Nyaris setiap lelaki pasti pernah punya koleksi apapun yang berbau porno.
Bentuknya tentu macam-macam. Ada yang suka mengoleksi majalah. Ada pula yang lebih sastrawi: mengoleksi cerita porno yang dicetak dari situs macam 17tahun.com. Saya sempat mengoleksi cerita-cerita itu. Sangat membantu untuk mengembangkan imajinasi. Bagus untuk otak kanan.
Tapi semenjak Mamak memergoki koleksi buku panas itu, saya tobat. Cerita porno yang dicetak terlalu mencurigakan. Tebal dan tanpa sampul ataupun dijilid. Padahal buku pelajaran saja tak setebal itu.
Kawan lain suka memanjakan mata dengan visual tak bergerak, alias foto porno. Ada juga orang yang lebih suka mengoleksi audio visual: bokep. Kategori inilah yang kemudian saya geluti.
Saya berkenalan dengan dunia porno, seperti kebanyakan generasi saya, dari keping VCD. Ingatan bisa datang dan pergi. Tapi film porno pertama yang ditonton akan terus kekal di ruang ingatan kita. Sama seperti pacar pertama, cinta pertama, ciuman pertama, patah hati pertama, malam pertama, atau semua yang berbau pertama.
Film porno pertama saya adalah Tomb Raider X (2001). Waktu itu saya tak tahu siapa yang main. Baru-baru ini, berkat bantuan Google, saya tahu kalau pemain utamanya adalah Angelica Costello, Nicole Sheridan, dan Dominica Leoni.
Film ini ditonton di rumah seorang teman masa kecil, yang rumahnya hanya berjarak satu rumah dari rumah saya, menjelang ritual sholat Jumat. Saya dan beberapa kawan awalnya mau menjemput si kawan itu, sebut saja P, untuk sholat Jumat. Di kampung, kami memang selalu berangkat sholat Jumat bareng.
Dari dalam rumah, dia melongok kanan kiri macam intel Melayu, kemudian berbisik: aku punya BF –alias blue film, sebelum istilah bokep dipopulerkan.
Kami semua melotot sekaligus mendegut ludah. Sebagai anak belasan tahun –kami masih duduk di bangku SMP kelas 1 waktu itu– benda itu sungguh terasa jauh sekaligus menggoda. Dan kini rumah sang kawan sedang kosong, ditambah ada film porno. Apa yang akan kami lakukan?
Malaikat pencatat kebaikan sudah teriak-teriak di kuping supaya kami segera berangkat sholat Jumat supaya kebagian daging unta. Tapi kami sudah terbutakan nafsu jahanam. Melihat sampulnya –perempuan berkepang dan berbibir tebal, yang tentu dibentuk supaya mirip Angelina Jolie– saja kami sudah kebat-kebit tak karuan.
Disaksikan kami yang duduk melingkar di depan televisi 21 inchi, kawan saya memasukkan keping cakram bergambar aduhai itu ke dalam pemutar. Dan itulah 15 menit paling menegangkan dalam hidup saya. Mungkin juga kawan-kawan saya. Ini pengalaman pertama kami menonton film macam itu.
Singkat kata, karena mendengar iqomah berkumandang, kami semburat. Ingat tujuan awal menjemput si kawan. Kami, bocah-bocah cabul bersarung dan berkopyah, berlarian menuju masjid sembari memegangi selangkangan yang terasa membengkak.
Selanjutnya pengalaman lain berdatangan lebih deras. Mulai yang klasik macam Tarzan X, nyaris semua filmografi Asia Carrera, sampai banyak kisah film yang ditambahi X (ada Aladin X sampai apalah-apalah itu saya lupa).
Di SMA, saya dan kawan bernama Nyen pernah jadi bandar bokep. Sebenarnya bukan bandar, sih. Lebih tepatnya distributor karena keping yang kami edarkan bukan hak milik.
Alurnya begini. Siapa yang punya film BF biasanya tak akan pelit. Zaman itu ekonomi berbagi sudah berjalan baik di antara para remaja mesum. Jauh sebelum tren Gojek dan Grab Bike kemudian meramaikan ulang ekonomi berbagi. Biasanya saya dan Nyen (lebih banyak Nyen sih) yang akan membagikan cd itu. Bergantian. Biasanya setiap peminjam punya waktu dua hari untuk meminjam.
Lain dengan saya yang nyaris tak punya koleksi, Nyen punya belasan keping judul yang cukup impresif. Mulai dari Jepang, Barat, hingga yang semi. Kategori terakhir cukup menyenangkan. Apalagi saat bosan melihat BF. Satu yang paling film dengan karakter bernama Montana. Saya lupa judulnya. Film itu adalah yang paling laris di antara kami.
Keping milik Nyen itu beredar hingga lintas kelas. Distribusi biasanya disaru melalui buku pelajaran. Mata pelajarannya apa saja, mulai Sosiologi, hingga PPKn.
