Jadinya saya tidak menyelesaikan membaca Heat, seperti yang saya tulis di postingan sebelumnya. Mendadak, entah kenapa, saya ingin sekali membaca kisah fiksi. Beruntung, beberapa waktu lalu saya dapat dua buku fiksi baru karya Puthut EA dan Yusi Avianto Pareanom.
Buku Puthut berjudul Seorang Laki-Laki yang Keluar dari Rumah. Ini novel kedua Puthut setelah Cinta Tak Pernah Tepat Waktu yang dirilis berabad-abad lalu. Ada perasaan berbeda ketika membaca buku ini, apalagi setelah khatam membaca Para Bajingan yang Menyenangkan. Seorang Lelaki terasa kelam. Walau ada beberapa taburan humor melalui karakter Rus. Walaupun kisah fiksi, beberapa karakter di buku ini nyata, bahkan sebagian saya kenal secara personal.
Karakter Rus, misalkan. Ia seorang pria seumuran saya, asalnya dari Situbondo. Baik hati. Humoris. Punya banyak stok kisah lucu melimpah –termasuk hobinya lempar-lemparan tai dengan kawan-kawannya waktu kecil dulu, dan menganggap semua anak kecil di seluruh Indonesia punya hobi sama. Muatamu, Rus :)) Karakter lain adalah Salim Kancil, Don Setyo, dan tentu saja Cak Amrullah yang saya kenal dengan amat baik.
Sedangkan buku Yusi berjudul Muslihat Musang Emas, kumpulan cerpen. Beberapa judul seperti “Muslihat Musang Emas dan Elena” dan Pemuda Penyayang sudah pernah saya baca sebelumnya. Buku ini pekat sekali dengan karakter cerpen Yusi: karakter ganjil (“Pak Pendek Anggur Orang Tua Terakhir di Dunia”), kisah seks menggelikan dan melibatkan perkara gender (“Muslihat Musang Emas dan Elena”), pria bernasib apes (“Bagaimana Ben Kembali Memeluk Islam”), pria bernasib apes kuadrat dan menjalani petualangan tak tertanggungkan sekaligus contoh bagaimana keisengan seorang penulis bisa membuat kawan-kawannya di dunia nyata tertawa pahit karena dijadikan nama karakter aneh (“Samsara”), hingga cerpen yang lahir dari kisah kawan-kawan yang punya cerita hidup menarik (b.u.d).
Seperti biasa, cerpen Yusi bersih sekali, susah sekali menemukan cela. Favorit saya adalah “Pak Pendek Anggur Orang Tua Terakhir di Dunia” dengan kisahnya yang berliku, dan punya plot twist mencengangkan. Bikin saya misuh-misuh usai baca. Cocok di taruh di bagian akhir, sama seperti hidangan penutup mulut yang memuaskan –yah walau kekelaman di bagian akhirnya bikin tenggorokan terasa tercekat.
Selain itu, saya juga berhasil melahap dua buku fiksi lain: Dari Hari ke Hari karya Mahbub Junaidi, dan 24 Jam Bersama Gaspar. Judul pertama sudah saya dapat bertahun lampau, dari Bana yang saat itu aktif di komunitas literasi Surah. Komunitas itu pula yang menerbitkan Dari Hari ke Hari. Tapi entah kenapa, saya selalu terhenti di tengah jalan. Berulang kali. Jadinya saya harus mulai membaca dari awal. Beruntung, akhirnya buku ini kelar juga.
Buku ini berkisah tentang keluarga yang pindah dari Jakarta ke Solo pada awal-awal kemerdekaan. Berlatar revolusi, novel ini tetap menyenangkan karena sudut pandang diambil dari seorang bocah berusia 12 tahun. Ada perang, pemberontakan, seorang bocah tak peduli. Ia tetap bersenang-senang layaknya bocah usia belasan. Sewaktu pertama dibaca, celetukan dan humor Mahbub terasa segar sekali. Saya berkali-kali terkekeh. Mahbub juga lihai sekali mencari perumpamaan. Bagian favorit saya ini.
Kami murid-murid yang berkepala botak baris berjajar dua-dua, bagaikan ubur-ubur yang mengambang di laut, berpencar mengambil jarak, gerak badan menurut irama musik yang menimbulkan rasa girang dari radio, bergumul sumo dorong mendorong seperti anak-anak domba, atu saling pentung sistem kendo dengan tongkat panjang sambil mendengus-dengus, menyerbu lubang perlindungan apabila dengar tanda bahaya, bercanda melempar-lempar butiran tanah di sana, pulang ke rumah sambil menggendong tas di punggung, tanam dan petik buah jarak sambil bernyanyi-nyanyi, mencari bekicot buat makanan tawanan para Belanda, dapat upah ubi jalar sebagai imbalannya, dibikin kolak, dan anak-anak berebut memakannya bagaikan orang hilang ingatan. Sungguh menyenangkan.
24 Jam Bersama Gaspar adalah sebuah kisah detektif berbeda. Tak ada sosok cemerlang seperti Sherlock atau Shinichi Kudo. Gaspar, sang tokoh utama, berencana merampok. Sama seperti film bertema perampokan, selalu ada tim impian yang direkrut untuk memuluskan rencana. Bedanya, tak ada ahli bahan peledak, ahli senapan, ahli IT, atau ahli mobil di buku ini. Membaca buku ini seperti menyaksikan film garapan, siapa ya yang cocok, Quentin Tarantino mungkin ya. Penuh karakter ganjil yang sepertinya punya slogan aing melawan dunia.
Saya selalu suka humor Dio. Gelap, tapi bisa bikin ngakak sampai sakit perut. Salah satu wawancara terlucu yang pernah saya baca sepanjang hidup adalah wawancara Dio dengan Dea Anugrah –sahabatnya sekaligus kalau dijejer cocok sebagai kembaran, sama seperti Fauzie-Fauzan.
Empat buku ini dibaca dalam waktu sebulanan lebih sedikit. Ya berarti kira-kira seminggu satu. Tidak jauh-jauh amat dari janji saya. Sekarang mau libur sebentar baca fiksi. Mau kembali baca buku non-fiksi. Mungkin kembali menandaskan Fargo Rock City yang sempat tertunda karena bukunya hilang –lalu kembali dibelikan Rani. Hehe.