Saya percaya bahwa scene musik Surabaya sedang menggeliat kembali. Ya, ada banyak band yang sedang tumbuh berkembang dan siap meledakkan gendang telinga anda secara berkala.
Setelah Silampukau yang memukau, kali ini saya terhenyak dengan adanya band bernama Great . Vokalis Greats adalah Kharis Junandharu, salah satu dari duo gipsi Silampukau. Greats sudah punya 6 lagu hingga saat ini. Saya tapi hanya punya 2, hehehe. Selain Kharis, band ini terdiri dari Andrianto Rinaldy (Electric Guitar), Antonius N. P. (Bass Guitar), Gede Riski Pramana (Drum / Percussions)
Apa yang menarik dari band ini? Anda mungkin punya pendapat sendiri. Band ini sendiri berpondasi pada permainan gitar akustik yang lihai, dengan pemilihan chord yang tidak biasa. Lalu masih ditambah pula dengan corak vokal Kharis yang cenderung lembut, feminim, tapi bisa melengking tinggi di beberapa bagian. Lalu kata seorang teman saya yang saya kasih lagu-lagu Greats, dia berkata bahwa sound dari band ini sungguh tak lazim untuk sound musik Surabaya. Sound yang bagaimana atuh? Tak tahulah, tanyakan Ardi Wilda Wirawan saja 🙂
Apa itu saja? Tidak, musik bagus tidak melulu soal permainan gitar yang tak biasa, sound yang unik, dan suara yang berkarakter.
Tapi bagi saya, musik yang bagus adalah perpaduan antara musik yang unik dengan lirik yang dapat berbicara. Saya mungkin tak dapat menjelaskan secara terperinci bagaimana lirik yang bisa berbicara itu. Saya pikir semua orang punya pendapat masing-masing tentang bagaimana lirik yang bisa berbicara itu.
Dari penilaian saya, lirik-lirik Greats ini sungguh sangat bisa berbicara.
Coba saja tengok lagu yang berjudul unik, “Ode Tentang Kecantikan.” Dari judulnya saja, mungkin pendengar bisa menyimpulkan bahwa ini bukan sekedar lagu biasa. Dengan memuat kata “Ode” saja, itu sudah menggetarkan. Maka Ode Tentang Kecantikan bukanlah judul “biasa” seperti Mau Dibawa Kemana Hubungan Kita, Cari Jodoh, atau bahkan Sambut Aku Dengan Cintamu.
Malam ini// kusaksikan/ gemintang berguguran di kerling indah matamu. Lalu aku// ku tersesat// begitu menyedihkan/ tanpa arah tuk pulang.
O Paras bulan badai// O lautan landai/ sihir aku sesukamu// tapi katakan// nama….mu/
Itu adalah lirik pembuka yang fantastis menurut saya. Perpaduan antara kata-kata puitis nan klasik macam “gemintang berguguran di kerling indah matamu” dan kalimat puitis yang tak biasa macam “Paras bulan badai, lautan landai, sihir aku sesukamu.” Siapa yang berani berkata kalau itu lirik yang biasa?
Bukan rahasia bahwa lagu pop itu jamak dengan pengulangan lirik. Namun hebatnya, Greats tidak melakukannya. Dengan musik pop yang tak biasa –yang seharusnya susah untuk mencari kata yang padu padan– Greats dengan jumawa tidak mengulang lirik pertama untuk verse dua musiknya.
Malam ini// telah terkabar// langit hangus terbakar/ di senyummu yang bersinar. Juga aku// juga aku// luluh lantak duniaku/ berceceran wajahku.
O Paras mimpi purba// O tepian surga// cepatlah isi duniaku/ dan katakan// nama…mu/
Itu adalah lirik kedua bagi verse kedua. Sialan. Lirik kedua ini justru lebih mengaum. Bait pertama masih saja berkutat dengan lirik puitis klasik nir-melankolik seperti “Malam ini, telah terkabar, langit hangus terbakar di senyummu yang bersinar.” Permainan potongan kata -ar- sungguh sangat keren. *Sialan, akibat dari membaca theory of literature barusan.
Lalu bait kedua dimulai dengan kata yang saya masih bingung apa maknanya, “Paras mimpi purba.” Brengsek, apa pula paras mimpi purba itu? Aneh, namun entah kenapa terdengar indah.
Lalu ada bagian ending, muncul lirik –yang masih saja klasik– yang menyatakan bahwa sang pencipta lirik ini tunduk kalah oleh sihir sang gadis. Saya mengacungkan jempol untuk pemilihan kata yang tidak klise untuk menggambarkan penyerahan diri yang agung ini.
