kurang baik. Di tengah set, setelah membawakan 11 lagu dan rencananya masih ada delapan lagu lagi, BMTH memutuskan undur diri dari panggung. 

Promotor bilang bahwa mereka ingin break sejenak. Ternyata, setelah 30 menit, BMTH tak kunjung kembali. Yang hadir malah Ravel Junardy, pendiri Ravel Entertainment, promotor kelas internasional yang punya signature show Hammersonic.

Ravel menjelaskan bahwa konser harus selesai lebih cepat, karena BMTH tidak bersedia melanjutkan set. Tanpa ada penjelasan detail, Ravel menyudahi pidatonya dengan kata sederhana: chill. Tenang. Namun apa daya, bujukan itu gagal. Barang-barang mulai melayang ke atas panggung. Puncaknya, massa menyerbu panggung.

Di media sosial, banyak beredar video kejadian itu. Bahkan, ada pula yang mengunggah video kejadian antrean masuk yang kacau, dan orang-orang berhamburan tanpa mengikuti panduan. Ini artinya bibit kekacauan sudah terjadi bahkan jauh sebelum konser mulai.

Inti tulisan ini hanya catatan sporadis dari pikiran yang sekelebat, bukan sebagai analisis utuh yang bersifat ilmiah. Tujuan utama tulisan ini dibuat adalah sebagai arsip yang kelak akan saya pakai untuk buku saya soal festival dan event musik (buset gak selesai-selesai, bhaaang), juga agar pikiran saya segera kosong dan bisa tidur. Kalau ada salah kronologis, atau ada kalimat yang kurang tepat, saya dengan senang hati akan menerima koreksi.

Saya juga menulis ini bukan bermaksud ingin menyalahkan pihak tertentu, apalagi sok menggurui.

Postingan ini diketik mulai pukul 02.30 dini hari, dan tim Fantasy Premier League saya dapat 72 poin. Pemain terbaik adalah kapten saya, Mo Salah, 26 poin, belum dihitung bonus poin.

***

Teori yang Patah atau Anomali?

Salah satu teori yang jadi “pegangan” banyak pembuat event di Indonesia adalah: harga tiket akan menjadi titik seleksi awal penonton. Dengan kata lain, semakin mahal harga tiket, maka penonton yang datang akan semakin terseleksi, dianggap lebih well behaved (karena berkaitan dengan tingkat pendapatan, pendidikan, dll), dan karenanya event akan berjalan lebih lancar.

Di atas kertas, ini sekilas masuk akal (walaupun classist banget, alias ada bias kelas atas teori ini).

Orang yang mau membeli tiket mahal (tentu kategori mahal ini bisa dibahas lebih lanjut, misal definisi mahal ini berapa persen dari pendapatan seseorang, dll), motivasi utamanya adalah menonton pertunjukan musik.

Yang sering dijadikan antitesanya tentu pertunjukan gratis. Seringnya di konser gratis, atau malah selalu, akan ada perkelahian di sana-sini. Di Instagram, bahkan ada beberapa akun (saya juga follow mereka) yang khusus mendokumentasikan perkelahian dan tawuran di acara dangdut gratisan. Intinya, penonton event gratisan punya lebih banyak motivasi, tak hanya bersenang-senang menikmati musik, tapi juga, salah satunya, mencari keributan.

(Catatan, soal motivasi penonton dalam menonton konser/ festival musik bisa merujuk, di antaranya, Pitts, S.E (2014), Alicia Kulczynski dkk (2016), Alysa Eve Brown (2019), juga Lily-Ann Perrin (2020). Sedangkan soal demografi penonton salah satunya bisa baca paper Steve Oakes (2003)).

Pemisahan penonton ini bahkan bisa terbawa ke ranah genre dan imejnya. Misal penonton jazz dan opera/ musik klasik, akan dianggap lebih “kalem”, “teratur”, dll. Sedangkan penonton musik metal, dangdut, relatif berisiko lebih tinggi. Tapi bahasan ini lebih baik dibahas di tulisan yang lain lagi.

