Waktu ada pengumuman siapa saja yang dicalonkan masuk Rock N Roll Hall of Fame, mas Philips Vermonte kasih pertanyaan sekaligus ajakan untuk “berjudi”. Siapa yang bakal masuk ke sana? Sebagai penggemar hair metal dan band rock 1980-an, pilihan saya tentu absolut: Bon Jovi. Mas Philips cuma terkekeh, menganggap pilihan saya hanya wujud dari cinta yang bebal dan keras kepala.
Ia tentu menyangsikan Bon Jovi. Sebab Radiohead dan Rage Against the Machine yang menurutnya lebih punya sumbangsih terhadap peradaban musik, juga dinominasikan. Dua nama itu memang saingan kelas berat.
Tapi saya optimis Bon Jovi masuk. Pertama, selain perkara cinta yang sudah membatu, Bon Jovi itu tipikal band yang disukai kritikus maupun penggemar. Terutama di album-album awal, dan mungkin berhenti di album Crush (2000). Bon Jovi sukses menghasilkan album-album yang baik secara artistik, dan sukses secara komersial. Ketiga, Bon Jovi membuktikan bahwa namanya masih tetap bergaung lintas generasi.
Coba suruh penggemar musik rock 80-an dengar lagu Radiohead –terutama di album–album pasca Kid A— sebagian besar pasti akan bengong dan mikir: ini apaan sih? Sebaliknya, banyak anak muda kelahiran 90-an sekalipun, pasti masih tahu “It’s My Life”, dan akan susah menahan godaan nyanyi bersama di “Always”.
Selain itu, Bon Jovi juga tipikal band yang kerap dipinggirkan. Contoh paling akurat: rasanya mengherankan bukan, bahwa “Livin’ on a Prayer” nyaris tak pernah masuk dalam daftar lagu terbaik tentang kelas pekerja. Padahal, kurang kelas pekerja apa lagu itu?
Dalam lagu yang termaktub di album Slippery When Wet (1986) itu, Bon Jovi mengisahkan hidup sepasang buruh bernama Tommy dan Gina. Tommy bekerja di pelabuhan, dan suatu hari kena PHK. Gina bekerja di restoran untuk membiayai hidup mereka berdua. Hidup tak pernah mudah, tapi mereka saling menguatkan. Saat Gina menangis di tengah malam dan bermimpi bisa pergi dari kota terkutuk itu, Tommy selalu berbisik.
“Baby, it’s okay, someday.”
Kisah hidup Tommy dan Gina adalah kisah hidup banyak manusia di kelas pekerja. Hidup yang keras. Pemecatan datang tanpa mengetuk pintu. Kerja terlampau keras dengan bayaran yang tak seberapa. Yang bisa dilakukan adalah menanam asa, sembari berharap bahwa hidup akan membaik suatu saat nanti.
Tentu saja “Livin’ On a Prayer” susah sekali masuk dalam anthem para buruh. Bisa jadi karena ia tak mengajak orang mengepalkan tangan ke udara dan menyerukan revolusi, seperti yang dilakukan oleh Rage Against the Machine, misalkan. Tak ada ajakan untuk mengambil alih moda produksi dan menggilas kapitalisme.
Atau bisa juga karena lagu ini dianggap terlalu “cemen” dan sama sekali tak sangar. Kontra revolusi. Ngak ngik ngok. Yang paling masuk akal: ini lagu dari Bon Jovi, band rock besar yang lahir di era 1980-an, masa yang kerap disebut sebagai dekade paling dekaden dan hedon dalam sejarah musik. Sama sekali jauh dari bayangan band yang bisa mengubah nasib suatu kaum.
Namun lagu-lagu besar dan bersejarah tidak pernah dibuat di atas kepalsuan. Lagu “Livin’ On a Prayer” merupakan cerminan hidup Jon Bon Jovi, pendiri band ini. Jon, lahir dari ayah ibu imigran, berusaha hidup dari musik sejak usia belasan. Selagi bermain musik dari klub ke klub, ia menjadi tukang pel studio milik saudaranya, Tony Bongiovi.
Pada 1982, Jon merekam lagu pertama, “Runaway”. Ini adalah salah satu penanda awal moncernya penyanyi kelahiran New Jersey ini. Walau sempat mendapat banyak penolakan, lagu ini perlahan menyelusup ke tangga lagu radio. Menjadi salah satu lagu favorit para pendengar di New Jersey. Maka label-label yang dulu menolak Jon, berebutan meminta tanda tangan kontrak.
