Lorong Buangkok: Makadam Terakhir di Negeri Singa

Mungkin kalau tak ada apartemen yang mengelilingi tempat ini, saya mengira Lorong Buangkok adalah bagian dari Lumajang, kota kelahiran saya. Suasananya tenang. Jalan berupa makadam. Masih dipenuhi rindang pepohonan. Di depan pintu masuk menuju desa ini ada gerombolan pohon kersen. Saya selalu suka memanjat pohon ini di rumah kakek di Lumajang. Di depan rumah, sore itu, beberapa warga keluar dan bercengkrama. Ada yang main mahyong, ada yang membaca koran, dan ada yang pergi ke surau seperti Pak Awi.

Sore itu hujan sudah tinggal sisa di Lorong Buangkok. Ada beberapa genangan air di depan surau. Pak Awi datang dengan menggunakan payung berwarna merah. Rambutnya yang keperakan tampak kontras dengan bajunya: gamis panjang berwarna hijau muda.

“Kenapa tak masuk saja?” tanyanya dalam logat Melayu.

Ia membuka pintu yang digantungi gembok tak terkunci itu. Menyilakan saya masuk. Menanyakan apa saya mau kopi atau tidak. Saya mengangguk. Kopi panas di kala dingin tentu bukan pilihan yang buruk.

“Dari Indonesia ya? Rokok kreteknya mantap,” katanya sembari menyorongkan rokok U Mild.

Saya menggeleng. Tak merokok, kata saya. Dia kaget. Kenapa tak merokok, tanyanya. Saya bilang tak pernah tertarik merokok. Dia tertawa. Padahal rokok Indonesia itu enak, ujarnya terkekeh. Lalu dia menyibakkan serbet di atas meja. Ternyata ada satu pak rokok Gudang Garam yang ia sembunyikan.

“Ini jagoannya,” katanya senyum-senyum.

Rokok Gudang Garam tak diproduksi di Singapura. Jadi masuknya harus dibawa sembunyi-sembunyi. Di kalangan penjual bawah tanah, rokok ini dihargai 6 SGD. Kalau rokok U Mild, karena resmi harganya malah lebih mahal: 10 SGD. Singapura memang bukan negara yang ramah terhadap perokok.

“Kalau di Indo, itu mungkin bisa buat beli 4 bungkus ya?” tanyanya, yang saya balas dengan anggukan dan senyum lebar.

Awi adalah pengurus Surau Al-Firdaus, satu-satunya surau di Kampung Lorong Buangkok. Jika hari Jumat tiba, para warga Lorong Buangkok harus pergi ke masjid terdekat yang terletak sekitar 2 kilometer dari kampung ini. Sebab warga muslimnya tak sampai berjumlah 40.

Kampung Lorong Buangkok merupakan kampung terakhir di Singapura modern. Singapura yang kosmpolitan. Di sini, tertinggal jejak-jejak perkampungan yang dulu tersebar di seluruh Singapura. Juga menunjukkan betapa Singapura dibangun dari akar yang berbeda: suku, ras, juga agama. Kamu pun masih bisa melihat rumah beratap seng, yang tentu amat langka di Singapura. Juga rumah dengan dinding papan. Surau Al-Firdaus sendiri dibangun dengan langgam Melayu: papan kayu, atap seng, banyak jendela yang merupakan ciri khas arsitektur bangunan di negara tropis, dan dicat dengan warna cerah.

Surau ini baru ramai saat salat Maghrib. Sebab jika masih sore, seperti saat saya datang, banyak warga yang masih bekerja. Untuk membunuh waktu, selain menyuruh saya mengudap biskuit dengan rasa asin yang tegas, Pak Awi mengajak saya bermain tebak-tebakan. Kali ini obyeknya adalah umurnya.

Satu teknik yang bisa kau tiru untuk menyenangkan hati para manula adalah, tebak umurnya dengan angka lebih rendah dari terkaanmu. Misalkan, kau taksir orang itu berusia 60 tahun. Bilang saja 50 tahun. Hatinya pasti senang. Itu trik yang kemudian saya gunakan. Karena rambut Pak Awi sudah perak, saya menduga usianya sudah lepas landas dari kepala 6. Bahkan sudah pertengahan 70. Supaya pas, saya ambil tengahnya.

“Hmmm, 65 tahun?”

Dia menggeleng sembari tertawa. Tampak senang karena dikira lebih muda. Dia kemudian menaikkan pergelangan tangan, isyarat supaya angka tebakanku dinaikkan.

“Atau 70?”