Intinya: musik menyatukan, harga tiket (dan genre) yang memisahkan.

Tentu, di setiap teori akan selalu ada anomali. Ada event musik gratisan yang berjalan tertib dan selalu bebas dari kericuhan, misal Ngayogjazz. Beberapa acara musik yang diadakan di seputaran Blok M juga tak pernah ada masalah berarti, meski gratis. Baru kemarin, Joyland membuat acara road to di Taman Martha Tiahahu, gratis. Semua lancar dan sama sekali tak ada kericuhan.

Nah, anomali untuk tiket mahal tapi ricuh ini ya terjadi di kasus BMTH. Bahkan kericuhan yang terjadi benar-benar di luar ekspektasi: penonton sampai naik ke atas panggung. Beberapa video sempat melahirkan asumsi adanya vandalisme terhadap alat-alat musik BMTH –walau ternyata tidak terbukti, alat aman. Tapi rasa-rasanya dalam dua dekade terakhir, tak banyak konser musik yang melahirkan kemarahan penonton hingga berani naik ke atas panggung (kerusuhan Musikologi 2019 mungkin mirip-mirip kadarnya).

 

Lalu, apakah tiket konser BMTH ini bisa dibilang mahal? Lagi-lagi, perlu ada bahasan khusus terkait definisi harga mahal ini ada di rentang berapa.

Dari info yang beredar, harga tiket termurah konser ini adalah Rp1.250.000, dan yang termahal Rp2.750.000. Bagi orang yang punya pendapatan Rp5 juta per bulan, ini artinya harga tiket termurah sama dengan 25 persen pendapatan. Mahal? Bisa jadi. Kenapa begitu? Karena biaya cicilan KPR saja biasanya maksimal 30 persen dari pendapatan. Kementerian Keuangan juga pernah memberikan tips mengatur keuangan, dan 30 persen biasanya adalah alokasi untuk cicilan (rumah/kendaraan dsb).

Oke, itu intermezzo.

Selain itu, untuk kelas konser tunggal band rock/ metal, harga tiket BMTH termasuk tinggi. Saya iseng mengingat siapa saja band rock/metal yang konser tunggal di Indonesia, coba cari tiket kelas termurahnya, lalu bikin perbandingan sederhana. Hasilnya kira-kira seperti ini:

Harga tiket termurah konser BMTH adalah termahal ketiga dari daftar di atas. Ada tambahan siapa lagi band rock/ metal yang konser tunggal di Indonesia sepanjang 2023 ini?

Pertanyaannya, kericuhan di konser BMTH ini adalah patahnya teori soal harga tiket, atau ini anomali belaka? Jawabannya tentu harus dicari lebih lanjut. Yang jelas, ada banyak insight menarik yang bermunculan di media sosial soal kericuhan ini. Yang saya tangkap dari percakapan di medsos, juga dengan obrolan bersama beberapa kawan, antara lain:

  1. Pengaruh usia. Penonton lebih muda punya energi lebih besar, termasuk energi kemarahan.
  2. FOMO: katanya, lagu-lagu BMTH yang populer di kalangan Gen Z belum sempat dibawakan, dan ini bikin banyak penonton usia muda jadi ngamuk.
  3. Paylater. Sistem pembayaran ini membuat orang lebih mudah beli tiket. Artinya, ada kemungkinan teori harga tiket mahal dan seleksi awal penonton jadi tak berlaku lagi, karena semua orang bisa membeli tiket dengan cara nyicil. Ini juga membawa dampak lumayan ngeri, sih, karena sistemnya nonton dulu bayar belakangan, bikin orang ada kemungkinan terjerat utang.