Saat itu Jon tak punya band tetap. Lagu itu direkam bersama para musisi di studio. Maka Jon mulai mencari personel untuk bandnya sendiri. David Bryan, keyboardis, adalah orang pertama yang ia kontak. Jon sudah mengenal Bryan sejak usianya 16 tahun. Bryan kemudian mengenalkan pemain bass Alec John Such dan drummer Tico Torres. Untuk gitaris, Jon mengajak Dave Sabo, tetangganya sendiri. Kelak Sabo membentuk Skid Row yang juga jadi band besar. Setelah Sabo tak lagi jadi anggota, Jon mengajak Richie Sambora.
Album self titled pertama Bon Jovi dirilis pada 1984. Meski ada “Runaway”, album ini dianggap tak berhasil secara penjualan. Tapi Bon Jovi masih dapat kesempatan kedua. Setahun kemudian, 7800° Fahrenheit dirilis. Lagi-lagi, album ini dianggap tak berhasil, dan mendapat kritik keras dari banyak majalah musik.
Jon mengingat dengan jelas perjuangan membuat dua album yang boleh dibilang prematur itu. Dalam Bon Jovi: When We Were Beautiful (2010), Jon menyebut “kami masih bayi di album pertama, dan album kedua dirilis sembilan bulan kemudian.”
Bryan mengenang dengan lebih nelangsa: “Pertama kali bus tur kami datang, aku masih tinggal dengan orang tuaku. Richie dan Jon juga masih tinggal bareng orang tua mereka.”
Album ketiga jadi pembuktian. Kalau masih gagal, karier mereka tamat. Bryan silakan kembali jadi mahasiswa di Rutgers atau melanjutkan studi di Juilliard. Richie boleh jadi pemain gitar cabutan. Dan Jon masih akan disambut oleh saudaranya, untuk kembali jadi tukang pel.
Tapi kita sama-sama tahu, mereka berhasil melewati garis tipis antara hidup dan mati itu. Album Slippery When Wet tidak hanya sukses, melainkan sukses besar. Ada banyak lagu yang dengan segera menjadi klasik. Mulai dari “You Give Love a Bad Name”, “Wanted Dead or Alive”, “Raise Your Hands”, balada “Never Say Goodbye”, dan tentu saja “Livin’ on a Prayer” yang seharusnya sejak saat itu dipacak sebagai lagu kebangsaan sepasang kekasih dari kelas buruh —dan sayangnya tak banyak yang melakukannya.
Tur segera digelar, dimulai pada 9 Juni 1986 di Ipswich, Inggris. Berakhir pada 30 Oktober 1987. Lepas dari tur, mereka langsung tancap gas membuat album berikutnya. New Jersey dirilis pada 1988. Album ini kembali sukses, melejitkan tembang semisal “Lay Your Hands on Me”, “Bad Medicine”, “Living in Sin”, dan “I’ll Be There For You” yang hingga kini masih sering dimasukkan dalam kelompok lagu rock balada sepanjang masa.
Tapi kerja keras bagai mesin itu menyiksa mereka. Bryan ingat betul betapa lelahnya ia setelah penggarapan New Jersey dan tur yang mengikutinya. Dalam kurun 1984 hingga 1990, ia hanya berada di rumah selama 6 bulan.
“Bayangkan, enam bulan dalam enam tahun!”
“Ya apa boleh buat. Kami tak punya tempat tujuan lain. Lagian apa yang lebih baik ketimbang tur? Apalagi kamu masih muda, ingin melihat dunia, dibayar pula,” timpal Jon.
Tapi tak semuanya menganggap seperti itu. Di akhir tur, banyak personel merasa terlalu capai. Tico Torres salah satunya. Ia menyebut tur Bon Jovi sudah nyaris tak masuk akal. Sampai pada titik mereka bingung ada di mana, dan apa alasan mereka melakukan tur.
“Band ini jelas bekerja terlalu keras,” katanya.
Richie Sambora juga merasakan hal yang sama. Suatu malam, kenangnya, mereka didatangi oleh tim manajemen yang menawarkan tur tambahan, 70 pertunjukan. Mereka menolak. Dan Sambora merasa itu adalah keputusan yang amat penting.
“Kami sangat berantakan saat itu. Baik secara emosional maupun fisik. Hidup kami berubah amat drastis, dan semua orang merasakan kesakitan yang sama,” ujarnya.
