Senin depan akan jadi hari terakhir ajang bazaar buku Big Bad Wolf. Apa yang bisa diceritakan selain ajang ini membuat, mengutip Beni Satrio, dompet mengeluarkan lolongan serigala ketika dibuka?
Saya datang pada hari kedua acara bazaar buku yang bermula di Malaysia ini. Awalnya saya mencoba meneguhkan diri untuk tak ke sana. Awal Mei ada libur panjang. Saya ingin menyempatkan diri untuk pulang ke Jember. Dan untuk itu jelas butuh biaya. Namun seorang teman mengirimkan foto buku Anthony Bourdain yang didapat dari acara itu, dengan harga yang sangat miring. Jingan.
Dengan impulsif, tanpa mandi hanya sikat gigi dan cuci muka, saya langsung naik kereta menuju Serpong. Dari Pasar Minggu, ganti kereta di Tanah Abang, lalu turun di Serpong. Setelah sampai Serpong, dua kali memesan ojek online, dan dua-duanya menolak karena mereka terlalu jauh. Lah ngapain order diterima yak?
Begitu saya sampai, alamak antrian sudah lumayan panjang. Tapi ternyata beberapa hari kemudian, antrian yang saya alami tidak seberapa. Saya antri hanya kurang dari 10 menit.
Begitu masuk, saya menghembuskan nafas panjang-panjang. Ajang ini benar-benar akan menguras dompet. Habis-habisan. Di depan saya terhampar ratusan ribu eksemplar buku beraneka judul. Dengan penempatan rak yang rapi. Menurut panitia, mereka menyediakan 2 juta eksemplar buku.
Sebelum berangkat saya sempat berjanji pada diri sendiri, bujet maksimal untuk acara ini adalah Rp500 ribu. Tak boleh lebih. Agar saya tetap bisa pulang ke Jember.
Baru saja berjalan sekira lima langkah, di rak Biografi, saya menemukan buku No Regrets, biografi gitaris Kiss Ace Frehley. Saya pernah melihat buku ini, entah di Kinokuniya atau Periplus, dibanderol Rp210 ribu. Di BBW harganya jadi… Rp45 ribu. Cuk.
Selanjutnya adalah hawa nafsu yang berbicara. Otak sudah nyaris tak berfungsi. Pilek dan batuk yang saya derita sejak beberapa hari lalu, mendadak hilang begitu saja. Digantikan gairah yang meluap-luap. Ambil ini. Ambil itu. Sikat buku ini. Sikat buku yang itu.
Tanpa kemudian saya sadar, sudah ada sekitar 13 buku yang ada di keranjang. Saya panik. Ini pasti lebih dari bujet yang saya buat sendiri. Saya harus mengurangi belanjaan ini. Setelah saya coba sortir, tak ada buku yang benar-benar layak dipinggirkan. Ah persetan sudah. Lanjut.
Rak musik adalah rak yang paling menarik. Saya dapat buku tebal, full colour, kertas deluxe, berjudul British Invasion. Sesuai judulnya, buku ini berkisah –dan juga menggambarkan– tentang gerakan kultural dari Britania Raya yang kemudian menginvasi dunia. Dari Stones, Beatles, Zeppelin, Sex Pistols, Def Leppard, hingga Oasis dan Blur.
Buku Inside Out, biografi Pink Floyd yang ditulis oleh Nick Mason hadir dalam dua jenis. Yang pertama berukuran normal. Yang kedua berukuran coffee table book, dengan lebih banyak gambar. Saya memilih yang kedua.
Melihat Jimmy Page menyandang gitar Les Paul dan tangan kanan diangkat, sontak membuat “Whole Lotta Love” langsung berputar di kepala. Kover depan buku biografi Led Zeppelin yang saya lihat itu ditulis Mick Wall, jurnalis legendaris dari majalah musik Kerrang! Dia pernah menulis banyak biografi band, mulai Guns N Roses –namanya disebut di lagu “Get in the Ring” yang memang ditulis Axl untuk ngajak gelut para wartawan– Iron Maiden, Metallica, dan The Doors.
