Dari Batu Hingga Semen

Dalam sebuah acara masak, seorang chef menekankan sesuatu. Dengan sorot mata yang serius, ia menatap kamera sembari mengatakan suatu hal.
“Gunakanlah cobek untuk hasil ulekan yang lebih baik. Blender memang bekerja lebih cepat, tapi hasilnya tak akan sebagus cobek.”
Ia tak sedang membual. Nasihat macam itu sudah merupakan nasihat biasa dalam dunia memasak. Bumbu yang dihaluskan dengan menggunakan cobek, pasti rasanya akan berbeda dengan bumbu yang diolah dengan blender. Konon, jika bumbu dihaluskan dengan cobek, akan ada aroma dan rasa tersembunyi yang bisa menguar. Aroma dan rasa macam itu tak akan bisa keluar dengan blender.
Sejarah cobek sudah terbentang panjang selama ribuan tahun. Nyaris semua peradaban mempunyai cobek batu, meski bentuk, fungsi, dan ukuran bisa sangat berbeda. Ada yang berbentuk lonjong, bundar, hingga pipih. Bisa digunakan untuk membuat obat, juga untuk masakan.
Dalam khazanah masakan Amerika Latin, cobek digunakan untuk membuat saus tradisional nan lezat macam guacamole, juga menghaluskan bumbu-bumbu untuk masakan seperti gaspacho. Di Jepang, mochi ditumbuk menggunakan lesung batu. Meski ada mesin modern yang bisa membuat mochi dengan efisien dan cepat, namun pembuatan mochi dengan lesung batu ini masih dipakai. Dan rasanya pun –menurut penuturan beberapa orang– sangat berbeda.
Di Indonesia sendiri, ada banyak sekali masakan yang menggunakan cobek sebagai penghalus bumbu. Mulai dari bumbu-bumbu halus, pecel, gado-gado, rujak, hingga kondimen yang tak bisa dilepaskan dari babad kuliner Indonesia: sambal.
Nah, ngomong-ngomong soal cobek, yang paling banyak dipakai adalah cobek batu. Sayang, sekarang cobek batu jadi langka. Terutama di kota-kota besar macam Jakarta. Di pasar, yang banyak beredar adalah cobek yang terbuat dari semen. 
Cobek dari semen ini tentu kualitasnya jauh tertinggal jika dibandingkan dengan cobek batu. Dari segi ketahanan, misalkan. Di rumah saya, cobek batu yang digunakan sudah berumur belasan, atau mungkin malah puluhan tahun. 
Cobek batu juga unggul dari segi keamanan. Jika kamu memberi air pada cobek semen, lalu menggosoknya, maka semen itu akan turut larut. Sedikit banyak, tentu mempengaruhi rasa makanan. Lagipula, coba bayangkan masakan kamu mengandung semen. Jancuk tenan kan?
Masalahnya, bagi orang yang kurang pengalaman, membedakan cobek batu dan cobek semen akan sangat susah. Rawan tertipu. 
Itu yang terjadi pada saya.
Awal bulan ini, saya sedang ada di Jakarta. Saya dan beberapa kawan ingin rujakan. Sayang, di tempat Rani tak ada cobek. Maka saya dan Budi pun pergi ke pasar untuk beli cobek.
“Inget ya, beli yang cobek batu, jangan yang semen,” kata Rani mewanti-wanti saya dan Budi.
Kami cuma tertawa-tawa saja. Dalam hati saya, apa sih susahnya membedakan cobek batu dan cobek semen.
Tapi memang benar susah!
Saat di penjual cobek, saya sebenarnya agak ragu. Warnan cobek yang ia jual tak segelap cobek batu. Dari segi berat pun, tak seberat cobek batu. Tapi saat ada gopal sedikit, gopal itu macam gopalnya batu. Kalau semen gopal, saya pasti bisa tahu. Saya bingung.
“Mas, ini dari semen ya?” tanya saya bodoh.
Masnya, yang tentu saja adalah penjual berpengalaman yang bisa dengan mudah menipu lelaki bodoh-nirpengalaman macam saya, langsung membual.
“Ini batu mas, kalo semen gak akan cuil, pasti pecah,” katanya sambil menunjuk gopal tadi.
Saya mengangguk pelan sembari menyerahkan 40 ribu rupiah untuk satu set cobek dan ulekannya.
Sampai di rumah Rani, ia langsung menghela nafas.
“Itu cobek semen, Nuraaaan!”
Saya yang berusaha membela diri, tentu saja bersikeras kalau itu adalah cobek batu. Lalu Budi menaruh beberapa tetes air dalam cobek.
“Kalau semen, pas digosok pasti luntur,” katanya sembari mengosok-gosok cobek. Benar saja: semennya luntur.
Saya cengengesan. Hehehe.
Tapi dasar kami terlalu cuek, cobek itu masih kami pakai. Sayang, 40 ribu euy. Mengulek sambel. Juga gula merah dan cabai untuk rujakan. Jangan ditiru ya. Hihihi.
***
Selain Romeo dan Yuliet, sandal, atau sepatu, barang yang harus sepasang untuk bisa digunakan adalah cobek dan ulekan. Mereka adalah sepaket lengkap. Saling melengkapi.
Tapi ada pepatah bukan, tak ada ulekan, batu pun jadi.
Oke, itu pepatah buatan saya sendiri.
Pagi ini saya sudah niat benar untuk masak. Sayur asam, tempe dan tahu goreng, plus sambal terasi. Ah, membayangkannya saja saya sudah ngiler. Maka saya ke pasar Colombo yang hanya berjarak sepelemparan ketapel dari kontrakan saya.
Saya beli semuanya. Kacang panjang, tempe, tahu, asam, cabai, tomat, terasi, hingga beras. Bahkan karena tergiur dengan jamur kancing yang berukuran besar dan berwarna putih menggoda –plus murah, 8000 rupiah dapat satu kantong besar–, maka saya sikat pula jamur kancing itu. Itu mungkin buat dimasak besok, dimasak dengan saus tomat dan lada hitam. Pasti lezat.
Saat semua sudah matang dan tinggal membuat sambal, saya baru sadar: tak ada ulekan! Hanya cobek yang tergolek tenang di rak piring. Sonder ulekan.
“Nggawe watu ae gak popo. Sikat wis,” kata Nody mempersilahkan saya memakai batu untuk ulekan.
Saya ketawa. Maka saya mengambil batu di halaman belakang. Mencucinya bersih dengan sabun. Lalu mengulek. Cukup berhasil. Hingga kemudian saya lihat ada sedikit serpihan batu. Mungkin saya kurang bersih menyikat batunya. Tapi cuma sedikit, tak mengganggu kok. Apalagi melihat Nody lahap sekali makan masakan saya.  
Sori Nod!

Yogyakarta, 24 Januari 2014
Sambil mendengarkan album 
Blak and Blu dari Gary Clark Jr yang baru saya unduh tadi

Leave a Reply

Your email address will not be published.