Kelelahan macam itu yang jadi salah satu alasan Alec John Such memutuskan keluar dari band —beberapa sumber menyebutnya dipecat. Penyebabnya adalah perbedaan pandangan: Such ingin rehat, sedangkan Jon adalah pekerja keras dan tak pernah mau melambat. Penggantinya adalah Hugh McDonald, yang merupakan pemain bass saat Jon merekam “Runaway” untuk pertama kalinya.
Keluarnya personel merupakan hal langka di Bon Jovi. Band ini memang punya ikatan yang bisa dibilang solid. Setelah Such keluar, langkah itu baru diikuti oleh Sambora yang keluar pada 2013, 30 tahun setelah ia bergabung dengan Bon Jovi. Lagi-lagi, ada perbedaan persepsi di sini. Beberapa orang bilang, Sambora keluar karena pertikaian dengan Jon. Sedangkan Jon, dalam satu wawancara, berkata bahwa perilaku Sambora yang menjadi alkoholik dan melewatkan 80-an jadwal panggung, membuatnya tak tahan lagi dan harus memecatnya.
“Ia mungkin ingin berhenti sejenak main musik, tapi itu tak berarti kami semua juga harus ikut berhenti,” kata Jon.
Kesolidan dan kerja keras Bon Jovi memang terbayar. Sepanjang kariernya, mereka merilis 13 album studio. Beberapa album membuktikan bahwa kesuksesan mereka melintasi generasi dan usia.
Album Crush misalkan. Dirilis pada 2000, lagu-lagu seperti “It’s My Life” berhasil menggaet penggemar berusia muda. Band ini juga seperti tak alergi dalam perubahan genre musik, bisa ditengok di Lost Highway (2007) yang bercorak country.
Dengan capaian-capaian penting Bon Jovi, tak heran kalau band ini dianggap layak masuk ke dalam Rock and Roll Hall of Fame. Memang ada beberapa orang yang menganggap Bon Jovi tak cukup berpengaruh untuk masuk dalam kelompok bergengsi itu. Salah satunya datang dari Jann Wenner, pendiri majalah Rolling Stone. Pria yang juga menjadi anggota direksi Rock and Roll Hall of Fame itu menganggap bahwa Bon Jovi tidak penting-penting amat bagi dunia musik.
“Aku tak menganggap band itu penting. Apa sih jasa Bon Jovi bagi dunia musik? Nihil.”
Tapi jutaan fans Bon Jovi tak bisa diabaikan. Band ini kembali dinominasikan ke dalam Rock and Roll Hall of Fame. Mereka pertama kali dinominasikan pada 2011, tapi tak lolos. Barulah pada 2017, nama mereka lolos. Menyisihkan nama-nama seperti Rage Against the Machine dan Radiohead, dua nama andalan mas Philips. Hihihi.
Dengan dukungan voting lebih dari 1 juta orang dan sistem ketat —semisal penilaian lebih dari seribu orang “pakar musik”— Bon Jovi berhasil jadi ketua kelas Rock and Roll Hall of Fame angkatan 2018 bersama The Cars, Dire Straits, The Moody Blues, Nina Simone, dan Sister Rosetta Tharpe (kategori Early Influence).
“Bon Jovi redefined the rock anthem by dominating arenas and captivating audiences with hooks that continue to define the decade,” begitu keterangan museum yang terletak di Cleveland ini.
Mereka akan dilantik pada 14 April 2018. Jon berencana mengajak dua anggota penting yang tak bisa dilepaskan dari kebesaran band ini: Such dan juga Sambora.
Pada akhirnya Bon Jovi adalah wujud dari kerja keras. Musik yang mereka hasilkan, tur yang mereka jalani, adalah anak kandung semangat mereka. Mereka tak mengenal keberuntungan, termasuk dilantiknya mereka ke dalam Rock and Roll Hall of Fame. Sama seperti yang pernah mereka lantangkan di “Always”.
“Well there ain’t no luck in these loaded dices.” []
Selalu cinta mati sama lagunya Bon Jovi(Always).
Lagu racun emang tuh :))
OMG, ya harus Bon Jovi laaahh… Justru lagu-lagu Bon Jovi itu dekat sekali dengan penggemarnya.
Keep the Faith!
Btw, saya pernah mampir ke Rock n Roll Hall of Fame. Orgasmic!!
Jadi inget jaman memburuh di Belanda th 90-an. Dimana-mana di dalam greenhouse selalu diputer Keep the Faith