3-1

Malam tadi hati senang. Manchester United menang 3-1 dari Arsenal, pemuncak klasemen Liga Inggris. Ini sekaligus membuat MU menang empat kali berturut-turut.

Dua laga awal mereka bikin frustrasi. Untung Setan Merah berhasil dari lubang jarum. Per tulisan ini dibuat, Manchester United ada di peringkat 5 dengan poin 12, terpaut tiga poin dari Arsenal yang masih kokoh di puncak.

Puncak tidak hanya dingin, tapi juga banyak angin. Rawan bikin jatuh. Hati-hati, Arsenal.

Di luar kemenangan yang bikin girang dan membuat aku teriak tengah malam, yang lebih menyenangkan adalah cara main MU. Mereka trengginas. Seperti tak kenal capek mengejar bola, menutup pertahanan, dan berlari demi menyambut umpan di garis depan.

McTominay terlihat betul karakter petarung Skotlandia-nya. Ia kokoh, keras, tak segan beradu badan dan kaki, pelindung bek yang dapat diandalkan. Ia calon kapten MU di masa depan, sepertinya.

Para punggawa baru perlu dapat catatan dan aplaus khusus. Antony! Debut gol, lawan tim bebuyutan pula. Dia gesit dan bikin lawan kocar-kacir dari sayap kanan –meski sebelum gol dia tampak agak kesulitan.

Malacia juga bermain apik. Naik turun dilakukan secara disiplin. Ia berkali-kali melakukan tackling bagus dan mengamankan garis kiri pertahanan MU sehingga bikin pemain-pemain Arsenal garuk kepala–walau akhirnya Saka bikin gol.

Sisanya, biar para pundit yang bicara. Termasuk duet tembok besi Varane dan Martinez, serta tajamnya Rashford.

Selepas peluit akhir dibunyikan, aku langsung kirim pesan ke David.

Dia kawan masa kecilku. Tim favoritnya adalah Arsenal. Dulu, tiap sore kami main bola di jalan perumahan. Akhir pekan, saatnya nonton Liga Inggris.

Kami tumbuh besar di era puncak rivalitas MU – Arsenal. Ferguson dan Wenger menunjukkan rasa persaingan berkobar, walau tetap saling menghormati. Lalu dari para pemain, wuiiih, rivalitas terbaik pada zamannya, bahkan mungkin jadi salah satu yang terpanas sampai sekarang.

Keane vs Vieira. Nistelrooy gagal pinalti. Gol magis sang Penyihir Wales, Giggsy. Sol Campbell menyikut Solksjaer. Tragedi Pizzagate –sekaligus omerta yang membuat aku makin menggemari rivalitas dua klub ini.

Aku kadang menginap di rumah David jika dua tim ini bertanding. Kalau Arsenal menang, David belagu dan ketawanya lebar sekali, bikin matanya makin menyipit. Kalau giliran MU yang menang, aku tentu saja akan besar mulut dan akan seperti itu sepanjang hari hingga pertandingan berikutnya tiba.

Namun ada satu momen ketika aku tak lagi kuasa meledek David. Itu medio 2011, MU menang 8-2. Aku ingat itu jelang lebaran Idul Fitri. Kami tak bisa nonton bareng karena aku sedang mudik ke Lumajang. Bagiku itu benar-benar gong terakhir rivalitas mereka. Bisa menang telak menunjukkan adanya kesenjangan kualitas. Ini bikin rivalitas tak lagi menarik karena ada satu pihak dominan.

Aku cuma kirim pesan ke David, yang kutulis dengan masygul.

“Kok bisa sih?”

“Embuh lah,” balasnya singkat.

Setelah itu, tak ada lagi pertandingan MU – Arsenal yang monumental. Rivalitas mereka sudah mereda. Dominasi dua klub ini kelak akan diobrak-abrik oleh duit taipan minyak. Big match panas jadi nostalgia belaka.

Sampai malam tadi…

Melihat dua tim ini bertanding, juga benturan-benturan dan tensi, bikin saya senang. Old rivalry, Battle of Old Trafford hidup lagi! Alive and kicking!

Aku sudah lupa kapan terakhir kali menonton MU dengan penuh semangat dan suka cita seperti ini –biasanya dipenuhi rasa marah, kecewa. Oh ya, dan was-was tiap melihat ada Maguire di dalam kotak pinalti MU.

Aku langsung mengambil ponsel. Aku cari nama itu di senarai pesan WA. Aku kirim dengan senyum lebar.

“3-1, Vid!”

Leave a Reply

Your email address will not be published.