Noel from Nowhere

Immanuel Sembiring bukanlah seorang world nomad. Dia tidak hidup berpindah-pindah negara untuk traveling. He’s traveler from nowhere. Mas Noel – begitu saya memanggilnya– adalah seorang pekerja perusahaan swasta. Orang yang bisa kamu temui terjepit di KRL bersama ribuan orang Jakarta lain.

Tapi saya terhenyak ketika mengetahui pria berkacamata ini pernah ke rumah Ernesto Guevara. Dia pasti bukan traveler biasa, batin saya. Segera setelah saya berteman dengannya di Facebook, saya stalking profil dan foto-fotonya (yeah, I’m good at stalking). Dugaan saya benar. Saya sampai terduduk lemas melihat foto-fotonya di banyak tempat eksotis seperti Macchu Picchu atau Pulau Paskah. Dan yang bikin saya makin gregetan, bapak satu anak ini pernah menonton live concert Motley Crue di Argentina.

Terima kasih pada mas Ciptadi Sukono yang mengenalkan saya pada mas Noel.

Beberapa hari lalu saya mengirim pesan via facebook. Intinya saya meminta kesediannya untuk diwawancara. Dia dengan senang hati mau menjawab pertanyaan saya. Jadi inilah dia, mas Noel bercerita mengenai Macchu Picchu, makanan favoritnya, perjalanan pertamanya, juga mengenai musik dan buku favoritnya.

                                                                                   ***

Sejak kapan menggemari traveling?

Aku mulai suka travelling sejak sekitar tahun 1994, waktu aku nekat plus iseng dari Jakarta ke Singapur hanya dengan beberapa puluh ribu Rupiah. Naik kapal Rinjani dari Tanjung Priok sampai Tanjung Pinang (Bintan) dengan harga tiket Rp 37.500, tidur di dek yang kalau panas kepanasan dan hujan kehujanan dan kalau makan antri panjang banget dengan piring kaleng di tangan hanya untuk diisi nasi sejumput, sambel sejumput dan brutu ayam atau ekor ikan (mungkin paha dan dada ayamnya sudah diberikan untuk jatah penumpang kelas 1 ya, hehehe…)

Dari Tanjung Pinang nyebrang ke Batam naik perahu kecil Rp 9000, dan dari Batam lanjut ke Singapura naik ferry dengan biaya sekitar Rp 25.000,-. Ngirit, dan yang penting sampai 🙂

Sejak itu kalau ada kesempatan ya aku usahakan untuk bisa jalan. Termasuk kalau sedang ada dinas ke luar kota, kalau memungkinkan ya aku perpanjang tinggalnya di tempat itu untuk bisa eksplor lebih lanjut daerah itu.

Sebagai pekerja perusahaan swasta, yang dikenal dengan ritme kerja yang padat, gimana cara mensiasati itu untuk traveling?

Manfaatkan betul jatah cuti yang hanya sejumput itu. Kombinasikan dengan long weekends, kombinasikan dengan kesempatan dinas ke luar kota.

Menguntungkan sekali mengkombinasikan jatah cuti dengan dinas luar kota. Dengan dinas luar kota, paling tidak tiket pesawat dan sebagian biaya penginapan sudah ditanggung perusahaan, kita tinggal tanggung biaya perpanjangan tinggal kita di area yang bersangkutan.

Oya, satu lagi: pelajari betul PKB (Perjanjian Kerja Bersama) atau KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) di perusahaan masing-masing. Seringkali ada peluang-peluang tambahan hari libur yang “tersembunyi” di sana. Misalnya, kalau anak baptisan atau sunatan perusahaan ternyata member extra libur 2 hari. Atau kalau mertua meninggal ada ekstra libur 2 hari juga. Dan semacamnya. Lumayan kan kalau yang dua hari dua hari itu digabung gabungkan dengan berbagai kesempatan yang lain.

Gimana ceritanya bisa traveling ke Amerika Selatan?

Itu berkat Tuhan. Aku diberi kesempatan dari perusahaan untuk berdinas di sana selama hampir 1 tahun. Tadinya ada kemungkinan 3 negara untuk tempat dinas aku di Amerika Selatan, yaitu Argentina, Brazil dan Mexico. Akhirnya diputuskan untuk menempatkan aku di Argentina.

Nah sudah sampai di Argentina, tentunya  setiap kesempatan tidak ada yang aku lewatkan untuk jalan dan melihat tempat-tempat yang baru baik di Argentina maupun di negara-negara sekitarnya. Apalagi aku diuntungkan oleh kondisi di Argentina yang dalam setahun banyak sekali tanggal-tanggal merahnya, banyak long long long weekendnya (as in Kamis-Jumat libur, atau Senin-Selasa libur). Peraturan perusahaanku di sana yang membuat Jumat adalah setengah hari kerja juga sangat menguntungkanku, karena dengan begitu, hari Jumat jam 2 siang aku sudah akan ada di either stasiun kereta, terminal bis, atau airport.

