Ugh! Saya menggeliat malas. Sudah pagi tampaknya. Matahari menerobos dari balik tenda. Gerah! Saya memicingkan mata, duduk dan meregangkan tangan. Lalu membuka tenda.
Sreeetttt.
Lalu tampaklah pemandangan itu. Pasir yang putih. Air laut yang berwarna biru tosca. Langit yang biru cerah. Dan awan yang berarak manja. Ah, bagaimana bisa saya menolak godaan ini?
Saya langsung melompat keluar tenda, langsung menerkam air laut yang bergerak genit. Plassshh! Segar!
Oh ya, apa saya sudah cerita saya sedang ada dimana?
***
Saya melompat ke perahu kayu yang akan menuju Gili Meno. Gili Trawangan terlalu riuh dan terlampau padat. Cukuplah dilihat saja, tak untuk ditinggali. Karena sepertinya sunyi disini merupakan harga mahal. Jauh lebih mahal ketimbang sebatang korek api gas merk Tokai seharga 5000 yang saya beli disana.
Kapal melaju tenang. Awalnya saja. Karena 5 menit kemudian pasukan hujan menghunjam turun. Saya menengok ke atas, awan mendung sudah berarak. Sial. Dan benar saja, kapal sudah mulai goyah. Awalnya pelan. Lalu keras. Terbanting ke kanan dan kiri. Saya mulai sedikit tegang. Beberapa penumpang juga ikut tegang.
Tapi kalau mau tahu apakah sebuah kapal dalam kondisi bahaya atau tidak, tengoklah nahkodanya. Selama muka nahkodanya tenang-tenang saja, berarti kapal akan aman. Tapi kalau muka sang nahkoda jadi pucat, maka itu saatnya anda merapal istighfar sebanyak mungkin.
Dari balik bahu seorang ibu berkerudung, saya mengintip muka sang nahkoda di belakang. Ia tenang saja, menghisap rokok dengan nyaman. Ah saya tenang, berarti semua akan baik-baik saja. Eh tunggu, atau jangan-jangan ia sengaja menikmati rokok itu seakan itu rokok terakhirnya karena ia tahu kapal akan karam? Oh, I’m fucked up!
Untuk ketakutan saya tidak terkabul. Kapal berlabuh dengan aman di dermaga Gili Meno. Setelah menenangkan lutut yang agak gemetar karena diombang-ambing perahu, saya berjalan ke arah selatan pelabuhan. Mencari tempat untuk mendirikan tenda, lalu memasak mie. Saya lapar.
“Looking for room mister?” sapa seorang pria berbadan gempal.
Ah, tidak lagi. Saya kadang suka heran. Kenapa saya selalu disangka turis? Saya menduga mata saya penyebabnya. Saya sendiri baru sadar beberapa tahun lalu kalau mata saya ini ternyata termasuk sipit. Seorang teman perempuan bilang kalau saya mirip orang China. Apalagi kalau saya tertawa. Setelah saya kasih tahu, dengan bahasa Indonesia, kalau saya mau bikin tenda, ia menunjuk satu area kosong di depan sebuah bungalow.
Maka saya bergegas ke sana. Lalu mengeluarkan isi tas. Mulai membongkar tenda dan tetek bengek lain. Tapi tiba-tiba seorang pemuda datang dan mengatakan kalau saya tak boleh bikin tenda disana. Alamak. Kok jadi gini? Tapi benar juga, saya baru sadar kalau saya berdiri pas di depan bungalow. Apa jadinya kalau tamu buka pintu, yang dilihatnya malah saya, bukan pantai, hehehe.
Akhirnya saya pergi sedikit lebih ke selatan lagi. Dan saya disadarkan kalau mendirikan tenda sendirian itu bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi saya sudah lama tidak kemping, jadi sedikit kaku dalam mendirikan tenda. Ditambah angin yang kurang tahu adat. Jadinya berkali-kali saya terbungkus tenda sendiri. Huasu!
Tapi tiba-tiba seorang bule datang menghampiri saya.