Buku kuliner juga menarik minat saya. Tapi apa yang saya ambil cukup tersebar, ada di rak Cooking, ada pula yang di rak Traveling. Di rak Cooking, saya menyabet The Food Book keluaran Lonely Planet. Buku setebal 887 halaman dan penuh warna ini cuma dibanderol Rp130 ribu. Saya juga membeli The Food Lover Companion, dengan harga yang sama miring.
Di rak Traveling, buku masak yang saya sabet adalah Kitchen Confidential dan A Cook’s Tour, dua-duanya buku Anthony Bourdain. Buku ini melengkapi beberapa judul buku Bourdain yang lain. Saya suka Anthony Bourdain dalam beberapa aspek.
Untuk buku memoar juru masak, karya yang paling berkesan buat saya adalah White Heat (1990) yang ditulis oleh Marco Pierre White. Dia adalah pembuka jalan bagi kultur baru juru masak. Tak sekadar menjadi dirijen di dapur, White membawa profesi juru masak ke ranah yang lebih tinggi. Seorang rock star, seorang super star, seorang badung, dan membuktikan kalau profesi juru masak bisa membuatnya memacari model manapun, tak kalah dengan para rock star betulan. Buku White Heat ditulis dengan jujur dan sangat personal, membuka mata kita bagaimana dapur adalah dunia yang berbeda dengan dunia nyata.
Nah Kitchen Confidential ini dalam beberapa titik, nyaris sama derajatnya dengan White Heat. Ditulis dengan jujur dan personal. Siapa yang menyangka kalau Bourdain ingin jadi juru masak bukan karena cinta pada masakan. Melainkan karena ingin ngewe dengan grupis.
Secara kemampuan dan pengaruh, mungkin Bourdain ada satu level di bawah White. Tapi Bourdain menjulang dengan caranya sendiri. Setelah malang melintang jadi juru masak di berbagai restoran terkenal, dia gantung apron dan memutuskan untuk bertualang untuk belajar khazanah gastronomi di berbagai penjuru dunia. Dia juga membuat acara televisi, rutin menulis kolom, dan masih produktif menulis buku. Karena itu Bourdain jadi sangat keren, sekaligus jadi alasan kenapa Kitchen Confidential ini begitu penting.
Selain itu saya melihat beberapa judul buku Bill Bryson. Dia salah satu penulis favorit saya. Lucu, cerdas, dan kadang selera humornya recehan, yang tentu saja sangat saya suka. Tapi saya cuma mengambil At Home. Saya sempat tergoda untuk membeli Notes from Small Island juga A Walk in The Woods. Saya sudah punya dua judul itu (bersama dengan The Lost Continent dan A Short History of Nearly Everything, semuanya saya dapat di bursa buku bekas Blok M). Menarik juga mengoleksi buku dengan judul sama, dan mungkin bisa saya jual. Tapi setelah saya pikir-pikir, mending uangnya dibuat untuk beli buku yang lain.
Menjelang kasir, saya sempat membongkar ulang dan menghitung berapa pengeluaran saya. Di saat itulah, terdengar pengumuman kalau pembayaran tidak bisa dilakukan dengan kartu debit bank B. Jinguk. Padahal di dompet saya cuma bawa uang Rp500 ribu. Akhirya saya terpaksa keluar dulu untuk ambil duit. Ini merepotkan, tentu saja.
Untuk membayar, saya antri sekira 40 menit. Lumayan lama. Tapi tetap saja tak selama di hari-hari berikutnya. Sewaktu membayar, batuk dan pilek yang tadi minggat mendadak balik lagi. Melebihi bujet. Ketika dompet dibuka, lolongan serigalanya sudah lemah. Hal ini membuat saya yakin kalau di pertengahan bulan hingga gajian saya hanya sanggup makan mie instan. Dan sudah pasti, saya tak akan pulang kampung. Tapi tak apalah. Berlibur di rumah sembari membaca buku tak kalah asyik.
