Mari Mendayung Sampan Di Hamburg

Sudah banyak orang yang tahu mengenai Venezia. Banyak pula yang paham tentang sejarah panjang yang mengiringi Venezia. Sebagai kota terapung dengan pemandangan yang indah dan gondola yang populer, tak sulit mencari info mengenai kota ini. Setelah mencari tahu info tentang Venezia, tentu ada tahu kalau harga naik gondola untuk menyusuri kanal-kanal disana adalah tergolong mahal. Dari info terakhir yang saya dapat, tarifnya berkisar antara €80-90 per 50 menit. Mahal beuuddd kalo kata anak gaul.
Saya memang merencanakan pergi ke Venezia hari Senin nati. Tapi hanya untuk melihat rupa kanal dan suasana kota yang dijadikan syuting film Merchant of Venice yang dibintangi Al Pacino itu. Tidak untuk menaiki gondola. Lagipula naik gondola sendirian dan di depan saya ada pasangan yang ciuman itu bikin senewen. Nanti saya malah dosa dan ditangkap polisi karena menceburkan pasangan yang sedang dimabuk asmara itu.

Tapi bukan berarti saya tak bisa menikmati kota dari atas perahu.

Beruntung saya tinggal di Issestr, dan beruntung pula saya punya induk semang bernama Marianne yang begitu baik. Issestr ini terletak diantara Klosterstern dan Eppendorfer Baum, dua daerah yang dipisah oleh lekuk sungai yang cantik. Dan sungai itu terletak pas di belakang rumah Marianne. Pasnya lagi, Marianne punya perahu. Cihuy!

“Kamu mau naik perahu? Lihat kota Hamburg dari perahu itu sangat menyenangkan lho. Kecantikannya bisa berbeda” ujar perempuan baya itu dengan senyum khasnya yang ramah.

Maka seusai kelas bahasa Jerman saya yang terakhir saya langsung pulang, ganti baju, memakai syal di kepala biar rada gaya, lalu langsung lompat ke perahu berwarna merah kepunyaan Marianne.

Perahu ini besar. Bisa dipakai untuk 4 orang. Makanya sedikit susah mengendalikan perahu ini. Harus mendayung gantian kiri dan kanan kalau mau seimbang. Saat itu cuaca cerah tapi angin berhembus kencang.

Tak menunggu lama, setelah dipotret oleh Marianne, saya pun berangkat. Saya melihat peta secara seksama. Rencana berperahu kali ini adalah menelusuri kanal kecil yang membelah Klosterstern dan Eppendorfer Baum, lalu terus hingga pelabuhan wisata Streekbrucke. Dari situ saya akan terus mendayung hingga pelabuhan wisata kedua, Krugkoppelbrucke. Dari sana rencananya saya akan terus mendayung hingga ke danau besar Ausenalster. Mantap betul. Sok kuat sekali saya. Padahal angkat beras 25 kg aja saya sudah ngos-ngosan. Ah, kalau saya tak ada, siapa ya yang mengangkat beras kalau mamak lagi belanja? Semoga ada yang menggantikan.

Akhirnya saya pun memulai dayungan pertama. Menuju arah timur. Angin sangat kencang bertiup ke arah barat. Sesekali saya diputarnya hingga perahu melanting berputar. Tapi karena tenaga masih kuat, saya masih bisa mendayung balik.

Saya beruntung dulu pernah diajak rafting oleh Om Subur. Jadi saya masih ingat dasar-dasar mendayung. Suasana sangat cerah pagi itu. Banyak burung terbang, entah jenis apa saja. Lalu sesekali saya berpapasan dengan bebek dan angsa. Seringpula saya menyapa halo pada orang-orang yang hari itu juga berniat sama dengan saya: menikmati Hamburg dari atas perahu.





Tak disangka, perjalananan ini lumayan berat. Tentu karena angin yang seringkali harus dilabrak, dan berakhir dengan saya ngos-ngosan dan tangan linu. Meski cuaca cerah, anginnya sungguh tak tahu diadat.

Setelah hampir 30 menit mendayung yang disambi dengan potrat potret, akhirnya saya melewati pelabuhan wisata pertama Streekbrucke. Dayuh saya taruh pelan, lalu saya membiarkan angin yang kali ini berhembus sopan. Mengikuti kemana arah saya pergi, mendorong. Tapi kadang suka jahil. Ketika saya memotret, tiba-tiba angin keras menghantam, membuat perahu saya seperti gasing.



Lalu saya terus mendayung. Tak terasa sudah sampai ke pelabuhan kedua, Krugkoppelbrucke. Setelah ini saya memasuki perairan besar. Alias sudah masuk bagian dari danau Ausenalster yang besar itu. Anginnya pasti tambah tak tahu tata krama nih.

