Sang pedagang menolak. Alasannya, selain karena penawaran itu dianggap terlalu murah, juga agar buku-buku dagangannya yang lain juga ikut terkerek harganya. Sekarang buku Serat Centhini itu ia simpan dalam lemari besi di bank swasta.
Setelah ditelusuri, kisah itu bukan sekedar mitos. Melainkan kisah nyata. Pedagang itu bernama Daus, pemilik toko buku Samudera.
Daus pernah membuat gempar para pengunjung Indonesia Book Fair dua tahun silam. Ia memajang tiga baliho berukuran sedang di stannya, menawarkan tiga buku antik dengan harga luar biasa mahal. Buku pertama adalah Tan Malaka Bapak Repoeblik Indonesia karya Mohammad Yamin cetakan tahun 1946 yang ia banderol 150 juta rupiah.
Buku kedua adalah album foto orisinil kunjungan mantan Presiden Soeharto di Jepang pada tahun 1968. Album foto ini ia beri harga lebih mahal: 200 juta. Namun yang paling bikin kaget adalah buku Serat Centhini buatan tahun 1814 yang harganya 5 milyar! Konon buku ini hanya ada tiga eksemplar di seluruh dunia.
Daus yang sudah lebih dari 10 tahun terjun dalam dunia perbukuan, menganggap harga buku antik itu memang mahal karena sebanding dengan kesukaran mencari bukunya. Hingga sekarang buku ini belum laku.
Ada lagi cerita: tentang kisah seorang anak mantan presiden Indonesia. Suatu hari ia datang ke pusat buku bekas di Blok M Square dengan membawa uang sebanyak 25 juta rupiah. Hari itu ia pulang dengan membawa tumpukan buku dan… tanpa sepeser pun uang sisa.
***
Siahaan tampak sibuk sore itu. Ia memasukkan banyak buku ke dalam kardus bekas air mineral. Ada sekitar 10 buku yang sudah ia masukkan di dalam kardus.
“Ini pesanan, nanti mau dikirim ke pemesannya,” katanya sembari tersenyum dan mengelap peluh.
Siahaan bertubuh pendek, namun kekar. Rambutnya pendek. Berwarna hitam dengan sedikit uban di sana sini. Ia mudah dikenali: ada dua tahi lalat. Masing-masing satu di rahang kanan dan rahang kiri. Siahaan adalah salah satu pedagang lama di kios pasar buku Senen. Pria asal Medan ini sudah membuka lapak di Senen sejak tahun 1988.
“Tapi saat itu masih di depan terminal. Lalu ada penggusuran, dan dipindah ke dalam,” ujarnya.
Siahaan yang menempati kios berukuran 1,5 x 2,5 m di Blok E itu selalu bersemangat kalau membicarakan soal buku. Sebagai pedagang buku, ia suka membaca semua buku dagangannya. Namun ia paling suka membaca buku sastra.
Karena itu, banyak buku dagangannya adalah sastra. Baik klasik maupun modern. Di rak, tampak buku karya sastrawan dan penulis besar. Shakespeare. Emily Bronte. Charles Dickens. Cervantes. Hingga John Steinbeck, pengarang favoritnya. Ia mengaku punya semua koleksi buku Steinbeck.
“Tahu buku Steinbeck yang paling bagus?” tanyanya.
“Travels With Charley?” jawab saya. Itu buku Steinbeck favorit saya, mengenai pengalaman Steinbeck berjalan-jalan keliling Amerika dengan naik truk camper ditemani anjing French poodle kesayangannya.
“Iya. Itu bagus juga. Tapi menurut saya The Grapes of Wrath itu yang paling bagus,” katanya menjawab sendiri pertanyaannya, sembari mengeluarkan buku itu, terbitan Pinguin Classic, dari rak.
Siahaan punya dua buku The Grapes of Wrath, dari penerbit yang berbeda. Itu ia lakukan karena dulu pernah ada seorang pembeli asal Yogyakarta yang mencari buku itu, rela membayar mahal. Tapi Siahaan ternyata kehabisan stok.
Kejadian itu jadi pelajaran. Sekarang, saat ia menemukan buku-buku babon sastra, ia pasti membelinya. Kalau perlu beli dua atau tiga eksemplar, seperti yang ia lakukan pada The Grapes of Wrath.
