Waktu saya SMA, tak sengaja menonton Mr. Jones, film rilisan 1993 yang dibintangi Richard Gere. Sang pria jatmika itu memerankan Jones, pria yang mengidap bipola disorder, dan di beberapa titik waktu ingin bunuh diri. Apa yang bikin saya lekat pada film itu karena omongan Jones, diucapkan dengan kemarahan, kekesalan, tapi sekaligus dengan kelogowoan.
“Don’t grow up. It sucks!”
Waktu itu tumbuh dewasa tidak ada dalam bayangan. Ketika SMA, yang ada hanya bersenang-senang. Masalah terbesar mungkin cuma nilai ujian jelek, atau alpa mengerjakan pekerjaan rumah, atau bertengkar dengan pacar. Bayangan masa dewasa dan segala tanggung jawabnya sama sekali tak ada di benak.
Lulus kuliah, baru mulai terasa bahwa petuah Jones benar. Orang yang tumbuh dewasa dan gagal beradaptasi dengan itu, tampak menjadi orang yang getir dan pahit. Seolah tak ada sisa kebaikan dan kesenangan dalam hidupnya.
Orang-orang seperti itu banyak saya temui di Jakarta. Bayangkan, orang yang sedang mulai menelan kepahitan hidup, harus tinggal di Jakarta yang kerap dijadikan gambaran ideal kota tak layak huni.
Saya juga memandang buruk Jakarta empat tahun lalu. Saya pertama datang ke Jakarta untuk bekerja kantoran kali pertama. Mau tak mau, saya akan membandingkan ibu kota dengan dua kota yang pernah saya tinggali: Jember dan Jogja. Dua-duanya amat menyenangkan, penuh kehangatan, sonder macet, berlimpahan makanan enak.
Jakarta seperti antitesa dari dua kota itu.
Ketika sampai di Stasiun Pasar Senen jelang Subuh, saya melihat orang-orang duduk di emperan stasiun. Menanti dijemput sanak saudara atau kolega. Beberapa punya pandangan kosong —mungkin karena ngantuk saja, sih. Yang lainnya punya wajah berbinar –entah karena wudhu atau karena punya harapan pada Jakarta, atau karena mau dijemput pacarnya.
Saya agak deg-degan malam itu. Memulai hidup di Jakarta tak akan pernah mudah. Dalam benak, berseliweran segala citra yang sudah saya tempel sendiri sebelum saya berangkat ke kota ini. Jakarta macet. Jakarta berisi orang temperamental —beberapa tahun sebelum pindah ke Jakarta, saya melihat di sebuah pagi ada yang ribut dan orang berteriak, “Gue pecahin kepala lo!”. Jakarta kotor. Kumuh. Banyak copet. Bla bla bla.
Hingga sapaan membuyarkan lamunan saya. Andrey Gromico, kawan lama dari Jember, datang menjemput saya dengan cengengesan karena terlambat tiga puluh menit. Saya tersenyum lebar. Merasa bahwa Jakarta masih punya banyak kehangatan selama masih ada orang yang cengengesan macam Miko.
Lantas tentu saja di awal masa tinggal adalah proses adaptasi. Beberapa bulan coba naik Kopaja dari kontrakan di Rusun Tebet, Selatan Jakarta, ke kantor di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tak buruk bagi mereka yang ingin merasakan lonjakan adrenaline, apalagi kalau beruntung dapat supir bocah yang sedang mabuk Rajawali. Selanjutnya adalah masa-masa legowo, sama seperti yang dilakukan Jones.
Apakah Jakarta buruk? Oh iya. Apalagi kalau dibandingkan dengan Jember dan Jogja.
Apakah Jakarta tak punya sisa kebaikan? Jelas tidak. Masih ada banyak kebaikan dan keasyikan Jakarta. Tentu saja kamu harus membuang segala kegetiran itu dalam diri terlebih dulu. Jika dari awal kamu sudah getir, tinggal di manapun tak akan ada tempat yang menyenangkan.
Di Jakarta, masih ada kawan lama yang siap ngopi kapanpun dibutuhkan. Bercerita dengan mereka seperti melupakan soal kedewasaan dan tanggung jawab. Ketawa-ketiwi kayak orang goblok di masa kuliah dulu.
Banyak sekali konser-konser apik, dari yang gratis sampai yang berbayar. Dari yang skala kecil, hingga stadium. Pasar loak juga masih ada, menyediakan keriangan-keriangan yang tak lekang waktu: buku, musik, hingga baju. Tempat makan enak juga tersebar di sana-sini, dari yang murah sampai yang bikin dompet nangis. Terserah pilih yang mana.
Kalau sedang malas berpergian? Ya tinggal di kamar saja. Nonton film, baca buku, denger musik hingga ketiduran. Lagipula sejak kapan kita butuh hiburan muluk-muluk? Kita itu jenis manusia yang bisa puas hanya dengan film-film, buku-buku, dan musik bagus, kok.
Apakah Jakarta membuat kita jadi mekanik? Entahlah. Saya merasa beruntung bisa dapat kerjaan yang tak memaksa saya jadi mekanik.
Saya punya beberapa kawan yang kerjanya berat, termasuk kerja yang mengandalkan otot, masih punya waktu luang untuk ngopi, ngobrol, dan rekreasi di akhir pekan, atau di sepulang kerja, bahkan walau itu cuma satu-dua jam. Bagi saya, mereka sama sekali tak mekanik.
Mungkin, bagi saya, rutinitas di Jakarta bukannya membuat manusia jadi mesin. Melainkan membuat lupa hal-hal sederhana yang dulunya membuat mereka bahagia. Tinggal di Jakarta membuat banyak orang merasa bahwa kebahagiaan hanya bisa diraih dari barang-barang mahal.
Lingkar perkawanan di Jakarta memang makin mengecil, ini tentu juga pengaruh usia sih. Namun, bagi saya, lingkar perkawanan itu amat bermutu. Sampai sekarang, saya masih rutin nongkrong dengan Budi, kawan baik saya sejak SMP. Kalau kami nongkrong, ya masih kayak orang pekok yang dulu bela-belain naik motor ke Bali cuma demi nonton The SIGIT dan Seringai.
Jadi dewasa menyebalkan? Jelas. Tapi tak buruk-buruk amat, sih. Ya setidaknya belum buruk-buruk amat, dan semoga tak akan pernah jadi buruk-buruk amat.
Mungkin saya terlalu naif, atau mungkin saya terlalu gampang senang karena hal-hal sepele. Tak tahu juga, sih.
N.B: Foto ilustrasinya mungkin gak nyambung, sih. Tapi itu foto Mak Ri dan kawan satu gengnya. Lingkar perkawanannya amat kecil, ya iyalaaaah, kebanyakan sudah “berangkat” duluan. Tapi tiga orang ini sepertinya masih bahagia, apalagi kalau ketemu dan ngobrol sampai lupa waktu. Semoga kita semua masih tahu caranya bahagia dan senang di usia seperti mereka.
kayaknya tinggal di mana pun sekarang membuat orang merasa bahwa kebahagiaan hanya bisa diraih dengan barang-barang mahal. Gak cuma di Jakarta. Menurutku, lo, Mas.
Hidup di Jakarta menjadi lebih menyenangkan setelah ada JRL (dan konser2 lainnya) dan ketemu lapak DVD bajakan di Sarinah 😀
menyenangkan ketika naik Kereta yang dulu banyak pengamen dan pedagang, dari pada sekarang desak2an dengan orang yang bau keringat yang habis melakukan kegiatan hariannya