Kemarin, di Tanah Twitter, saya sempat baca beberapa cuitan mas Kokok tentang kenaikan tarif dasar listrik. Beberapa pengikut mas Kokok juga bercerita tentang pengeluaran listrik mereka tiap bulan. Jumlahnya beragam. Ada yang sebulan harus mengeluarkan uang Rp500 ribu, ada yang Rp1 juta, ada yang Rp300 ribu. Tergantung daya yang dipakai, dan bagaimana penggunaannya.
Saya dan Rani sepertinya termasuk keluarga yang termasuk sedikit membayar untuk listrik. Dengan daya yang sama, seorang tetangga yang juga kawan Rani, bisa habis listrik Rp800 ribu dalam sebulan. Sedangkan kami, dengan kapasitas daya listrik 1.300 VA, paling banter mengeluarkan Rp250 ribu per bulan.
Kami memang beruntung sih. Sebagian besar waktu dihabiskan di luar rumah. Ini artinya tak ada penggunaan listrik di rumah, mungkin hanya untuk kulkas yang menyala 24/7. Penggunaan listrik mungkin hanya di akhir pekan. Biasanya di dua hari itu, kami memang ada di rumah. Malas-malasan. Tidur sampai siang. Nonton film dari laptop.
Dari cerita beberapa orang kawan, daya listrik yang paling banyak mereka pakai adalah untuk teve. Nah, kami tak pernah memakai listrik untuk teve. Entah kapan terakhir kami nonton teve. Kami sama-sama tidak suka nonton teve. Apalagi kami tak berlangganan teve kabel. Biasanya kalau ada saluran seperti Asian Food Channel, baru saya mau nonton teve.
Sebenarnya ada dua teve di rumah kami. Satu diletakkan di ruang tamu, satu lagi di kamar. Yang di ruang tamu adalah pemberian dari kakak ipar saya. Teve tabung berukuran amat besar. Saya ingat waktu mengangkatnya, hampir cepirit. Berat sekali. Harus 2 atau 3 orang yang mengangkat. Karena letak ruang tamu bersebelahan dengan kamar mandi, Rani iseng menaruh handuk di atas teve itu. Dulu pernah pula dijadikan tempat menaruh helm. Kebiasaan itu keterusan karena memang teve itu nyaris tak pernah dihidupkan. Suatu hari kakak ipar saya datang. Dia heran melihat teve pemberiannya digelayuti handuk.
“Lha ini kok ada handuk ya di atas teve?”
Kami cuma cengar-cengir, bingung menjawabnya.
Listrik kami juga terpakai untuk AC di kamar, hanya 1/2 PK. Itu pun dihidupkan ketika malam saja, saat baru pulang kantor dan mau tidur. Berarti kira-kira mulai dari pukul 12 malam hingga 8 pagi. Selain itu, penggunaan daya listrik kami cuma terpakai untuk lampu, juga untuk berbagai macam colokan. Mulai colokan charger ponsel, laptop, kipas angin. Oh ya, mesin cuci. Tapi karena penghuni rumah kami cuma 2 orang, mesin cuci ini cuma dipakai tiap akhir pekan saja. Satu dua kali cuci, beres.
Sebenarnya ketika listrik naik, saya sempat merasakannya. Biasanya dalam sebulan, penggunaan kami tak sampai Rp200 ribu. Tapi bulan lalu, naik sekitar Rp80 ribuan. Tapi ini sepertinya masih murah. Soalnya kalau menurut penghitungan mas Kokok, pembayaran listrik yang ideal itu tak sampai 10 persen dari gaji kita. Jadi misalkan gajimu Rp3 juta dengan daya 900 VA, penggunaan listrik yang wajar adalah di bawah Rp300 ribu. Kalau di atas Rp300 ribu, berarti penggunaan listrikmu sudah tak wajar.
Sejak Mei 2017, subsidi listrik untuk daya 900 VA perlahan dicabut. Pencabutan subsidi ini memang akan terasa mencekik bagi kita yang terbiasa mendapat subsidi. Tapi dana subsidi ini akan dialihkan untuk kawasan-kawasan yang selama ini tidak dialiri listrik. Kalau penggunaannya tepat sasaran seperti itu, saya pikir pencabutan subsidi –terutama bagi golongan mampu yang selama ini menikmati subsidi– terasa adil ya.
Saya sering getun kalau mendengar kisah beberapa saudara yang tinggal di luar Jawa. Mulai Lombok, sampai Aceh. Di daerah mereka, sering kali ada pemadaman. Begitu pula di Papua. Bahkan banyak tempat di sana yang belum pernah dialiri listrik. Yang dialiri listrik (istilahnya adalah elektrifikasi) baru 46,67%. Kurang dari separuh. Bayangkan, sudah 72 tahun merdeka, masih buanyak tempat-tempat yang tidak dapat listrik. Mungkin memang sekarang saatnya subsidi dicabut untuk dialihkan ke mereka yang benar-benar membutuhkan.
Semoga pengalihan dana subsidi ini dipakai dan disalurkan dengan benar.