Dini hari sudah mampir di Kaliurang. Kami baru saja selesai menandaskan dua botol bir. Saya sudah siap untuk memasrahkan diri pada kasur. Hingga…
“Can. Aku minta tolong diantar ke Janti ya. Aku mau ke Kediri,” ujar lelaki berambut ombak dan pemilik mata sendu itu.
“Lha, kok ndadak?”
“Iya, tadi nenekku sms. Katanya kangen. Aku disuruh ke Kediri,” sambungnya.
Saya tergeragap. Susah sekali mencari pemuda sepertinya di masa seperti sekarang. Nenek rindu, ia segera datang. Meski itu artinya harus naik bis di dini hari, lintas kota lintas provinsi.
Tentu mana bisa saya menolak keinginan pemuda pendiam ini. Ia begitu baik. Pun, tulus. Maka saya mengambil jaket dan bersiap untuk mengantarnya ke Janti, sekitar 7-8 kilometer dari tempat tinggal kami.
Saya mengamati lelaki puitis ini memasukkan beberapa helai baju. Juga celana panjang. Serta jaket yang lumayan tebal. Saya heran. Buat apa jaket tebal? Bukankah Kediri kota yang panas? Tapi saya menyimpan pertanyaan ini untuk saya sendiri.
Maka berangkatlah kami dari Kaliurang yang sedang memasuki musim kemarau, tahun itu. Sepanjang perjalanan kami tak banyak berbincang. Ia, tetap sama seperti lelaki yang dulu saya kenal. Pendiam. Tak banyak omong. Tapi bisa sangat berbisa jika mulai menyerang.
Konon, ada banyak perempuan yang sudah ia taklukan. Bekalnya sederhana: mata sayu, aura misterius lelaki pendiam dan tak banyak cakap, sebatang rokok kretek di tangan yang membuat ia macam Rangga versi dewasa, secangkir kopi, buku puisi atau filsafat, serta rentetan puisi yang dikirim melalui pesan pendek.
Seperti laiknya para pecinta sejak zaman dahulu, sejak Caligulla hingga Cassanova, ia lebih suka menikmati proses mengejar perempuan incarannya. Begitu kena, maka ia akan berkelit. Ia merasa telah menang. Korbannya sudah bergelimpangan. Dari Jember, Jogja, hingga Jakarta.
Kami sudah sampai di Janti. Ia, sebagai cucu yang baik, membeli beberapa buah tangan untuk sang nenek terkasih. Menunggu sekitar 15 menit, datang juga akhirnya bis malam yang ditunggu. Lelaki itu masuk dan saya balik.
Sekitar tiga hari kemudian, ada foto lelaki itu di Gunung Bromo, Probolinggo. Ditandai oleh seorang perempuan di Facebook. Saya terkaget. Bukannya lelaki itu harusnya sedang di Kediri? Saya mengira yang menandainya itu adalah saudara perempuannya. Ternyata bukan. Sama sekali bukan.
“Lho, katanya kamu ke Kediri? Kok bisa sampai ke Bromo?”
Lelaki yang saya tanya itu hanya cengengesan. []