Selagi/ kuterpesona olehmu// oh gadis, kuterpenjara dalam sihirmu…
Kalau anda mungkin mencibir dengan lirik puitis klasik macam di Ode Tentang Kecantikan, maka simak lagu kedua mereka yang berjudul Gubeng Rendezvous. Jancuk, judul lagu ini benar-benar seperti headline koran merah yang mencolok mata, yang langsung memancing kita untuk menyimak lebih jauh.
Suatu senja di stasiun kota/ di remang mentari yang tua// di tengah deru kereta/ dia datang tiba-tiba.
tersenyum dia dibalik jendela/ melambai-lambai bercahaya dan seluruh suara senja/ meredup seketika.
Menggunakan remang mentari yang tua untuk menggantikan kata “senja” itu adalah suatu perbuatan yang berpahala besar. Remang mentari tua jelas bisa menggantikan senja, yang mungkin saja akan terdengar klise dan tak pas dengan ritme musiknya. Atau bisa jadi untuk mengindari pengulangan kata yang akan dipakai mereka di bait kedua? Entahlah 🙂
Lalu mempersonifikasikan senja dengan “Suara” dan “Redup” juga akan menghindarkan mereka dari perbuatan keji nan munkar. Entah apa yang ada di pikiran sang penulis ketika menulis redup untuk menggambarkan suara senja.
Karena redup itu umum dipakai untuk menggambarkan cahaya. Dan bagaimanakah suara senja itu? Mungkin tiap anda mempunyai versi sendiri bagaimana suara senja itu 🙂 Untuk penggambaran senja yang tak biasa ini, saya menghaturkan salut untuk sang penulis lirik 🙂
Aku patung tanpa kata-kata/ dibius bisu gubeng senja// di tengah deru kereta/ selepas peluit pertama//
perlahan/ diam-diam/ kereta bergerak/ rindu pun muram…//
Bait bridge ini adalah penggambaran momen perpisahan. Tak ada melankolia dan tak ada romantisme klise disini. Sang penulis lirik menggambarkan sang tokoh utama yang berdiri terdiam di tengah senja. Ketika kereta bergerak –yang saya asumsikan membawa sang kekasih pergi–, maka rindu pun muram.
Rindu pun muram itu adalah kalimat yang aduhai wahai kawanku. Daripada menulis kata “Aku akan merindukanmu”, sang penulis dengan cerdas menulis “Rindu pun muram.”
kau kan menemukanku/ hancur di ujung lagu/ lenyap di rimba raya masa lalu//
Hei/ berhenti kereta/ berhenti disini saja// bukan di Jogjakarta, Bandung, atau Jakarta/ kekasih menanti di Surabaya
Dua bait terakhir saya pikir adalah –lagi-lagi– bait penyerahan diri. Entah hipotesa saya benar atau salah, hancur di ujung lagu, lenyap di rimba raya masa lalu, adalah pikiran sang tokoh utama yang merasa dirinya akan sedih ketika mengingat masa-masa mereka sedang bersama.
Lalu bait terakhir itu, saya mah tidak bisa menebak-nebak apa maksudnya. Tapi saya punya cerita personal khusus di bait terakhir. Entah kenapa, kota-kota yang disebutkan oleh sang penulis lirik itu adalah kota yang “bermakna” bagi saya, hahaha.
Oh ya, apa kalian sadar apa yang tidak ada di lirik Gubeng Rendezvouz itu? Sadar gak? Palingan gak sadar ya?
Ya udah saya kasih tau laahhh.
Di Gubeng Rendezvous juga tidak terdapat adanya pengulangan lirik 🙂
Sama dengan Ode Tentang Kecantikan, Gubeng Rendezvous adalah salah satu bukti kecerdasan dan kepandaian sang penulis lirik dalam memainkan kata-kata.
Dan Greats juga meyakinkan saya bahwa scene musik Surabaya sedang menggeliat dan akan segera bangkit.
Bukan (hanya) di Jogjakarta, Bandung atau Jakarta. Musisi keren menanti di Surabaya 🙂
Temui mereka di Myspace Greats
Sembari mendengarkan Greats terus menerus 🙂
Yo iki!
u know ran, pertama kali aku denger greats ini tuh pas di kosan semarang, then tau apa yang aku pikirkan ketika ‘benar-benar mendengarkan’ Ode tentang Kecantikan?
“syaowoooh… arep kenalan kok mbulet wkkwkwkw…”
well, well, i do, i do adore this song! apik paaak…
@ayos: opone sing yo iki?
@putri: hehehe, ikulah put, senine berkenalan dengan cewek… kudu pake ngerayu dulu laaaahh 😀 awakmu gak tau dirayu ta karo wong lanang sing kape kenalan karo awakmu? hehehe