Dia tertawa. Salah, katanya. “Saya sudah 82,” ujarnya sembari terkekeh. Rupanya dia senang betul dianggap masih kepala 7, pun senang karena bisa membuat saya kaget. Tapi memang saya terkejut. Untuk manula berusia 80 tahun lebih, badan Awi sangat liat. Tegap. Tak ada kesusahan berjalan. Sepertinya ia juga tak kenal encok atau rematik. Dia juga tetap asik klebas-klebus rokok kreteknya. Setiap habis satu, langsung sulut yang baru.

“Tapi cuma di sini saja. Kalau di rumah istri saya mengoceh,” katanya tergelak.

Ponsel pintar Awi kemudian berbunyi. Ia mengangkatnya. Bercakap dengan orang di seberang telepon. Saya mengenal beberapa kosakata yang ia lontarkan. Mirip bahasa Madura, pikir saya. Bahkan bukan mirip, memang kata-kata itu ada di dalam Bahasa Madura. Saya sempat mendengar kaso’on, yang dalam Bahasa Madura berarti terima kasih.

“Itu tadi kawan saya. Kami masih bercakap dengan Bahasa Boyan,” katanya seusai menutup telepon.

Hah? Boyan? Ternyata Awi adalah keturunan Bawean, sebuah pulau kecil di Laut Jawa, sekitar 120 kilometer dari Gresik, Jawa Timur. Istilah boyan kerap dipakai oleh warga Bawean yang merantau ke Malaysia dan Singapura. Orang tua Awi bermigrasi ke Pulau Ubin, yang kini masuk dalam wilayah administrasi Singapura, untuk bekerja sebagai penambang granit. Awi sendiri tak tahu tahun berapa kedua orang tuanya pindah ke Singapura. Yang pasti dulu, kata Awi, belum ada paspor dan visa segala. Kemudian saat berusia belasan, Awi pindah dari Ubin ke Singapura. Bekerja, berkeluarga, dan menetap di sana. Awi sudah tinggal di Lorong Buangkok selama 50 tahun lebih.

Kampung ini jadi terkenal dan banyak didatangi wisman sejak The New York Times memuatnya dalam artikel berjudul “Singapore Prepares to Gobble Up Its Last Village” pada 2009 silam. Setahun sebelumnya, mahasiswa-mahasiswa dari NTU’s School of Communication & Information membuat sebuah film dokumenter bertajuk Selak Kain The Last Kampong. Selak Kain adalah nama alias Lorong Buangkok, yang berarti mengangkat kain atau sarung. Dulu sebelum saluran air jadi sebagus sekarang, desa ini kerap mengalami banjir karena terletak tak jauh Sungai Punggol yang langsung bermuara ke Selat Johor. Saat banjir datang, warga harus mengangkat kain atau sarung supaya bisa berjalan menerobos banjir.

This slideshow requires JavaScript.

Sejarah kampung ini sebenarnya tidak panjang merentang seperti kampung-kampung lain di Singapura yang sudah terlebih dulu dihancurkan oleh pemerintah. Misalkan Kampung Nee Soon yang sudah ada sejak 1859. Desa ini dihancurkan pada 1989 untuk lokasi area yang sekarang dikenal sebagai Sembawang New Town.

Kampung Buangkok baru ada sejak 1956. Saat itu Sng Teow Koon, seorang penjual obat tradisional Cina, membeli tanah seluas 2 hektare dari pemilik sebelumnya. Di tanah rawa itu sudah ada sekitar 6 rumah. Kemudian Teow Koon membangun rumah keluarganya di sana. Karena lahan yang luas, dia mulai menyewakan tanah kepada para pendatang. Pada 1960, sudah ada 40 keluarga yang tinggal di kampung ini.

Teow Koon lalu mewariskan tanah ini pada empat orang anaknya: Sng Mui Hong dan tiga saudaranya. Mui Hong lah yang sekarang mengurusi lahan warisan ayahnya. Para pemilik rumah tetap membayar sewa tanah per bulannya. Harganya bervariasi.

“Kalau saya, sewa tanahnya cuma 13 dolar (Singapura) saja,” kata Awi.

Itu sewa yang teramat murah, bahkan nyaris tak ada artinya, di salah satu negara termahal di dunia. Sebagai gambaran, menurut situs Guide Me Singapore, harga sewa HDB Flats (rumah susun milik negara yang disewakan dengan harga terjangkau) dengan tiga kamar tidur berkisar 2.200 hingga 3.000 SGD. Untuk properti tapak, harga sewanya mulai 8.000 SGD hingga 35.000 SGD. Maklum, tanah di Singapura amat terbatas, karenanya rumah tapak adalah pilihan yang teramat mewah bagi kebanyakan orang.

Tapi tidak untuk warga Kampung Buangkok. Mereka bisa menikmati kesederhanaan yang dianggap sebagai kemewahan bagi banyak orang Singapura: rumah tapak, dengan halaman luas, dan kebebasan berbuat apa saja. Semisal merokok di teras rumah –tapi privilese ini tak berlaku bagi Awi, karena istrinya siap untuk mengomelinya– atau memelihara ayam atau memelihara burung berkicau atau bermain mahyong di kala hujan.