“Looks like you need help my friend” katanya ramah. Saya hanya bilang yeah yeah sembari berusaha melepaskan diri dari kain tenda yang membelit saya.
Dibantu Marco, nama bule asal Australia itu, tak seberapa lama tenda pun sudah berdiri. Horay. Sebagai bukti kalau saya sudah pernah bikin tenda bareng bule, saya mengajak dia foto bersama, huehehe.
Tenda saya didirikan di atas pasir yang lembut. Dibawah pohon cemara udang. Pas menghadap timur, ke arah lautan lepas. Kalau matahari terbit, pasti ia akan terlihat gagah. Di depan saya tampak daratan, itu adalah Gili Air.
Gili Meno sepi sore itu. Hujan baru saja minggat, mendung baru saja mencelat. Hanya ada sepasang bule yang sedang terkena panah cupid. Mereka berpelukan, sesekali berciuman. Di kejauhan ada segerombolan anak-anak lokal bermain bola sembari tertawa riang. Di atas ranting cemara udang, burung-burung gereja bercicit riang. Sore yang menyenangkan.
Saya mengeluarkan kompor dan gas, misting, lalu menyeduh air. Menuangkan kopi, lalu mencampurnya dengan air mendidih. Apakah ada yang lebih menyenangkan ketimbang suasana sore yang tenang, kopi hangat, serta menunggu senja yang tak lama lagi akan datang?
***
“Wah, ada anak Jember yang kerja di tempatku, nanti ku kenalkan kau dengan dia” ujar Bang Togar semangat. Bang Togar adalah pria kisaran 40-an yang datang menghampiri saya ketika saya sedang asyik menyeruput kopi hangat di depan tenda. Kami berkenalan dan mengalami sesi obrolan yang menyenangkan.
Pria asli Medan ini sudah 10 tahun kerja di sebuah resort di Gili Meno. Resort tempatnya bekerja adalah salah satu resort pertama di pulau kecil dan sepi ini. Bang Tagor bekerja sebagai tenaga ahli elektronik.
“Selepas SMA aku langsung merantau. Ke Bali dulu lalu kesini. Nikah sama orang sini, sudah punya 3 anak” ujar pria berambut cepak ini. Istri dan anaknya tinggal di Lombok. Sesekali Bang Tagor pulang untuk menjenguk mereka.
“Mumpung kau masih bujang, puas-puasin main lah. Nanti kalau kau sudah punya istri dan anak, tak bisa kemana-mana, hahaha” katanya menasehati sembari tertawa. Saya jadi ingat prinsip lama yang sampai saat ini sepertinya masih berusaha saya jalankan. Berusaha melihat dunia sepuas-puasnya selagi muda dan belum terikat. Nanti kalau sudah punya keluarga, jalan-jalan harus mengalah pada keluarga. Kalaupun jalan-jalan pasti harus ke tempat liburan keluarga. Karena kehidupan pria memang sudah berhenti ketika ia menikah.
***
Malam menjelang. Cuaca cerah. Bintang bergerombol di langit yang hitam. Angin pantai yang hangat menyapa. Saya sedang duduk di baruga –sebutan untuk gazebo di Lombok– bersama Bang Togar dan Johan.
Nama terakhir yang saya sebut adalah orang Jember yang tadi disebut oleh bang Togar. Ia bermata sipit tapi berkulit gelap, hasil dari tanning di Gili Meno. Rumah Johan ada di daerah Jenggawah. Keluarganya membuka bengkel dan toko onderdil disana. Tapi semenjak senjakala orde baru, keluarganya yang dari etnis minoritas, pergi mengungsi ke Surabaya. Johan sendiri akhirnya memilih untuk kos. Ketika terjadi peristiwa 1998, Jember memang tak terlampau panas.
“Sampe sekarang rumahku masih ada mas. Tapi udah gak pernah ditempati, cuma sesekali aja diliat. Dijaga sama tetangga. Dulu kata tetangga, pas ada kerusuhan, bengkel sama tokoku malah dijarah sama polisi, hehehe” ujarnya sembari terkekeh.