Bazaar BBW ini membuat saya yakin kalau sebenarnya tingkat minat baca orang Indonesia ini tinggi. Beberapa waktu lalu sebuah penelitian bilang kalau minat baca warga Indonesia ini adalah salah satu yang terendah di dunia. Apa benar begitu?
Sama seperti kemiskinan yang lahir karena sistem yang salah, minat baca yang rendah pun demikian. Di Indonesia, buku jadi barang mewah. Pajaknya tinggi. Aksesnya sulit. Toko buku besar –dan nyaris jadi pemain tunggal– memajaki penerbit buku dengan marjin yang besar. Maka harga buku melambung.
Belum lagi distribusi yang tak merata. Buku hanya mudah didapat –meski harganya juga mahal– di Pulau Jawa, atau kota-kota besar macam Denpasar, Makassar, atau Medan. Gita Wiryawan, kawan saya yang dulu sempat tinggal di Bangko, Jambi, sampai harus nitip buku ke kawan yang ada di Jogja. Karena di sana sama sekali tak ada toko buku. Ini baru ngomong soal infrastruktur buku lho, belum lagi kalau bicara soal kualitas. Bahkan kita sepertinya masih belum bisa banyak bicara soal kualitas, karena kuantitas terbitan buku kita juga masih rendah.
Saya optimis kalau ajang seperti ini dibuat di kota-kota lain, pasti akan sukses. Sebab sebenarnya masyarakat kita haus bacaan. Hanya saja aksesnya masih sangat terbatas.
BBW membuat saya senang, bahkan jika hanya melihatnya. Anak-anak kecil khusyuk membaca buku dengan banyak gambar, sementara orang tuanya juga sibuk mencari buku. Pemandangan macam ini agak sukar didapatkan, bukan? Di hari-hari terakhir BBF, para penyuka buku rela berdesakan. Antri di kasir selama berjam-jam. Ada yang memilih datang subuh (di empat hari terakhir, acara ini memang dibuka 24 jam) agar tak berdesakan. Bahkan saking membeludaknya pengunjung, harus diberlakukan sistem buka-tutup pintu masuk. Edan kan?
Semoga tahun depan ajang seperti ini hadir lagi di Indonesia. Kalau bisa malah merata di berbagai kota, tak hanya di Jawa saja. []
Btw Mas Nuran, kalau beli buku di Blok M, tahu itu buku asli atau nggak gimana ya caranya?
Kalau di Blok M, yang banyak dipalsu itu buku-buku Indonesia. Biasanya kan diplastikin tuh. Cara yang paling standar dan awal, coba cek sampulnya. Biasanya buku palsu sampulnya agak buram. Trus kedua cek kertasnya. Rata-rata buku terkenal Indonesia –makanya dipalsu– itu dicetak pake kertas yang bagus, hvs mungkin. Warnanya biasanya putih. Kalau bajakan kertasnya abu-abu. Kalau sampulnya bisa dibuka, malah lebih enak tahunya. Tapi biasanya kan bukunya disampul kertas dan gak boleh dibuka.
aku yang tinggal di solo juga terkena imbasnya mas. ada toko-toko buku online yang mbukak jasa nitip. jadilah aku ikut beli. *lirik dompet*
Selamat menikmati buku-bukunya mas. Setuju banget, semoga tahun depan ada lagi. Aku udah niat harus mampir. 🙂
Wah iya, aku juga sempet liat beberapa akun Instagram menerima jasa pembelian buku dengan ongkos Rp20 ribu/ buku. Lumayan juga. Kalau ada 50 eksemplar yang dibeli, bisa dapat Rp1 juta 😀 Semoga tahun depan ajang ini bisa menyebar ke banyak kota di Indonesia 🙂