Siahaan banyak bercerita mengenai dunia buku bekas di seputar Pasar Senen sore itu. Ia mengatakan bahwa perdagangan buku bekas ternyata mempekerjakan banyak sumber daya manusia. Siahaan mencatat bahwa sebelum ada pendataan pedagang buku bekas di Senen, ada sekitar 30 orang pedagang buku bekas di tempat itu. Setelah dilakukan pendataan menjelang relokasi ke kios, ternyata sudah ada 46 orang yang berdagang buku. Itu belum ditambah dengan makelar buku yang berjumlah sekitar 20 orang.
“Makelar itu orang yang tak punya lapak dan tak punya buku, tapi ikut mencarikan buku ke para pedagang. Ia mengambil komisi dari setiap buku yang laku. Jumlah 20 orang itu hanya untuk di Pasar Senen saja,” kata pria kelahiran tahun 1967 itu.
Tak banyak orang yang tahu bagaimana para pedagang buku seperti Siahaan bisa mendapatkan stok buku bekas. Ternyata alur perdagangan buku bekas bisa dilacak hingga ke akar. Menurut cerita Siahaan, akar penopang peredaran buku bekas ini adalah para pengepul buku yang mengambil buku-buku bekas dari para tukang loak.
Ia lantas memberi contoh seorang tokoh besar, sembari meminta nama itu tak dicantumkan. Saat tokoh besar itu meninggal, ia turut meninggalkan ribuan buku koleksinya, dan ahli warisnya tak memiliki rasa memiliki terhadap buku itu.
“Satu bulan masih bertahan. Dua bulan masih bertahan. Tiga bulan sudah mulai gak tahan. Ahli waris pasti berpikir kalau ribuan buku itu memakan banyak tempat, dan makan biaya perawatan. Jadi mending dijual saja semuanya,” katanya.
Biasanya buku-buku peninggalan seperti itu dijual borongan. Siahaan menyebutkan buku koleksi milik tokoh besar itu berjumlah dua truk. Konon ribuan buku itu dijual dengan harga hanya 15 juta rupiah saja. Padahal banyak diantaranya yang merupakan buku babon dan buku langka.
Di sinilah peran para pengepul. Kaum pengepul biasanya hafal dimana saja tukang loak ini mangkal. Juga punya jaringan luas soal buku milik tokoh besar yang dijual.
“Para pengepul itu biasanya disebut sebagai pedagang tingkat pertama,” kata Rico, salah seorang pemilik kios buku di Blok M Square.
Rico sudah sejak 2009 membuka kios di Blok M. Namun sebelum itu ia sudah sejak tahun 2001 menjadi “pemain lapangan”, istilahnya untuk menyebut penjual yang mencari buku di lapangan, bukan sekedar menjual di kios.
Pria kelahiran Padang itu termasuk salah satu pedagang buku gelombang pertama di Blok M Square. Sebelumnya, ia membuka kios buku di Jatinegara. Para sejawatnya di Blok M, memanggil ia dengan sebutan ‘bang’, tanda ia cukup dihormati oleh para pedagang lain.
Rico dengan unik membuat sendiri jenjang pedagang berdasarkan tugas dan harga beli buku. Dalam sistem itu, bisa diketahui kalau ada empat tingkat pedagang buku.
Yang pertama, ia sebut dengan pedagang tingkat satu. Istilah lainnya adalah pemain lapangan, atau pengepul. Mereka adalah orang-orang yang bertugas untuk keliling Jakarta, mendatangi para tukang loak untuk mencari buku yang layak beli. Pedagang tingkat ini biasanya membeli buku di loakan seharga dua ribu hingga tiga ribu rupiah per buku. Atau kadangkala dengan sistem kiloan. Pedagang pertama ini lantas menjual buku ke pedagang kedua.
Pedagang kedua ini sebenarnya nyaris sama dengan pedagang pertama. Pedagang kedua juga turun ke lapangan, namun mereka juga punya kios. Jadi mereka bisa saja membeli dari pedagang pertama, namun kadangkala mencari barang sendiri ke tukang loak. Jika pedagang kedua membeli dari pedagang pertama, harganya berkisar antara empat ribu sampai enam ribu rupiah per buku. Juga bisa memakai sistem kiloan.
“Pedagang kedua lantas punya pilihan. Menjual di kiosnya sendiri, atau mengopernya ke pedagang ketiga,” tukas Rico.