Johan jago bermain gitar klasik. |
Johan baru 4 bulan kerja di Gili Meno. Sebelumnya ia kerja di Bali, jadi juru masak di berbagai tempat. Ia mengaku sempat lama menjadi seorang hedonis. Nyaris seluruh waktunya –di luar waktu kerja– dihabiskan untuk menjadi bar crawler, melompat dari satu bar ke bar lain. Mabuk dan menghabiskan uang hasil kerja. Tapi lalu ia jenuh. Kebetulan ia ditawari oleh sang bos untuk pindah di resort miliknya, di Gili Meno. Johan setuju. Ternyata setelah 4 bulan kerja di pulau berpenghuni sekitar 300 orang ini, ia sangat betah.
“Kerja disini enak mas. Suasananya tenang. Saya bisa mancing tiap hari, snorkeling, dan kerjanya pun santai” katanya girang. Setiap pagi ia menyiapkan sarapan untuk para tamu. Sedang untuk makan siang dan malam, resort tidak menyediakan karena restorannya sedang mengalami pemugaran. Praktis, Johan memiliki banyak waktu kosong. Waktu kosongnya itu ia habiskan untuk bersenang-senang. Renang, snorkeling, hingga mancing.
“Kapan hari saya dapat ikan segini” katanya sembari merentangkan tangan kirinya, menunjukkan ukuran dari ujung jari hingga pangkal lengan. Biasanya ikannya dibakar di pinggir pantai, lalu dimakan ramai-ramai bersama pekerja lainnya yang jumlahnya hanya 10 orang saja.
Bisa jadi Johan adalah gambaran anak pantai dalam lagu Imanez: hidup santai dan cinta damai.
A Man With Dragon Tattoo
Pria itu terkekeh pelan. Wajahnya unik. Seperti perpaduan antara Keith Richard dan Izzy Stradlin. Tirus, dan pipinya kempot, membuatnya tampak ompong. Rambutnya lumayan panjang, sebahu dengan gaya awut-awutan mirip rambut Keith, sang gitaris Rolling Stone di masa mudanya. Siang itu, menjelang saya snorkeling, Johan mengenalkan saya dengan pria ini. Pria yang memakai baju Jimi Hendrix berwarna putih kusam. Yang ketika dibuka, tampak tato naga berukuran besar di dadanya.
Namanya Ivan, sudah tinggal di Lombok sejak 1989. Dari Bandung –kampung halamannya– ia menuju Senggigi. Sebelumnya ia 7 tahun tinggal di Bali. Disana ia belajar main gitar hingga masuk taraf mahir. Ia tak pernah bermain dalam sebuah band. Ia hanya bermain di sebuah kursi di pinggir jalanan Legian. Banyak bule-bule tertarik pada permainan gitarnya, berhenti dan memberikan applaus. Serta uang tentunya. Kumpulan penonton ini juga mengundang copet.
“Pernah ada orang datang ke saya, tiba-tiba ngasih duit, trus ngomong ‘maaf Van, cuma bisa ngasih segini’. Ternyata dia copet yang kerja pas saya lagi maen gitar, hahaha” ujarnya terkekeh.
Kisah hidup Ivan bagaikan novel petualangan panjang. Ia nyaris pernah menginjak semua daerah di Indonesia. Awalnya saya nyaris tak percaya. Tapi ketika ia dengan fasih menyebutkan daerah-daerah di Flores, Sulawesi, hingga Papua, saya terhenyak. Ia juga dengan lancar menceritakan bagaimana rute menuju daerah yang pernah dijelajahinya. Ia tak bohong. Setiap melakukan perjalanan, ia nyaris tak pernah bawa uang tunai. Ia membawa pernak pernik khas dari kayu, seperti gelang atau kalung, yang akan dijualnya di sepanjang perjalanan. Ia tidur di masjid, menumpang di rumah orang, dimanapun ia bisa berteduh.
“Kalau kamu jalan-jalan cuma buat foto-foto, itu percuma. Gak akan tahu masyarakatnya. Tinggallah lebih lama. Paling gak dua bulan. Baru kamu bisa tahu, oh masyarakat disini itu seperti ini, masyarakat disitu itu seperti itu” ujarnya pendek sembari menyulut rokok.