Kekurangan Promotor

Ravel Entertainment bukan promotor kacangan, bukan juga kemarin sore. Mereka salah satu promotor kelas internasional di Indonesia, dan jadi bagian Magnificent Seven pendiri Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI). Bahkan tahun ini mereka berhasil mengadakan festival metal internasional Hammersonic dan mengundang Slipknot ke Indonesia untuk pertama kalinya.

Pertanyaannya, jika bisa mengadakan Hammersonic yang secara skala dan jumlah penampil lebih banyak dan karenanya jauh lebih kompleks ketimbang konser tunggal, kenapa BMTH bisa ricuh dan berhenti di tengah jalan?

Yang bisa menjawab secara pasti hanya Ravel Entertainment. Sampai ketika tulisan ini dibuat, setahu saya Ravel belum memberikan penjelasan detail selain postingan klarifikasi di IG mereka dan soal refund.

Saya coba merangkum beberapa percakapan yang saya baca di media sosial. Sekali lagi, tak ada maksud menuding dan menimpakan kesalahan sepenuhnya pada Ravel Entertainment.

Saya (dan juga banyak orang) melihat ada satu kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari, dan jika ini bisa dilakukan maka hasilnya akan berbeda pula: penjelasan detail ke para penonton.

Jika mendengar pidato Ravel, rasanya banyak orang sepakat kalau dia cenderung “meremehkan” dan menganggap enteng dampak berhentinya BMTH di tengah set. Dua kali dia muncul ke atas panggung, dua kali memberikan penjelasan, dan dua kali pula penonton merasa tak ada penjelasan yang memuaskan. Ravel dianggap lebih fokus meminta penonton untuk bubar.

Padahal penonton pasti ingin penjelasan detail: apa yang sedang terjadi? Kenapa konser berhenti? Terus penonton harus bagaimana? Apakah akan ada refund atau ganti rugi? Dan sebagainya. Ini yang sayangnya luput dilakukan oleh Ravel.

Namun di satu sisi, saya juga memaklumi betapa besar tekanan yang dialami oleh Ravel. Tekanan seringkali membuat manusia tak bisa bertindak seperti yang direncanakan. Saya membayangkan Ravel sudah merancang penjelasan sebaik mungkin, tapi semua bubar ketika dihadapkan dengan ribuan penonton yang ngamuk dan melempar barang.

Sebagai pembelajaran (ceile pembelajaran), ada dua hal yang saya tangkap dari omelan penonton terkait jalannya konser BMTH:

  1. Mereka merasa panitia dan tenaga keamanan cenderung tidak proporsional dibanding dengan jumlah penonton. Petugas kewalahan membendung para penonton dan akhirnya hanya bisa pasrah. Hal ini bisa dilihat di setidaknya dua kejadian: antrean masuk yang amburadul, dan penonton yang merangsek ke atas panggung.
  2. Keamanan venue. BMTH merasa panggung bergetar dan dianggap tak aman. Saya pernah dua kali menonton konser di tempat yang sama, pertama konser Guns N Roses (2012), dan Arctic Monkeys (2023). Secara keseluruhan, venue Beach City ini rasanya kurang pas, baik dari segi lokasi maupun dari segi keamanan kerumunan. Gedungnya bertingkat, dengan lorong yang relatif sempit, bikin ngeri kalau bubaran konser. Waktu konser GNR dan AM pun, saya merasakan getaran yang cukup bikin gentar.

Tambahan dari Mas Wendi Putranto, venue ini pernah ditutup oleh Ahok pada 2014 karena beberapa penyebab. Jika dibaca lagi, alasannya lebih banyak terkait sengketa kontrak dan permasalahan pendapatan. Terima kasih buat seorang teman yang memberi masukan terkait penutupan Beach City International Stadium (dulu MEIS) INI.

Penonton Norak

Manusia punya emosi, semua sepakat. Konser BMTH berhenti di tengah jalan bikin ngamuk dan marah, semua setuju. 

Namun menyerbu naik ke atas panggung, itu tak bisa, dan tak boleh, dibenarkan.