Pedagang ketiga ini adalah pedagang yang murni berdagang lewat kios. Mereka nyaris tak pernah turun ke lapangan. Biasanya mereka dapat buku dari setoran pedagang kedua.
“Kisaran harga belinya antara tujuh hingga sembilan ribu, lalu mereka menjual dengan harga tergantung mereka,” Siahaan menerangkan.
Kasta paling tinggi adalah pedagang tingkat empat. Golongan ini adalah penjual yang khusus menjual buku-buku dengan harga fantastis. Harga bukunya berkisar ratusan ribu, hingga ratusan juta.
Salah satu pedagang yang seperti itu adalah Ipung. Ia adalah pemilik kios buku Bumi Nusantara di Blok M Square.
Sejak mulai berdagang buku pada 2010, Ipung memang sudah memposisikan diri sebagai penjual buku dengan harga dan segmen premium. Kisaran harga buku di tempatnya mulai dari 75 ribu hingga yang termahal 75 juta. Harga itu tak mengherankan. Karena koleksi buku Ipung memang klasik dan antik.
“Saya sejak awal memang sengaja fokus ke buku tentang sejarah, sastra, dan seni, buku antik,” tukas lelaki yang dulu bekerja sebagai fotografer musik sebelum total menerjunkan diri jadi pedagang buku bekas.
Saat ditanya harga buku termahal yang pernah ia jual, pria berambut gondrong ini sedikit rikuh. Tapi akhirnya ia mau berbagi rahasia. “Dulu saya pernah jual harga 14 juta. Itu majalah kuno, bendelan,” katanya tanpa menyebutkan nama majalahnya.
Saat ini Ipung punya satu harta karun. Ia lupa judul bukunya, yang pasti itu buku tentang fauna di Ambon. “Itu cetakan tahun 1768, sudah hampir tiga ratus tahun,” tuturnya tersenyum.
Ia membanderol harga buku itu antara 40 hingga 75 juta. “Jadi harga pastinya ya di kisaran angka itu lah, tergantung nego.” Hingga sekarang buku itu masih menunggu pembeli.
Selain Ipung, pedagang buku bekas lain yang fokus menjual buku-buku antik dan langka adalah Harri Purnomo.
Pria berbadan subur yang akrab dipanggil Gieb ini termasuk salah satu pedagang buku dunia maya yang fokus pada buku-buku antik dan langka. Dalam situsnya, ia menuliskan kalau toko buku miliknya hanya menyediakan “…banned books, rare books dan used books.” Hal itu diperjelas dengan kredonya: Menjual Buku yang Tak Ada di Toko Buku.
Salah satu buku dagangan Gieb yang berharga fantastis adalah Indonesia Dalem Api dan Bara. Buku yang konon hanya ada sebanyak 13 eksemplar di Indonesia ini ditawarkan dengan harga 20 juta rupiah.
“Meski sampai sekarang belum ada yang membeli, tapi sudah ada beberapa yang menawar,” kata pria yang juga punya buku Tan Malaka: Bapak Repoeblik Indonesia karangan Muhammad Yamin yang ia banderol 20 juta rupiah.
Kisaran buku antik yang dijual Gieb berkisar ratusan ribu hingga ratusan juta. Seperti buku Gerilja, Politik, Ekonomi karya Tan Malaka cetakan pertama tahun 1948 yang ia banderol 850 ribu. Di lain waktu, Gieb juga menawarkan borongan 1.500 buku yang ia jual seharga 250 juta rupiah.
Ia pernah berkata suatu ketika, “Harga buku yang saya jual memang fantastis. Khusus buat manusia-manusia bibliothec fetish yang sadis.”
***
Semenjak terjadi “coup d’état” Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, gerakan kiri di Indonesia dianggap sebagai musuh. Rezim Orde Baru melarang peredaran dan memberangus nyaris semua buku berhaluan kiri. Tentu saja, penentuan mana kiri dan mana bukan adalah hal yang bias.
Namun sejak rezim Orde Baru tumbang, maka berbondong-bondong orang mulai mencari buku berhaluan kiri. Mendadak buku Karl Marx, Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, bahkan D.N Aidit, yang sebelumnya dilarang, menjadi populer.
Di dunia buku bekas, buku-buku kiri yang dulu dilarang dan diberangus, sekarang malah menempati pangsa pasar premium. Harganya bisa mencapai ratusan ribu hingga ratusan juta per eksemplar.
