Dua hari lalu Yogyakarta kena gempa. 6,5 SR. Cukup besar, hingga membuat banyak orang keluar dari rumah.
Saat itu matahari sedang berada pas di atas kepala. Titik gempa itu berpusat di 104 kilometer barat daya Kebumen. Gempa itu tak hanya dirasakan di Kebumen dan Yogya. Solo, Semarang, bahkan Wonosobo pun merasakan gempa itu. Konon getaran gempa terasa sampai Malang.
Saya sedang di depan laptop waktu itu. Wisnu, kawan saya, juga sedang mengerjakan pekerjaannya. Kami berbagi meja panjang yang sama. Di tengah ruangan kantor. Sedang Nody sedang asyik tiduran sembari mendengarkan musik Gandrung Banyuwangi. Pekerja rumah tangga di kantor kami, Mbah Pah, sedang menyapu di halaman depan.
Waktu gempa baru berjalan dua detik, saya dan Wisnu baru sekedar berpandangan. Ah, palingan bentar doang, pikir kami dalam hati. Tapi kami mulai panik saat gempa masih menggoyang 5 detik kemudian.
“Gempa yo?” kami sama-sama saling bertanya. Kami akhirnya berlari keluar rumah karena gempa berlangsung cukup lama.
Saya masih sadar dan berusaha tidak panik. Saya masih sempat berpikir untuk membawa laptop turut serta. Meski itu laptop murah, tapi ia satu-satunya harga berhargaku. Semua data ada di sini. Sedang Wisnu meninggalkan laptopnya di meja. Ia mungkin lupa. Hehe.
Beberapa orang tetangga sudah keluar dari rumah sembari sedikit panik. Gempa tak berlangsung lama. Getaran besar hanya berlangsung sekitar 15-20 detik, tapi getaran kecil terasa hingga 2 menit. Setelah meyakinkan diri kalau gempa tak akan datang lagi, barulah kami masuk ke dalam rumah.
Saat itulah Nody baru keluar rumah. Ia sadar ada goyangan, tapi ia mengira Mbak Pah yang menggoyang jendela.
“Tapi kok goyangane tambah kenceng, tibake gempa,” kata Nody sembari cengengesan.
Setelah keadaan tenang, saya membuka twitter. Benar saja. Ada banyak cuitan tentang gempa. Kawan-kawan saya di Bantul banyak yang panik. Takut ada tsunami. Untung tak kejadian.
Dari banyaknya twit tentang gempa, benang merahnya adalah tentang trauma gempa tahun 2006. Saat itu gempanya berskala 6,2 SR. Namun getaran keras berlangsung hingga nyaris satu menit.
Efeknya benar-benar dahsyat dan mengerikan. Semakin mengerikan karena episentrum gempa berada di 25 km selatan-barat daya Yogyakarta. Gempa yang pertama terjadi pada jam 5 lebih 30 menit, dan disusul oleh tiga kali gempa berikutnya: mulai dari jam 6 pagi, 8, hingga jam 11 siang. Akibat bencana ini, korban tewas tercatat 5.700 orang, puluhan ribu orang luka, dan menyebabkan ribuan bangunan lantak.
Dengan efek yang semengerikan itu, pantas kalau penduduk Yogyakarta trauma dengan gempa. Bahkan saya sempat mencuri pandang: tetangga depan rumah mukanya tempias dengan istighfar yang tak kunjung berhenti dari bibirnya.
***
Tadi malam saya keluar dengan Panjul. Sehabis mengambil buku, kami makan malam dan ngobrol ngalur ngidul seperti biasa. Salah satu topiknya adalah gempa kemarin.
“Lu bisa bayangin gak kalau kena gempa pas lagi tidur?” tanya Panjul sembari setengah bergidik.
Saya menggelengkan kepala sembari melihat tembok penyangga besar nan kokoh yang berada tepat di atas kami berdua. Meski ia kelihatan kokoh, tapi ia tak ada apa-apanya dibandingkan gempa. Saya mendegut ludah. Membayangkan kalau tiba-tiba saat itu ada gempa dan tembok penyangga itu jatuh menimpa kepala saya.
Saya merinding.
Ndilalah, sekitar pukul 11 malam, saat saya sedang asyik menonton serial The Newsroom, kasur tempat saya rebahan tiba-tiba bergoyang keras. Sial, gempa lagi! Saya terbangun dari posisi tidur. Duduk sembari mengambil ancang-ancang untuk lari sembari membawa laptop. Untunglah gempa hanya berlangsung sekitar 5-6 detik.