Masuk kuliah, era digital telah datang. Saya takjub betapa film biru yang dulu begitu susah didapat, kini begitu cepat hadir di komputer. Tinggal pergi ke warnet terdekat dengan koleksi yang mencengangkan (halo Sys Camp Link!) kemudian dikopi. Selesai. Sekarang malah jauh lebih gampang lagi. Tak perlu ke warnet, tinggal unduh dari situs penyedia saja. Gratis.
Tak tahu bagaimana dengan kalian, bagi saya semangat mengoleksi segala berbau porno itu melambangkan masa muda. Testoteron melimpah, gairah belajar tentang seks meluap-luap. Begitu memasuki usia matang, katakanlah selepas 27 tahun, segala semangat itu mengendur. Walau sebenarnya tak pudar seluruhnya. Masa-masa itu akan selalu terkenang, walau banyak orang kini malu mengakuinya. Saya sih sampai sekarang, tak pernah malu mengakui masa lalu. Bagaimanapun hal-hal porno itu pernah jadi bagian hidup kok.
Memang ada orang-orang yang berubah. Kawan saya yang rumahnya dipakai bancakan nonton itu kini sudah berubah jadi lebih baik. Agamanya jauh lebih kuat. Ya walau kalau bicara soal kenangan dulu, dia mungkin akan tersipu-sipu.
Saya sendiri sudah jarang menonton bokep. Walau begitu, saya masih tetap mengunduhnya sekali-kali. Tapi bedanya, sekarang saya tak menyimpannya dalam waktu lama. Tonton sekali dua, kemudian hapus. Tentu ini juga atas nama efisiensi: memberikan ruang bagi koleksi lain di kemudian hari.
Kemudahan mendapatkan bokep juga mengurangi kepuasan menonton. Kalau dulu harus menunggu giliran meminjam. Itupun harus mencari waktu tepat untuk menonton. Harus menunggu rumah kosong, atau sekalian tonton di malam hari dengan suara yang dibisukan.
Kalau sekarang ya tinggal duplikasi file dari teman, atau sekalian unduh sendiri. Karena itu pula, koleksi saya ya begitu-begitu saja. Tak terlalu banyak, ya walaupun masih mencapai ratusan giga sih. Eits, saya pernah melihat koleksi bokep kawan saya yang sampai kategori terabite.
Selain itu, artis-artis bokep sekarang juga kurang menarik. Ada sih yang fenomenal macam Mia Khalifa atau Julia. Tapi selain itu? Cuma ada Jaclyn Taylor, Olivia Austin, Phoenix Marie, Eva Lovia, Jasmine Caro, Jessica Ryan, Julia Ann, Leigh Darby, Brandi Love, Cherie DeVille, Kiki Minaj, Jenny Lee, Veronica Avluv… Lho kok akeh cuk?
Tapi intinya, saya sudah kurang tertarik mengoleksi bokep lagi. Karena itu saya kepikiran untuk menghapus nyaris semua koleksi bokep.
Tentu bukan karena alasan moral. Saya kurang peduli sama urusan itu. Melainkan urusan ruang penyimpanan. Dulu sewaktu bokep masih ditonton via video atau keping cakram, merepotkan memang, tapi sekaligus tak melahap ruang penyimpanan di komputer. Sekarang, saat kita menonton via laptop atau PC, efisien tapi sekaligus memamah banyak ruang penyimpanan. Apalagi kalau koleksinya ratusan giga.
Akhirnya tadi malam, saya mengambil salah satu keputusan terberat dalam hidup: menghapus seluruh koleksi film porno. Hanya menyisakan paling 10 sampai 20 video saja. Sekadar buat klangenan atau tombo kangen kalau suatu hari nanti ingin nonton.
Sewaktu mengklik Ctrl+A+Delete+Enter, rasanya tak rela. Apalagi kalau mengingat waktu yang saya habiskan buat mengunduhnya. Tapi apa boleh buat, mereka sudah jarang saya sapa. Pun, memboroskan ruang simpan. Jadi sayonara. Adios.
Perasaan seperti ini mungkin tak saya alami sendiri. Bisa jadi ada banyak orang yang berat membuang koleksi pornonya –bokep, stensilan, sampai majalah telanjang– tapi harus melakukannya, apapun alasannya. Apalagi bagi laki-laki, yang kerap dituding sebagai mahluk hidup dengan 90 persen kapasitas otak berisi bayangan payudara dan alat kelamin perempuan. Berat bung, sungguh berat.
Dalam komik H2, karakter Hiro Kunimi juga mengalami perasaan yang sama. Supaya konsentrasi pada baseball, dia berikhtiar membakar semua koleksi majalah pornonya. Si ibu yang kebetulan lewat kemudian bertanya, sedang apa Nak? Hiro, dengan mata nanar menatap lembaran kertas yang perlahan jadi abu, menjawab pelan.
“Membakar masa mudaku.” []
aku pernah nulis yang rada mirip ini. ada orang ngomongin moral, eh ketemunya porno.
…dan itu nama-nama jadi referensi semua.
Hehehe. Kalau di kasusku mas, polisi moral biasanya munafik. Kalau orang alim tentu biasa dan tak menyebalkan. Yang menyebalkan adalah polisi moral. Dan ya, kebanyakan mereka lebih rusak ketimbang kita :)))