Hari kedua di Gili ini sungguh menyenangkan. Ivan senang bercerita sembari terkekeh mengingat kenangan masa mudanya. Ia sekarang sudah nyaris masuk kepala 4. Sekarang ia hidup santai, tak memiliki pekerjaan tetap. Ia hanya sesekali menjual mushroom pada para turis.
“Mushroom mister” teriaknya kepada sepasang bule yang kebetulan melintas. Mereka menggeleng sembari tersenyum.
“Mushroom itu mabuk yang bikin inget tuhan. Kalo saya sadar, gak pernah saya ngucap astagfirullah. Tapi pas mabuk mushroom, liat geledek aja saya langsung teriak astagfirullah. Ngerasain angin, saya langsung subhanallah, hehehe” katanya sembari terkekeh. Ia juga bercerita banyak mengenai mushroom dan segala jenis drugs. Dulu ia memang pecandu. Hal yang membuat ia sempat dipenjara selama beberapa lama. Masuk dalam bui rupanya membuat ia sedikit trauma dan paranoid. Ia juga tidak mau difoto. Ketika saya bertanya banyak mengenai mushroom dan drugs, dia juga agak curiga.
“Ini nanya-nanya buat apa mas? Masnya wartawan ya? Ato dibuat skripsi?” katanya tersenyum. Saya berkali-kali merayunya buat mau dipotret. Tapi ia kukuh tak mau diambil gambarnya. “Waduh, jangan lah, hehehe” tolaknya halus sembari terkekeh.
Langit memerah seperti anggur. Layaknya potongan lirik dari Payung Teduh. Matahari turun, tampak terlihat dari sudut selatan pulau. Johan sedang asyik di dapur, memasak terinjang –salah satu varian ikan teri yang digoreng kering dengan bumbu bawang putih dan garam. Konon lebih sedap lagi kalau dicampur dengan asam. Sayang dapur Johan tak memiliki persediaan asam.
Ivan bangkit, lalu berpamitan setelah makan malam usai. Entah mau kemana. Mungkin mencari mushroom untuk dijual pada para bule.
“Nanti malam beli bir yuk, ini kan malam terakhir sampeyan disini, harus dirayakan” ujar Johan.
Saya mengangguk gembira. Bir dingin dan pantai. Ah sungguh perpaduan yang eksotis nian.
Pagi datang. Matahari seperti biasa, suka usil menyembul dari celah tenda. Membuat saya memicingkan mata dan kegerahan. Tapi itu yang membuat saya bangun. Menyadari bahwa kapal menuju Bangsal akan berangkat jam 8 pagi. Jadi mau tidak mau saya harus bangun, merubuhkan tenda, mengemasi barang bawaan dan pulang. Pulang menuju kehidupan nyata, setelah beberapa hari melarikan diri darinya.
Johan tersenyum menyapa saya. Ia akan menumpang motor saya menuju Mataram. Ia ditugaskan bosnya untuk survey tanah yang kelak akan dijadikan resort di daerah Bangsal. Ia lalu membantu saya mengemasi barang bawaan. Kami berjalan menuju dermaga. Membeli tiket, lalu ngopi sembari menunggu.
Tak lama kemudian kapal siap berangkat. Saya meloncat ke dalam kapal. Duduk di sebelah bule yang menggendong anaknya. Kami saling menukar senyum. Mesin kapal lalu dinyalakan. Brmmm. Kapal bergerak perlahan. Meninggalkan kawanan buih yang menggumpal-gumpal di belakang. Saya menatap Gili Meno yang tampak semakin kecil dengan pandangan nanar dan juga kebahagiaan. Beberapa serpihan hati saya sengaja saya tinggalkan di tempat yang damai ini. Siapa tahu saya berkesempatan balik lagi kesini.
So long Meno!
ih ih ih ceritanya seru deeeee saya suka! hore! 😀
kalo kamu seneng, aku juga seneng. Horeee 😀