Apa Susahnya Jadi Bujangan?

Sila Datang Kalau Berkenan 🙂
Dalam waktu dua hari lagi, 19 April 2014, saya akan mengambil salah satu keputusan terbesar dalam hidup saya: menikah. 
Hehehe.
Tentu ada banyak pertimbangan sebelum menikah. Tapi semua pertimbangan itu bermuara pada satu hal: memang saya ingin sekali menikah. Lagipula saya mencintai Rani, perempuan yang akan saya nikahi. Bersamanya, saya punya banyak mimpi yang ingin sekali saya capai. Punya anak-anak yang sehat dan lucu. Rumah di pinggir pantai. Hingga sepasang anjing Siberian Husky dan Samoyed. Itu baru tiga keinginan saja.
Dulu, saya ibarat seorang pejalan yang selalu sendirian. Berusaha mencapai keinginan saya sendirian. Masa-masa itu selalu menyenangkan. Sangat menyenangkan. Tapi kadang, di satu titik tertentu, bisa sangat melelahkan. Apalagi menyadari tak ada orang yang bisa diajak berbagi. 
Itu juga salah satu alasan saya menikah. Saya ingin ada orang untuk berbagi hingga kelak nyawa saya dicabut dari ubun-ubun suatu hari nanti.
Dan Rani adalah partner yang menyenangkan untuk berbagi. Rasa-rasanya saya sanggup menghabiskan waktu berlama-lama hanya untuk bercerita dengannya. 
Saya sudah berpacaran nyaris dua tahun dengan Rani. Membagi banyak hal dengannya. Berkisah sama banyaknya. Kadang, pada momen tertentu, saya bisa menangis di hadapannya. Semua masa-masa itu, membuat dan menempa, semakin meyakinkan saya, bahwa Rani adalah perempuan yang saya cari. Semoga selamanya akan begitu.
Sebenarnya saya sudah menulis feature lumayan panjang mengenai pernikahan saya ini. Di dalamnya ada banyak percakapan dengan orang-orang yang saya anggap sebagai guru saya: Mas Puthut EA; Mas Philips Vermonte; Mas Farid Gaban; dan Cak Rusdi Mathari. Tapi saya terpaksa menunda memuat tulisan itu karena dua hal. Tulisan itu belum purna, dan saya lupa dimana menaruh file itu. 
Dasar otak terkutuk.
Tulisan spontan ini saya buat di sebuah kedai bandrek di pinggir jalan kota Jambi. Saya sedang menghabiskan waktu bersama Ayos. Ia kawan saya sedari SD. Kami pernah menghabiskan banyak masa bujang bersama, di jalanan. Dari Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, hingga Madura. 
Ia kebetulan juga akan menikah di bulan Mei mendatang. Hanya beda satu bulan dengan saya. Tadi sore kami banyak mengobrol tentang pilihan kami menikah. Diiringi gelak tawa tentu saja.
Kalau sedang sentimentil, saya dan Ayos sering membatin. Betapa cepat waktu berderap. Tiba-tiba saja, dari kami yang bongak dan sombong berkata bahwa menikah itu menyusahkan, kami sudah akan menikah. Kami dimamah oleh kecongkakan kami sendiri. Tapi ya sudahlah, itulah manusia, orang yang seringkali ditampar oleh kepongahannya sendiri.
Malam semakin tua di Jambi. House music dari kedai penjual bandrek ini semakin bising (dan mengganggu). Indomie goreng dan pisang bakar sudah ludes sejak beberapa menit lalu. Kucing di bawah kursi asyik mengais-ngais kaki saya.
Dua hari lagi, saya akan duduk bersandingan dengan wanita yang saya cintai, di hadapan pria yang membesarkannya dengan penuh seluruh. Sedang keluarga saya ada di belakang saya, mamak dan tante-tante duduk anteng dengan mata yang sembab. Dan saya akan, insyaallah, dengan mantap mengatakan…
“Saya terima nikahnya dengan mas kawin yang tersebut.”
post scriptum: bagi kawan-kawan yang ada di sekitar Jambi, silahkan datang ke acara resepsi saya kalau berkenan. Undangan ada di atas tulisan. Sekalian saya minta doanya, agar pernikahan ini hanya akan dipisahkan oleh maut.

5 thoughts on “Apa Susahnya Jadi Bujangan?

  1. Barakallahu….
    Selamat ya mas…
    Finally, someday kita ketemu mas di Jambi (mungkin)

    Semoga jadi keluarga yang sakinnah,mawaddah,warrohmah…

    Jim Morrison Bless Both Of You, 😉

Leave a Reply

Your email address will not be published.