Kalau ada orang kiri paling rileks yang kukenal, Rio Apinino mungkin ada di daftar paling atas –baru disusul Windu.
Suatu hari, Rio datang sebagai editor di Kemang Timur. Kupikir dia lebih tua dari aku. Kumis dan rambut gondrongnya membuat penampilannya tampak lebih dewasa ketimbang usia sebenarnya.
Aku kaget ketika tahu dia masuk kuliah angkatan 2010. Lima tahun di bawahku. Bahkan Rio lebih muda ketimbang Taher, reporter #01 di sini.
Dengan segera, Rio menemukan habitatnya. Dia setipe dengan bromocorah di sini. Baik bacaannya, hingga sifatnya.
Aku kemudian tahu kalau Rio adalah editor IndoProgress, situs kiri yang amat populer dan konsisten itu. Ia tak sendirian di sana. Ada Fildzah, istrinya, yang turut jadi editor.
Dua orang ini pasangan yang lucu dan menyenangkan. Kalau ingatanku belum lapuk, Fildzah adalah senior Rio di kampus jaket kuning. Mereka kemudian aktif menentang penggusuran para pedangang di Stasiun Universitas Indonesia. Perlawanan mereka berjalan cukup lama. Sempat ramai diberitakan di berbagai media juga, ketika mereka menggalang para pedagang untuk menutup Stasiun UI (?)
Pada akhirnya, mereka kalah. Para pedagang terusir. Tapi toh mereka sudah melawan sebaik-baiknya.
Meski demo usai, tidak demikian dengan kisah Rio dan Fildzah. Mereka pacaran, kemudian menikah. Lulus dari kampus, mereka berjalan di ranah berbeda. Fildzah yang memang sangat suka sekolah –memang ada jenis-jenis manusia begini– memutuskan untuk jadi peneliti dan berlabuh di lembaga riset milik negara. Sedangkan Rio yang lebih bebas dan agak nyeni, jadi wartawan.
Singkat kata, setelah bekerja di sebuah perusahaan media di bilangan Senayan, Rio melipir makin ke Selatan. Ke kantor kami yang secara ukuran sumber daya, juga daya jangkau di dunia maya, jauh lebih kecil.
Rio sepertinya lebih betah di kantor baru ini. Kultur kerjanya memang melenakan. Kamu seperti jadi mahasiswa lagi.
“Gak kerasa ya, gue sudah lima tahun kerja di sini,” ujar Rio semalam.
Salah satu momen yang paling aku ingat dari Rio adalah ketika rombongan KemTim ini melancong ke Bali. Itu sepertinya jadi perjalanan kantor yang melenceng jauh sekali. Tak ada agenda-agenda klise seperti outbond, renungan malam, dsb dst.
Ketika rombongan sampai, Bhaga, Gery, juga Panjul sudah melipir cari bar. Mereka baru keluar dari nirwana bagi para peminum itu ketika sudah waktunya check in hotel.
Kami semua mencar sesuai agenda masing-masing. Ada yang khusyuk minum. Ada yang mencari babi guling. Ada yang ke pusat perbelanjaan. Ada juga yang pacaran. Bebas. Kami seperti rombongan anak TK yang dilepas di taman bermain nan besar.
Malamnya, banyak dari kami yang kumpul di pantai belakang hotel. Tentu saja ada alkohol di sana. Para bos yang sungkan ikut minum bareng, korsa dengan menyodorkan lembaran Pak Soekarno-Hatta ke bendahara.
Di sana aku melihat Panji yang sudah miring-miring, main tebak chord lagu dengan Gery dan Pepeb. Panjul, seperti biasa, berjalan sendirian, matanya menerawang, entah mikir apa.
Lalu Rio?
Rio yang matanya sudah setengah menutup itu, berceramah soal Karl Marx, Hegel, dan siapa lah itu. Gobloknya, racauan itu dibantah oleh yang lain. Lalu mereka debat dengan ketawa-ketawa.
Di tengah perdebatan itu, tiba-tiba Rio berdiri, lalu meragakan orang sedang surfing sembari nyengir lebar sekali.
“Wuiii. Gue bisa surfing nih. Anjing, hebat banget gue.”
Aku yang sadar, berguling-guling ketawa sampai sakit perut.
Rio dan Fildzah sepertinya dua dari sedikit sekali orang kiri muda yang rileks. Mereka masih bisa bicara ideologi dengan santai dan ketawa-ketawa. Mereka cuma cengengesan sambil mendebat kecil, kalau ada yang bilang gerakan kiri di Indonesia sudah mentok dan susah berkembang.
Kupikir perlu ada orang-orang seperti Rio dan Fildzah yang pembawaannya lebih rileks jika bicara ideologi, sembari terus memasok ide-ide kiri progresif, dan turba, tentu saja.
Fildzah sendiri orangnya sangat komikal. Berkebalikan dengan Rio yang lebih tenang dan kalem, istrinya lebih ekspresif, lebih lantang, tegas, berani (Rio cerita kalau istrinya pernah mengacungkan jari tengah ke rombongan partai penguasa Depok yang saat itu sedang long march di Margonda. Rio ketakutan sepertinya, haha, tapi Fildzah cuek saja), tapi doyan banget tertawa.
Kadang kami meledek Rio sebagai suami yang takut istri. Tentu kebenarannya tidak seperti itu. Rio sayang sekaligus menghormati istrinya sebagai partner setaranya, dan mungkin rekan satu ideologinya.
Tapi tentu saja kami masih suka meledeknya seperti itu. Namanya juga berkawan. Keluar sedikit dari jalur political correctness boleh, lah. Kalau sudah begitu, Fildzah akan membela diri plus suaminya, dan Rio akan cengengesan saja.
Semalam kami mengadakan perpisahan di Madrasah –kantor baru kami yang ditempati sejak awal pandemi. Di lantai dua yang sudah dijalari tumbuhan merambat itu, kami beli sate ayam, martabak telur dan manis, juga minuman bergula tinggi, sembari ngobrol ngalor ngidul. Dari kripto, sampai calon Presiden 2024.
Fildzah akan mengambil studi doktoral di SOAS, London. Ini sekolah yang sama ketika dia mengambil master. Jika dulu Rio tak ikut karena durasi studi yang cuma setahun, kali ini Rio ikut. Empat tahun terlalu lama untuk dijalani berjauh-jauhan terpisah zona waktu.
Kami menodong Rio untuk pidato. Padahal ya sebenarnya dia tidak resign. Dia masih akan bekerja di kantor ini, tapi ya dia dari London. Di pidatonya, Rio bilang kami semua lebih dari sekadar kolega, melainkan teman. Ini sesuatu yang belum pernah dia alami sebelumnya.
Kupikir ini adalah pujian yang paling menyenangkan. Sebab pekerjaan dan jabatan itu fana, perkawanan itu abadi (yaaa, walau banyak juga yang enggak, sih).
Selamat jalan, Rio dan Fildzah. Selamat menempuh petualangan baru di London. Sehat selalu, stay cengengesan. Sampai jumpa di London. Tahun depan, mungkin?