  
Dari semua destinasi yang pernah mas Noel kunjungi, mana yang paling berkesan? Kenapa berkesan?

Hmmm…yang paling berkesan? Sulit juga ya…  Masing-masing tempat punya charm-nya sendiri-sendiri. Dan perasaan “berkesan” atau hati berdesir itu tidak harus timbul dari mengunjungi tempat-tempat yang “wah” atau “wow” dengan pemandangan alam yang dahsyat-dahsyat lho.

Pertama kali berdiri di tepi sungai Mekong di Thailand’s Nong Khai dan menatap ke seberang, ke daratan Laos, itu membuat hati berdesir.

Berada di Ushuaia, kota paling selatan di muka bumi, itu juga membuat hati berdesir, simply karena, well, itu kota paling selatan di muka bumi. Atau seperti mereka bilang sendiri: Ushuaia – Fin del Mundo (Ushuaia – Ujung Dunia).

Turun dari bis di pagi buta di kota kecil Viedma dan berjalan kaki menyusuri jalanan kota yang masih sepi, sampai ke tepi sungai Rio Negro yang memisahkan kota kecil Viedma dengan kota Carmen de Patagones yang bahkan lebih kecil lagi tapi penuh rumah-rumah peninggalan zaman kolonial. Dua kota ini sama sekali bukan daerah tujuan turis.

Berdiri di tepi sungai Rio Negro di pagi hari yang sepi itu, memandang sekitar dan ke seberang, hati berdesir juga dan ngomong, “Koq aku bisa di sini? Di tepi sungai Rio Negro di pedalaman Argentina, di gerbang masuk menuju wilayah Patagonia… Dan ini bukan daerah tujuan wisata..” Tapi itu justru sangat berkesan buatku.

Berada pertama kali di pegunungan Andes, di ketinggian 4000 meter di atas permukaan laut, tentunya juga membuat hati berdesir karena ini adalah wilayah legendaris yang dulu hanya aku baca dari buku-buku pelajaran sekolah.

Dan tentunya tempat-tempat yang “very obvious”, yang jelas pasti akan berkesan, seperti Paris, the Berlin wall, ancient Japan, capital of Nara, ancient Thai capital of Sukhothai, Rio de Janeiro, Machu Picchu…

Yang PALING berkesan? Hmmm…..sulit. Tapi mungkin yang mendekati, adalah waktu aku mengunjungi Easter Island. Atau kalau orang kita mungkin lebih mengenal dengan nama Pulau Paskah. Pernah dengar? Ini sebuah pulau kecil di tengah samudera Pasifik. Pulau yang adalah the most isolated populated place on Earth, dengan daratan berpenghuni “terdekat” berada sekitar 4000 kilometer jauhnya. Ke Timur sekitar 3700 km dari pantai barat Chile dan ke Barat sekitar 4000 km dari Tahiti.

Mungkin Mas Nuran akan ingat Pulau Paskah ini kalau melihat foto – foto patung patung raksasa yang bertebaran di sepanjang pantai pulau ini, dan yang seakan bertumbuhan dari dalam tanah di atas pegunungannya. Pemandangan yang tentunya sempat menggetarkan hari Captain James Cook dan penjelajah-penjelajah Eropa lainnya di sekitar abad ke-17 waktu pertama kali “menemukan” pulau ini.

Kenapa berkesan? Pertama, simply because this is the most isolated place on Earth. In the middle of nowhere. Juauuuuhh dari mana mana. That is a bragging right, hehehe… Kedua, misteri yang menyelubungi pulau ini.

Bagaimana penduduk pulau ini bisa membawa patung-patung raksasa dengan berat berton-ton ini dari workshopnya di atas gunung ke tepi pantai tempat patung-patung ini didirikan? Mereka ini belum mengenal roda, belum mengenal logam, tidak punya binatang beban…

Dan menarik lagi adalah aku lihat masonry (teknik bangunan batu) di sana yang mirip sekali plek ketiplek dengan masonry Inca di Cuzco dan Machu Picchu. Dan ini di pulau yang jauhnya beribu ribu kilometer dari kerajaan Inca, sementara masyarakat Inca bukan masyarakat bahari. Lha koq bisa? Lha itu menariknya misterinya.

Suka denger musik apa untuk perjalanan?

iPod aku yang kapasitas 120 GB, jadi ya bermacam musik ada di situ ya. Sebagian besar memang alirannya rock, dari yang early rock ‘n’ roll seperti Elvis Presley dan Chuck Berry, sampai soft rocknya  Fleetwood Mac, party metalnya Bon Jovi dan Van Halen, sampai yang heavy seperti Black Sabbath dan Emperor.