Pemerintah Singapura atau pihak swasta bukannya tak pernah berusaha membeli lahan ini. Pada 2007, The Straits Times pernah menulis artikel berjudul “Singapore’s Last Kampung Worth $33m but Landowner Won’t Sell”. Dalam artikel itu diceritakan bahwa pemilik lahan enggan menjual tanah berharganya. Tak dijelaskan kenapa ia seperti ogah menerima rejeki nomplok itu.

Banyak orang kemudian berspekulasi. Bahwa Mui Hong yang sekarang berusia 64 tahun sudah tak butuh uang banyak. Ia sudah sangat bahagia tinggal di Lorong Buangkok, dengan segala kesantaian dan kesederhanannya. Kontras dengan Singapura yang terobsesi dengan ketepatan dan kecepatan waktu. Untuk menegaskan Ia memang tak begitu menggemari uang: harga sewa tanahnya tak berubah sejak 40 tahun lebih. Kalau ada warga yang tak bisa membayar sewa, Mui Hong kadang dibayar dengan hasil kebun.

Menurut Awi, beberapa pihak swasta sempat mendatangi lokasi ini untuk membeli tanahnya. Namun keinginan itu terbentur dengan permintaan warga. Menurut Awi, tanah memang milik Mui Hong sekeluarga, tapi bangunan adalah hak milik orang yang menempati. Itu artinya jika ada pihak yang ingin membeli tanah ini, mereka harus membayar tanah ditambah bangunannya. Hal ini membuat harga jadi meningkat drastis. Sebab setelah dikumpulkan di surau, warga sepakat kalau harus pindah maka kompensasinya adalah uang senilai apartemen 5 kamar.

Harga apartemen 5 kamar di Singapura berkisar dari 2,5 juta SGD hingga 16 juta SGD. Di Lorong Buangkok ada 31 rumah. Jika disepakati harga ganti rugi rumah adalah 4 juta dolar, itu artinya calon pembeli tanah di sini harus menyiapkan 124 juta SGD. Belum untuk tanah. Sudah pasti ini membuat keder para pembeli. Tapi bagus juga, sebab ini artinya Lorong Buangkok masih bisa bertahan.

Namun pertanyaannya: sampai kapan? Saat ini, nyaris tak ada anak muda yang tinggal di sini. Di sekeliling desa ini sudah berdiri jejeran apartemen yang berusia tak lebih dari 5 tahun, alias masih baru. Saat saya datang, ada proyek pembangunan apartemen baru. Awi sendiri punya empat orang anak, tiga di antaranya sudah keluar dari rumah dan tinggal di apartemen masing-masing. Hanya anak bungsunya yang diminta tinggal di rumah dan menemaninya.

“Saya pernah datang ke rumah anak. Aduh cuma betah sehari saja. Tak ada enaknya,” kata Awi dengan senyum kecut.

Pertama, Awi tak bisa merokok dengan bebas. Di rumahnya, karena takut diomeli sang istri, dia bisa merokok di surau yang terletak pas di seberang rumah. Kalau di apartemen, dia harus turun ke lantai bawah. Kedua, ini yang paling memberatkannya, ia tak bisa memelihara burung dan ayam di apartemen. Di rumahnya sekarang, Awi punya sekitar 5 ekor ayam dan 4 burung berkicau.

“Di apartemen mana bisa pelihara ayam,” katanya tergelak.

Tapi laiknya manusia yang tak pernah menolak takdir atau semangat zaman, Awi santai saja kalau suatu saat harus pindah ke apartemen. Apalagi dia merasa kalau umurnya sudah tak akan lama lagi. Kakek yang menguasai 4 bahasa ini seperti sudah santai menghadapi ke mana takdir membawanya. Entah ke apartemen, atau ke liang kubur. Tak tahu mana yang lebih dulu.

Kopi kami sudah tandas. Rokok yang ia sulut sudah tinggal satu dua kali hisap. Ia menenggelamkan puntung rokok ke dalam mangkok berisi air yang difungsikan sebagai asbak. Lalu ke kamar mandi. Mengambil wudhu.

“Kamu belum salat Ashar kan? Jamaah kita?” tanyanya.

Saya mengangguk dan segera bergegas mengambil wudhu. []

One thought on “Lorong Buangkok: Makadam Terakhir di Negeri Singa

  1. Keren,, saya seperti di dongengin nih,, terkesan juga sama kesederhanaan pemilik tanahnya, artikelnya juga bagus, ada lucu lucunya. ngga bosenin,,

Leave a Reply

Your email address will not be published.