Jadi ceritanya Rani pergi lagi ke Orlando. Hhh. Awalnya dia seperti bingung mau pergi atau tidak. Ada beberapa urusan keluarga besarnya yang mengharuskan Rani untuk tinggal. Tapi setelah ngobrol, akhirnya ia memutuskan untuk pergi.
Seperti biasa, kepergiannya berkisar antara satu sampai dua bulan. Itu membuat saya jadi bujangan lagi. Untungnya, kepergian Rani juga bersamaan dengan urusan tur buku dan liputan dangdut koplo, yang totalnya kemarin sekitar dua minggu. Cukup membantu mengatasi rasa kesepian.
Dulu, pertama kali ditinggal Rani dalam waktu lama, saya sering glimbang-glimbung gak jelas. Akhirnya sering tidur di kafe yang dikelola si Putra Cabul. Tapi sekarang sih udah agak biasa. Memang kadang saya tidur di kantor. Namun lebih sering tidur di rumah.
Kepergian Rani ini bikin saya mikir, bahwa pernikahan, di satu sisi bisa bikin kita merasa ketergantungan. Ini tercipta alamiah saja, sih. Karena kita setiap hari bertemu, jadinya mirip sebuah rutinitas. Bangun pagi, ngeteh dan ngopi sembari menunggu keinginan untuk mandi, lalu berangkat ke kantor, pulang kantor, sampai tidur lagi. Semua bareng, walau secara durasi ya tidak lama-lama amat, alias lebih lama di kantor masing-masing.
Ketika rutinitas itu berlangsung tanpa Rani, saya merasa ada yang hilang. Dulu saya mikirnya perasaan itu agak berlebihan. Tapi ternyata di awal-awal Rani berangkat, pasti ada yang terasa kosong. Cenuuuut. Kekosongan itu perlahan hilang seiring waktu, dan saya mulai terbiasa (lagi) melakukan semuanya sendiri. Makan, bikin minuman pagi, berangkat kantor, sampai tidur. Semua jadi sendiri, dan saya sudah terbiasa.
Rani agak berbeda. Awal-awal dia seperti merasa langsung tersita pekerjaan. Di sana ia seperti bekerja di dua zona waktu. Pagi hari di sana, Rani bekerja untuk tim on site. Selepas petang, giliran kantor di Indonesia yang mulai aktif dan Rani juga harus bekerja. Melelahkan, tapi sekaligus membuatnya lupa dengan rutinitas bersama saya.
Nah, di AS sekarang lagi menjelang libur panjang Thanksgiving. Dari hari Kamis sampai Minggu. Kawan-kawan Rani yang biasa menemaninya, pada mudik semua. Mendadak dia merasa kesepian. Hehe. Kemarin malam waktu Indonesia, dia kirim pesan: aku kesepian.
Biasanya kalau begitu, saya sering mengiriminya tautan tempat-tempat menarik di Orlando yang bisa dia datangi. Tapi ia sudah bosan. Kemarin saya kembali mendorongnya untuk pergi ke New York. Bagi saya, kalau sudah sampai AS tapi tidak mengusahakan ke Kota Apel itu, rasanya kok sayang sekali ya. Saya sempat mengiming-imingi tentang Central Park, dan tur menelusuri tempat syuting Friends, serial favoritnya sepanjang masa. Selain itu, saya juga menyuruhnya pergi ke Las Vegas, ada seorang kawannya yang bermukim di sana.
Tapi ini perbedaan kami berdua, lagi. Kalau saya yang ada di posisi Rani, saya jelas sudah mabur ke mana-mana. Tujuan yang sudah pasti: Los Angeles, tanah suci penggemar rock n roll. Rani berada di kutub yang berbeda. Pandangannya jauh ke depan, khas ibu rumah tangga yang memikirkan kondisi keuangan kami. Setelah memeriksa tiket ke New York dan Las Vegas, kesimpulannya sama: tiketnya mahal, apalagi setelah dihitung pakai kurs rupiah yang bikin meringis itu.
“Mending nabung saja laaaah,” katanya.
Hadeeeeeh.
Ya ya ya, nabung itu penting sih. Tapi kan ada momen-momen yang seharusnya bikin nabung itu ndak perlu dipikirkan. Ada kegiatan yang tak bisa dibeli dengan uang. Termasuk jalan-jalan itu. Rani sih lebih santai. Dia merasa akan lebih sering dikirim ke AS lagi, dan ada kemungkinan dalam durasi yang lebih lama. Jadi dia merasa tak perlu terburu-buru jalan-jalan. Saya cuma bisa garuk-garuk kepala saja.
Rani rencananya akan balik tanggal 2 Desember –ini kalau tidak diminta untuk perpajang masa tinggal lagi, yah semoga tidak deh. Saya sudah kangen. Kepergian Rani membuat saya mengamini kata-kata Gordon Sumner, the bed’s too big without you.
Tsaaaah.
Benar2 njenengan ki, bilang kangen berat ae jd panjang. Salute senior!
Habis baca ini kok jadi sedih ya :'(
Dreaming dream of what’s used to be 😄