Ada alasan kenapa panggung itu harus steril dari mereka yang tak berkepentingan. Dari segi keamanan, salah satunya. Tentu sudah ada hitungan berapa beban maksimal yang bisa ditanggung sebuah panggung. 

Misal, katakanlah, panggung kuat menampung beban hingga 700 kilogram. Lalu tiba-tiba datang puluhan orang yang membawa beban tambahan ke atas panggung, siapa yang bisa menjamin tak ada kecelakaan? Kalau panggung ambruk, penonton jatuh dan terluka, alat-alat rusak, kerugian pasti jadi lebih besar, baik buat penonton maupun penyelenggara acara.

Alasan lain kenapa menyerbu panggung itu tak boleh dibenarkan: ini bisa berbuntut panjang. Mulai dari kemungkinan properti panggung atau alat yang hilang, kerusakan properti dan barang, juga dampak terhadap keberlangsungan event musik di masa depan.

Belum lagi, dalam kasus BMTH ini, penyerbuan ke atas panggung ini menunjukkan ego sesaat, kardi (karepa dibhik, alias mau menang sendiri) dan tak memikirkan penonton di hari kedua. Padahal, mari berandai-andai, jika tak ada kasus penyerbuan, bisa saja ada perbaikan masalah teknis dan konser hari kedua bisa terselenggara dengan baik.

Sayangnya nasi sudah jadi bubur, mau tak mau ya harus ditelan saja.

***

Konser BMTH yang sayangnya berjalan dengan tidak baik, menyisakan banyak what if dan pertanyaan. Salah satu pertanyaan terpenting: seperti apa efek kegagalan ini, termasuk efek penyerbuan penonton ke atas panggung, terhadap masa depan event musik internasional di Indonesia?

Sampai saat ini tak ada yang bisa menjawab pasti. Semua baru bisa menerka dan menduga. Jawabannya mungkin bisa ditanya ke para promotor yang akan mengadakan event musik internasional di tahun depan. Saya sih berharap semoga efeknya tak besar, tak ada ketakutan untuk manggung di Indonesia. Terdengar naif, memang. Namanya juga berharap.

Namun kalau boleh memberi catatan, kegagalan konser ini memberikan banyak pelajaran.

Promotor harus terus rendah hati, senantiasa mau belajar, dan meningkatkan kapasitas diri dan organisasi dalam membuat event. Ravel Entertainment memang nama besar di dunia showbiz Indonesia, tapi bukan berarti mereka tak bisa melakukan kesalahan. Saya berharap kejadian ini bisa membuat mereka melongok sebentar ke belakang, evaluasi, kembali dengan manajemen event yang jauh lebih baik, dan menghadirkan kembali festival dan konser berkualitas.

Untuk penonton event musik, termasuk saya, kita semua harus belajar menahan diri dan menyampaikan keluhan atau kekesalan dengan cara yang tidak merusak dan melanggar hukum. Merusak itu sama sekali tidak memberikan jalan keluar, malah bikin masalah baru. Omelan di medsos saya pikir salah satu saluran penyampaian kekesalan yang pas dan punya dampak.

Memang semua akan terasa sulit, namanya juga belajar. Saya saja sekarang mau tidur kerasa sulit, makanya nulis biar ngantuk. Apalagi belajar rendah hati dan menahan diri, pasti lebih sukar. Namun demi masa depan event musik yang lebih baik di Indonesia, ini harus diupayakan (juga perizinan satu pintu, sertifikasi promotor, sertifikasi event and safety management, dll, alias banyak banget yang harus ditingkatkan).

Sekarang jam 5 pagi, ternyata tulisan ini jadi lebih panjang ketimbang yang saya rencanakan. Tulisan ini belum sempat saya baca dan sunting, jadi kalau ada salah-salah harap dimaafkan. Nanti kalau bangun akan coba saya baca ulang dan sunting seperlunya.

Ciao!

Leave a Reply

Your email address will not be published.