Benar saja. Baru beberapa menit lepas dari Krugkoppelbrucke, perahu saya dihantam angin. Oleng ke kiri. Menuju jejeran perahu layar yang bersandar di pelabuhan! Cepat cepat saya ambil dayung, mendayung ke arah kanan. Sekuat tenaga. Tapi angin terlampau keras. Saya tak mau kalah, saya ayun dayung sekuat tenaga. Beruntung angin kembali jinak. Tangan saya tiba-tiba kesemutan. Sialan.


Saya lantas mencoba mendayung lagi ke arah danau setelah melewati jejeran perahu layar yang hampir saya tabrak itu. Tapi anginnya benar-benar tak tahu unggah ungguh. Kurang ajar sekali, saya dihantamnya. Perahu berputar balik. Saya kayuh ke arah danau lagi, dihantamnya lagi saya. Kali ini hantamannya keras sekali, hingga perahu saya terserok ke tepian. Braaak! Ujung perahu menabrak tembok kanal. Brengsek. Berkali-kali saya mencoba, saya dilantingkan kembali oleh angin.

Akhirnya saya putus asa. Alam memang tak bisa dilawan. Maka saya mencoba berkompromi. Saya membuka peta yang sudah robek disana-sini karena terlalu sering dibuka. Aha, ada sebuah kanal kecil, Bellevuebrucke, yang bakalan mengalir terus ke kanal Goldbek.

Kalau melihat peta, kanal kecil ini tampaknya teduh dan anginnya pasti punya adat. Maka saya mengalihkan tujuan kesana.

Perkiraan saya benar. Kanal Bellevuebrucke ini teduh dan tenang sekali. Anginnya sepoi. Saya sesekali menaruh dayung, membiarkan angin yang mendorong perahu saya. Di sekeliling saya tak ada daerah yang lepas dari pohon besar. Sesekali ada angsa lewat dengan tenang di samping perahu saya. Di taman ada anak-anak kecil yang melambaikan tangan pada saya. Awan tampak cantik, meningkahi langit yang siang itu birunya mengingatkan saya pada kampung halaman.







Kalau menyusuri kanal di Hamburg begini menyenangkan, siapa yang butuh naik gondola menyusuri Venezia?

Saya tak tahu sudah berapa lama perahu saya melaju. Tiba-tiba saja saya sudah masuk kanal Goldbek yang besar itu. Angin mendorong saya dari belakang. Sesekali melempar perahu ke kiri atau ke kanan. Membuat saya menaruh sejenak kamera dan berkonsentrasi pada dayung kayu berwarna coklat yang saya pegang.

Kanal Goldbek juga menyenangkan. Di kiri kanan ada pabrik pembuat perahu dari fiber. Kadang ada bapak tua sedang duduk di bangku, membaca buku. Dia tampak damai sekali.


Tapi angin yang tiba-tiba menampar saya dari belakang membuat saya tersadar: bagaimana saya pulang kalau melawan angin? Sepertinya saya sudah terlampau jauh dari kanal kecil yang sedikit berangin itu. Gawat.

Akhirnya saya putar balik perahu dan melajukan kembali ke kanal Bellevuebrucke. Benar dugaan saya. Saya terlalu terlena dengan angin yang mendorong saya dari belakang hingga saya terlalu jauh. Angin yang tadinya keras namun bersahabat itu sekarang terpaksa harus saya hantam. Duel. Saya tahu saya akan terpontang-panting.

Berkali-kali perahu kecil saya itu tersuruk hingga menabrak semak-semak. Atau membubarkan kawanan bebek yang sedang bersantai. Tapi saya tetap memaksa mendayung. Kadang kala kalau tangan sudah terlalu letih maka saya membiarkan kemana angin membawa perahu saya. Lalu saya diam sejenak. Minum air putih sembari melihat pemandangan. Kalau tangan sudah tak capek, maka kembali saya bertempur.

Entah berapa lama saya berduel dengan angin, akhirnya saya kembali masuk kanal Bellevuebrucke. Angin kembali sepoi. Saya kembali bersantai sambi sesekali berselonjor kaki. Menikmati Hamburg musim panas yang tak lama lagi akan saya tinggalkan.

Di depan ada anak muda yang berpacaran. Ada pula yang bermain dengan anjingnya, melempar bola ke sungai lalu anjingnya akan melompat ke sungai, mengambil bola itu untuk sang tuan.



Tapi santai itu tidak lama. Karena saya masih harus melawan angin lagi untuk kembali ke Klosterstern.

Ampun bos!

2 thoughts on “Mari Mendayung Sampan Di Hamburg

  1. guguknya unyuuu! yg biasanya suka menan aer tu labs chesapeake. senengnya berenang.
    kalo dhani dijejer ama guguk itu? ya dhaninya kalah pamor JAUH!

Leave a Reply

Your email address will not be published.