Ipung, sebagai salah satu pengumpul buku-buku klasik juga mengakui kalau buku kiri di zaman sekarang itu bisa berharga mahal.
“Buku-buku kiri itu buku paling seksi di Indonesia. Pram (Pramoedya Ananta Toer), Tan, Aidit,” katanya.
Namun harga ini juga bergantung pada pengetahuan penjual. Kisah mengenai harga dokumen kiri ini juga menarik untuk diceritakan. Salah satunya adalah kisah tentang pengepul yang menjual sebuah dokumen D.N Aidit dengan harga sangat murah: dua ribu rupiah. Hal itu semata karena ia tak tahu bahwa dokumen tipis dengan kertas yang sudah berwarna cokelat dimakan usia itu, ternyata berharga. Terutama bagi para kolektor.
Salah seorang pedagang buku yang tahu betapa berharganya dokumen itu lantas membelinya, lalu menjualnya kembali dengan harga jutaan rupiah. Ia beruntung.
“Itu gue juga pernah beli dokumen Aidit, harganya tiga ribu aja. Gue jual ratusan ribu ke pedagang keempat. Dia terus jual ke kolektor harganya udah jutaan,” kata Rico, salah satu pedagang yang beruntung itu.
Akan tetapi, yang patut ditanyakan kemudian: apakah gagasan kiri itu memang kembali populer? Ataukah hanya soal gengsi karena bisa mengoleksi dokumen antik semata?
Menurut Siahaan, buku kiri yang laku dengan cepat dan berharga mahal itu adalah buku atau dokumen kiri yang antik. Ia memberi contoh buku Tan Malaka yang berjudul Dari Penjara ke Penjara. Yang berharga mahal itu adalah cetakan-cetakan awal.
“Cetakan barunya sih ya gak cepat laku dan gak berharga mahal pula,” katanya sembari menunjukkan buku Penjara ke Penjara cetakan terbaru, yang masih belum laku.
Hal yang sama juga terjadi pada buku-buku Pramoedya Ananta Toer terbitan lama. Harganya bisa ratusan ribu. Namun cetakan terbarunya berharga standar.
“Buku kiri itu laku karena antiknya. Bukan soal pengetahuannya,” kata Siahaan tergelak.
***
Dunia buku juga dunia yang penuh nubuat. Suatu kali, diramalkan bahwa buku fisik akan habis ditelan kemajuan zaman. Atas nama kepraktisan, orang akan membaca buku digital. Jauh lebih ringan, ringkas, dan lebih murah. Plus: lebih ramah lingkungan. Ada pula tenungan bahwa toko buku akan gulung tikar satu persatu, digantikan toko buku dunia maya. Tanbiat macam itu tampaknya bukan isapan jempol belaka. Setidaknya kalau berdasarkan data statistik.
The Bookseller Association, sebuah asosiasi tempat bernaung para penjual buku di Inggris dan Irlandia, mengungkapkan kalau terjadi penurunan jumlah toko buku secara drastis. Organisasi yang menaungi sekitar 95% dari total penjual buku di Inggris dan Irlandia mengeluarkan pernyataan kalau ada penurunan anggota hingga 20%.
Pada tahun 2006, The Bookseller Association memiliki anggota sejumlah 4.495 toko buku. Namun dalam catatan mereka circa Juni 2011, ada pengurangan sebanyak 800 toko buku dan terus berkurang. Hingga sekarang anggota organisasi ini hanya 3.683 toko buku.
Salah satu toko buku yang terpaksa gulung tikar adalah The Harbour Bookshop yang sudah berdiri selama 60 tahun. Salah satu manajer toko itu menyatakan alasan tutupnya toko karena, “…penjualan di toko buku ini tergerus oleh perkembangan penjualan di toko buku online.”
Tren penjualan buku di dunia maya ikut berkembang saat internet ada dan melahirkan tren online shopping. Gieb adalah salah satu orang yang menyadari tren jual buku di dunia maya. Lelaki berambut tipis ini sudah berjualan buku melalui laman media sosial sejak 5 tahun lalu.
Ia mulai berdagang dengan menggunakan nama akun Mijielnya Gieb di Facebook. Juga memajang koleksi dagangannya di situs tokobukumijil.com
Secara perhitungan bisnis, berjualan di dunia maya memang menguntungkan. Para penjual tak perlu mengeluarkan biaya untuk sewa tempat, atau membayar listrik, misalnya. Tinggal mengunggah foto buku ke akun media sosial, maka pembeli bisa menawar, dan terjadi transaksi. Karena itu, modalnya pun tak perlu besar.