Meski hanya berlangsung singkat, efeknya tetap bikin saya tak bisa tidur. Apalagi sehabis obrolan dengan Panjul soal gempa tadi. Saya menengok asbes di atap kamar. Lalu tembok kamar yang sepertinya juga kokoh.
Saya tersenyum pahit.
Itu kelakuan bodoh tentu saja. Karena saya seperti orang yang takut mati. Kalau memang saya harus mengalami kecelakaan, tentu tak harus menunggu gempa. Dulu, sewaktu saya masih tergila-gila dengan mitos rockstar-mati-mulia-di umur-27-, saya pernah punya keinginan mati muda. Di umur 27 tepatnya. Biar seperti Jim Morrison atau Brian Jones. Tapi sekarang saat umur saya merambat ke angka 27, keinginan mati muda itu memudar. Terkalahkan oleh betapa menyenangkannya hidup.
Ternyata saya tak cukup siap mati muda. Apalagi mati karena kejatuhan tembok saat gempa. Sungguh sebuah kematian yang tak elok. Tapi hei, siapa yang bisa memilih cara terlepasnya sukma?
Semoga semua arwah yang meninggal saat gempa diberikan tempat yang tenang dan indah di sisiNya. Amin.
Ngomong-ngomong soal meninggal saat gempa, ada sebuah kejadian yang membuat saya menyunggingkan senyum.
Saat itu malam hari, di tahun 2009. Ada gempa kecil yang terasa di rumah kami. Orang Jawa Timur menyebutnya lindhu. Beberapa menit sebelum gempa terjadi, ayah dan mamak saya sedang tidur-tidur ayam.
Waktu gempa terjadi, mamak, yang dasarnya memang gampang panik, tentu saja panik sembari berteriak gempa. Ia sudah mau meloncat dari kasur, saat tangan ayah memegangnya lembut.
“Laopo mlayu, lek wis wayae mati yo pasti mati kok.” Buat apa lari, kalau sudah waktunya mati ya pasti mati kok, kata ayah saya kalem.
Ayah sudah kena stroke waktu itu. Ayah sudah pasrah. Ia tahu, meski mamak menariknya untuk berlari, ayah akan kesusahan untuk sekedar bergerak. Mungkin, kala itu, kematian hanya berjarak sejengkal dari ubun-ubun kepala.
Untung lindhu itu hanya berlangsung beberapa detik. Tapi setelahnya mamak sewot.
“Dadi wong kok pasrah tenan,” omelnya.
Ayah hanya tertawa kecil.
Saya tentu tak sesiap dan setenang ayah saya dalam menghadapi segala macam bahaya. Apalagi kematian.
Setelah gempa pukul 11 malam tadi, hingga jam 5 pagi ini saya tak bisa memejamkan mata. Selain karena kebiasaan, saya berusaha bersikap waspada. Teringat pertanyaan Panjul tentang gempa yang terjadi saat tidur. Apalagi gempa Yogyakarta terjadi sewaktu orang sedang asyik terlelap. Maka saya memutuskan untuk tak tidur hingga matahari naik nanti.
Rani sudah mewanti-wanti agar menyiapkan barang dalam tas. Berjaga kalau harus evakuasi. Saya sudah menaruh beberapa barang dalam tas, seperti pakaian dan celana. Tapi itu barang yang memang belum saya keluarkan dari tas semenjak datang dari Jakarta beberapa waktu lalu. Hehehe.
Mengingat bencana, tiba-tiba saja saya teringat doa yang diajarkan saat SD dulu. Doa menjauhkan diri dari bencana. Iya, seringkali saya hanya ingat tuhan sewaktu sedang susah saja.
Bismillahil lazi la yadurru ma’asmihi syai’un fil ardi wa la fis sama’i wa huwas sami’ul ‘alimu.
Dengan menyebut nama Allah, sesuatu itu tidak berbahaya di bumi dan di langit. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Amin. []
Dengan menyebut nama Allah, sesuatu itu tidak berbahaya di bumi dan di langit. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Amin. []
Salah satu ketakutan saya adalah gempa di malam hari di saat sedang enak-enaknya tidur. Terkadang sebelum tidur saya sering berpikiran seperti ini. Gimana ya nanti kalau gempa? Saya bisa cepat bangun dan keluar dari rumah gak ya? Dan pastinya hidup dengan ketakutan seperti itu memang gak seru.