Seringkali aku juga mainkan untuk menemani perjalanan musik blues era tahun 40-an sampai 60-an seperti Muddy Waters, Willie Dixon dan Jimmy Reed.

Yang mungkin Mas Nuran nggak nyangka adalah saya sering juga stel rekaman lawakan-lawakan di iPod saya untuk mengiringi overnight bus ride atau long flights. Rekaman-rekaman lawakan cerdas dari komedian seperti George Carlin, Bill Maher, George Lopez, Lewis Black, dan bahkan rekaman awal standup comedy-nya Warkop Prambors era tahun 70-an.

Sering juga musik yang aku dengarkan aku sesuaikan dengan lokasinya. Misalnya, ketika berjalan di San Telmo atau Avenida Corrientes di tengah kota Buenos Aires, di iPod aku stel tango, baik yang tradisional a la Carlos Gardel maupun yang modern elektronik a la Gotan Project.

Atau kalau sedang ada di pegunungan Andes yang aku stel ya Andean music, lagu-lagu rakyat highland. Lagi di Rio, stel bossanova.

Yang males nyetel musik yang sesuai dengan lokasinya adalah kalau lagi di Thailand. Nggak tau kenapa, tapi kupingku mak sengkring kalau dengar lagu-lagu Thailand atau Laos yang kayak lagu-lagu pop Indonesia cengeng 80an dengan suara yang cempreng-cempreng 😉

Bagaimana pendapat mas Noel tentang buku-buku jenis “1 Juta Keliling bla bla bla?” itu?

At the very least, buku buku itu mestinya bisa menginspirasi orang untuk angkat ransel dan berangkat! Persepsi yang ada selama ini kan bahwa travelling itu pasti mahal. Dan persepsi ini yang sering menjadi penghalang orang untuk travelling. Kalau bisa dibuka matanya bahwa travelling itu tidak harus mahal, tentunya itu hal yang baik. Asal jangan menipu atau misleading saja ya. Oya, perlu dimengerti juga bahwa “1 juta keliling blablabla” itu biasanya belum termasuk tiket pesawat ke negara yang dimaksud kan? 🙂



Kalau traveling suka pakai guide book macam Lonely Planet gitu gak?

Yes. Sejak 1998 saya pakai guide book. Mulai waktu saya travelling di Jepang. Sangat membantu. Dengan guidebook ini kita bisa membuat perencanaan yang matang, baik mengenai menentukan tujuan, how to get there, where to sleep, where to eat, what to see, how much things cost, dan sebagainya.

Dari guidebook ini kita bahkan bisa mendapatkan informasi/tips yang bahkan orang lokal sendiri tidak tahu. Yang sering saya pakai adalah Lonely Planet, dan kadang-kadang Rough Guide. Lonely Planet unggul dalam hal penginapan-penginapan murah dan informasi detail seperti how to get places. Sementara Rough Guide unggul dalam hal ulasan lebih mendetail mengenai hal-hal seperti latar belakang sejarah suatu tempat dan cerita cerita di balik suatu tempat/ciri khas tempat tertentu.

Apa buku traveling paling bagus yang pernah mas Noel baca?

Yang dimaksud ini buku tentang travelling atau travel guide? Kalau travel guide sudah aku sebut di atas. Tapi kalau yang dimaksud adalah buku tentang travelling, aku suka sekali IN PATAGONIA-nya Bruce Chatwin dan THE MOTORCYCLE DIARIES-nya Ernesto Guevara. Ya mungkin aku bias ya, karena aku pernah luntang-lantung Amerika Selatan dan bisa membayangkan sendiri tempat-tempat yang diceritakan di buku buku itu ?. Tapi memang buku buku itu menarik sekali lho. Monggo dibaca sendiri, Mas Nuran ?

Mas Noel juga suka wisata kuliner kan. Nah, dari semua makanan yang pernah dicoba, apa yang paling lezat? Dan apa yang paling aneh rasanya?

Wahahahaa….ini dia…!

Lidahku bisa terima bermacam makanan dari berbagai penjuru dunia, dan bisa menyukainya juga. Tapi tetap makanan kegemaran adalah masakan Indonesia. Sayur lodeh, babi rica, mangut ikan pari adalah beberapa favorit saya. Kenapa masakan Indonesia? Karena sangat kaya rasa. Luar biasa kaya rasanya masakan Indonesia itu. Luar biasa kayanya bumbu-bumbu yang digunakan untuk membuat suatu masakan Indonesia yang sederhana sekalipun.

