Beban dan Jalan-jalan

Bisa jadi saat ini adalah salah satu saat terberat dalam hidup saya.
Saya mengalami kekecewaan, sakit hati, dan segala macam pedih perih lainnya dalam satu kesempatan sekaligus. Saya sempat linglung. Tidak enak makan, bahkan hingga hari ini. Tidak mandi hingga beberapa hari, walaupun itu sering saya lakukan. Tapi sisi baiknya, saya lebih sering membaca dan menulis untuk membunuh kekesalan. Dan yang paling saya senang: berat badan saya turun 5 kg dalam 2 hari saja. Olala, what a miracle. Ini menjadi lucu ketika saya pergi ke Flores dan menggelandang selama nyaris 3 minggu, berat badan saya hanya turun 7 kg. Sekarang, dalam dua hari saja berat badan saya sudah turun 5 kg.
Mengenai saat berat ini, saya biasanya enggan berbagi. Karena saya berpikir tak perlu menjadi kuat, yang penting adalah merasa kuat. Nah, itu yang salah. Seringkali saya memendam kekecewaan yang bertumpuk dan tak membaginya dengan orang lain karena saya merasa kuat. Tapi kali ini tembok pertahanan saya runtuh. Saya terpaksa membaginya dengan segelintir orang. Termasuk tante Syemim. Dan tentu saja mamak.
Tante Syemim adalah sahabat ayah dan mamak saya semenjak mereka baru masuk kuliah. Mereka sepantaran. Ayah dan tante Syemim lantas jadi dosen di Universitas yang sama. Tante Syemim perempuan keturunan Pakistan. Badannya besar, subur, dan berkulit keling. Kalau tertawa ia tampak begitu tulus, tertawa bahagia. Tapi kalau sedih, ia bisa dengan mudah menangis, seakan ia yang tersakiti. Saya pernah diasuh oleh tante Syemim ketika masih berumur 1 hingga 2 tahun. Hingga SD bahkan saya rutin menginap di rumahnya tiap malam Minggu. Saya sudah dianggap sebagai anak sendiri.
Ketika masalah berat ini datang menghantam, saya langsung menuju kamar mamak. Perempuanku tercinta ini sedang melihat tv sembari tiduran. Lantas saya menumpahkan uneg-uneg. Mengalir lancar seperti air bah yang sudah lama tertahan. Dan saya menangis. Iya, saya menangis. Setelah sekian lama tidak menangis. Seumur hidup saya pernah berjanji tidak akan menangis untuk jenis masalah yang menimpa saya seperti saat ini. Tapi saya termakan sumpah saya sendiri. Saya menangis. Merasa rapuh. Di pelukan mamak yang tabah dan menenangkan saya sembari ikut menangis.
Tadi pagi saya ke rumah tante Syemim. Awalnya saya bercerita biasa. Dengan mimik tegar dan intonasi yang tenang. Tapi ketika saya dipeluk, saya tak tahan untuk tak menangis lagi. Sialan. Saya menangis dalam dua hari berturut-turut, dengan masalah yang sama. Setelah puas berkeluh kesah, saya yang sudah dua hari tidak tidur dan tiga hari tidak mandi, langsung menuju kasur. Lelap hingga pukul 2 siang. Setelah itu saya mandi, makan, dan kembali bercerita.
Kenapa saya hanya membaginya pada sedikit orang? Jadi begini. Cobaan ini saya rasa cukup berat untuk saya tanggung sendiri. Dan saya perlu menemui orang yang pernah mengalami perasaan tersakiti yang jauh lebih parah ketimbang saya. Mamak dan tante Syemim adalah dua perempuan yang punya sejarah panjang mengenai kesabaran, kekuatan, dan juga ketabahan. Ketika saya bercerita, mereka menceritakan masalah mereka di masa lampau, yang lantas membuat saya merasa bahwa masalah saya ini bukanlah apa-apa ketimbang masalah mereka. Kalau mereka tegar dan bisa bertahan, kenapa saya yang memiliki masalah  lebih kecil tidak bisa bertahan? Tak ada alasan untuk tidak menjadi kuat. Karena itu, saya merasa datang ke orang yang tepat. Saya jadi lebih lega.
“Sekarang, yang kamu perlukan adalah pengalihan. Kamu perlu ngelakuin hobimu, biar gak memikirkan masalah ini terus” kata tante Syemim sembari menatap saya.
Saya seakan tersadarkan. Kenapa saya tidak traveling lagi saja? Mumpung liburan masih agak lama.
Sesuai kebiasaan saya yang pergi dengan mendadak dan sekehendaknya saja, saya tiba-tiba memutuskan untuk pergi ke timur dengan mengendarai motor. Tak lama, mungkin hanya 1 minggu saja. Mamak kaget mengetahui rencana perjalanan ini. Terkesan mendadak dan mengendarai motor pula, sementara sekarang sedang musim hujan. Tapi saya meyakinkan mamak, bahwa perjalanan kali ini bukanlah keinginan semata, ini sudah berupa kebutuhan.

Lombok Pada Suatu Masa

Saya butuh dibelai angin jalan, saya butuh tidur beratap langit dan bintang, saya butuh pantai, saya butuh air laut, saya butuh kebebasan. Saya rindu desau angin malam, saya rindu menggoda perempuan-perempuan eksotis di jalanan, saya rindu bau tanah basah sehabis hujan, saya rindu debu-debu jalan yang menempel di wajah. Rindu yang menyadarkan saya bahwa saya sudah lama tidak pergi kemana-mana.

Oke, saatnya packing dan menyiapkan segala sesuatunya. Sampai jumpa lagi. Nanti saya akan bercerita dari jalan 🙂

5 thoughts on “Beban dan Jalan-jalan

  1. Semua yang terjadi pasti ada maksudnya kan, Ran? Aku ga mau sok ngasih tau atau ngasih kata2 bijak yang bisa kamu gugling sendiri 🙂
    Tidak ada yang lebih baik daripada menjadi diri sendiri… hloooh kok guweh tetep sok bijak, ngehehe 😀
    Jumat tgl 10 ini guweh ke Sumba nonton Pasola! Akhirnya, daaab… satu mimpiku bakal kesampean, walo harus pending 2 tahun!
    Cant wait ur story too! Toss! 😀

  2. Saatnya Galauu di jalan…ati2 motoran nya kang, saya juga pernah mengalami masalah dan saya jatuh, Benar kata budhe Syemim..Alihkan pemikiran dengan hobi yang kamu senangi, dan Vioala..saya sudah berhasil melampaui masalah berat yang berhubungan dengan hati itu…

  3. Semoga sekembalinya dari perjalanan, mas e bisa balik seperti sebelumnya, tegar, segar bugar, tidak sering galau.
    Atau bahkan naik tingkat menjadi pribadi yang lebih baik. Amiinn…

    -Aditya

Leave a Reply

Your email address will not be published.