“Aku mulai bisnisku cuma modal 300 ribu,” kata Gieb sembari menyeruput kopi saat saya temui di sebuah sore yang hangat.
Tak hanya menguntungkan, perputaran uang di bisnis toko buku dunia maya ini juga cepat. Di awal-awal berjualang, setiap minggu Gieb bisa mengunggah 20 buku dagangan baru. “Nyaris semua sold out,” tutur Gieb yang mendapat pasokan bukunya dari para pengepul. Setiap bulan ia mengaku bisa mendapat omzet bersih 3 hingga 5 juta rupiah.
Namun semenjak satu tahun belakangan, Gieb punya banyak saingan karena sudah semakin banyak akun toko buku dunia maya. Banyak dari mereka bahkan ikut turun ke lapangan, mencari buku dari tukang loak. Kadang pula langsung datang ke para pengepul buku.
“Sekarang sih seminggu cuma bisa majang lima buku baru, itu udah mending,” kata lelaki asal Solo ini sembari meringis.
Gieb lantas mencari jalur baru –yang ia sebut sebagai jalur bawah tanah– untuk menjual dagangannya, yakni lewat jalur politisi. Jalur ini adalah menjual buku-buku antik –biasanya filsafat atau ideologi tertentu– kepada para politisi langsung.
“Tentu bukunya yang sesuai dengan ideologi politisinya. Seperti menjual buku Marhaenisme pada politisi PDI Perjuangan,” ujarnya.
Selain itu ia juga mulai menjual melalui twitter, media sosial yang selama ini kurang dilirik oleh akun toko buku dunia maya yang kebanyakan menggunakan Facebook. Usaha itu menampakkan hasil. Melalui jalur bawah tanah, beberapa buku dibeli oleh politisi dengan harga lumayan. Dari twitter, ia mendapatkan pembeli dari kalangan orang beken yang suka membeli buku antik.
“Dari jalur politisi, aku pernah dapat untung 10 juta dalam satu minggu. Aku buat beli motor,” kata Gieb sembari tergelak.
Tren toko buku di dunia maya ini diikuti dengan tren buku digital (e-book). Seringkali, buku digital dianggap membunuh penjualan buku fisik, terutama di negara-negara maju yang penduduknya banyak memiliki sabak digital.
Angka penjualan buku digital juga mencatatkan angka yang mencengangkan. Di Inggris dan Irlandia, kenaikan penjualan buku digital mencapai 318% pada tahun 2010. Kenaikan ini dianggap turut andil terhadap tutupnya 72 toko buku fisik independen. Berdasarkan perkiraan dari jajaran eksekutif The Bookseller Association, dalam 10 tahun mendatang, penjualan buku digital akan merajai pasar, menyamai atau bahkan mengalahkan penjualan buku fisik.
Gelombang menurunnya penjualan buku fisik ini juga sampai ke Pasar Senen. Bahkan beberapa orang pedagang merasa penurunan ini sudah dimulai lebih dulu: sejak era fotokopi.
“Sebelum ada fotokopi, orang kan tak mungkin menyalin segitu banyak tulisan. Jadi harus beli buku. Pas ada foto kopi, orang tinggal fotokopi aja,” kata Siahaan dengan logat Bataknya yang kental.
Pedagang buku bekas di Blok M Square juga merasakan hal yang sama. “Saat ini penjualan buku emang lagi seret,” tutur Rico, “tapi kalau lagi musim buku pelajaran, keuntungannya bisa nutupin seret selama setaun.”
Namun para penjual buku bekas ini masih bisa menghela nafas. Setidaknya ramalan buku fisik dihantam oleh buku digital, masih terasa jauh. Di Indonesia, pengguna sabak digital dan pembeli buku dunia maya masih sedikit. Setidaknya tak sebanyak di Inggris.
Meski mengalami penurunan penjualan, para pedagang buku bekas tak memungkiri kalau omzet mereka masih cukup besar.
“Ya mungkin omzetnya cuma kalah sama jualan narkoba lah,” kata Rico tergelak.[]
Tulisan ini yang aku tunggu, Ran! 🙂 Yang kamu ceritakan waktu di TB itu, yes?
saya baru saja stop jualan buku 🙁