Makanan yang paling aneh rasanya? Hmm…that would be steak tartar, makanan khas Perancis. Ini daging sapi mentah yang dicincang, dikecruti air jeruk, dan ditumpangi telur mentah. Rasanya? Anyep, dingin, kecut, slimey, klinyir-klinyir. Doyan? Nggak. 🙂
Sekeren apakah seorang Che Guevara menurut mas Noel, sehingga mas memutuskan untuk pergi berziarah ke rumahnya?
Sebenarnya aku bukan fans berat El Che. Aku tidak sependapat dengan cara-cara dia yang violent, dan sama sekali tidak sependapat dengan pandangan dia mengenai ekonomi dan peran manusia sebagai mahluk pekerja.
Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aku kagum dengan dedikasi El Che untuk membela orang miskin, dengan keberanian dia menantang kekuatan hegemoni raksasa Amerika Serikat di Amerika Latin, bahkan sampai ke Afrika. Itu luar biasa.

Apalagi kalau diingat bahwa El Che ini berasal dari keluarga menengah ke atas, dan bahkan adalah mahasiswa kedokteran di Argentina, yang tentunya punya masa depan yang cerah dan tenang kalau saja dia memutuskan untuk berkarir di bidang kedokteran yang  menjanjikan penghasilan tinggi tanpa resiko ditembak tentara musuh, tanpa harus hidup di hutan hutan dan gunung gunung dengan fasilitas minimal selama bergerilya. Itu luar biasa.

Temenku kapan hari merinding pas liat foto mas Noel di Macchu Picchu. Apakah kota hilang itu benar-benar magis? Gimana rute perjalanan ke sana? Apakah sudah ada tour operator yang mengemas paket menuju Macchu?

 
Magis bagaimana maksudnya? Hehehe… Seram, gitu? Enggak koq.
Overwhelming, yes.
Awe-inspiring, yes.
Jaw-dropping, yes.
Mysterious? Yes. Lha kan sampai sekarang belum diketahui siapa yang mendirikan, untuk apa didirikan, siapa yang menghuni, kenapa sampai bisa ditinggalkan penghuninya dan jadi kota yang “hilang” selama berratus tahun, dan Bagaimana bangsa Inca ini – yang belum mengenal roda dan tidak punya binatang beban yang berarti – bisa membawa bongkahan-bongkahan batu yang masing masing bongkahnya beratnya bisa berton-ton ke atas gunung ini, dan membangunnya dengan system batu batu yang interlocking sehingga menjadi satu “kota” ini.

Scary? Enggak koq.
Route perjalanan ke sana, dari kota Cuzco (bekas ibukota kerajaan Inca) mesti ke desa Aguas Calientes dulu. Ada dua pilihan: Jalan kaki dan naik kereta.

Jalan kaki perlu waktu sekitar 4 hari, nginepnya di tenda. Ini perlu fisik yang bener-bener prima karena not a walk in the park (iyalah, naik gunung tinggi begitu).  Along the way you’ll meet small temples/altars. Route ini – the Inca trail – yang adalah the ultimate Machu Picchu experience, melewati actual trail yang dilewati bangsa Inca dulu untuk menuju Machu Picchu (bear in mind mereka dulu nggak mengenal kuda atau binatang tunggang lainnya, dan certainly nggak mengenal kereta kuda).

Pilihan kedua, yang jauh lebih gampang ? adalah naik kereta. Sekitar 4 jam dari Cuzco ke Aguas Calientes. Aguas Calientes ini adalah desa kecil di kaki gunung, sebagai base  untuk naik ke Machu Picchu. Dari Aguas Calientes ke Machu Picchu bisa dengan jalan kaki (lumayan menges tuh naiknya) atau naik bis sampai titik tertentu, dan kemudian dilanjut jalan kaki lagi.

Tour operator dari Indonesia? Ada kok. Contohnya yang aku baru lihat adalah yang dioperasikan oleh Bayu Buana. Tapi mahal buanget. Dan nggak asiknya adalah visit ke Machu Picchu lewat Bayu Buana ini hanya dibikin day trip dari Cuzco. Jadi dari Cuzco naik kereta pagi ke Aguas Calientes, terus naik, terus paling sempat foto-foto bentar di Machu Picchu-nya (dan kalau begini berarti pasti bersama hordes of tourists lainnya), dan langsung cabut lagi siangnya balik ke Cuzco. Sangat nggak asyik. Mending jalan sendiri aja. Perfectly doable koq, jalan sendiri ke sana tanpa tergantung tour agency. Lebih murah pula.

Aku lagi mau organize South American trip nih buat tahun depan. Udah ada sekitar 7 orang yang tertarik untuk ikut. Nuran mau ikut nggak? Hehehe…

Post-scriptum: Semua foto diambil dari Facebook mas Noel. Silahkan berkenalan dengan sang traveler pecinta keluarga itu disini.

13 thoughts on “Noel from Nowhere

  1. tulisan menarik :), kapan bisa travelling kayak gitu ya hemm, kalo nunggu ditugasin sama kantor keburu tua duluan kayaknya hahaha 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.