Manusia tak pernah tahu kapan ia akan meninggal. Tapi manusia yang menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, kurasa, akan selalu siap menghadapi kematian.
Agung mungkin salah satunya.
Ia kawan SMA saya. Kami tak pernah benar-benar akrab. Biasa, beda lingkaran perkawanan. Tapi waktu kelas 3, kami sama-sama duduk di Kelas IPS. Saya di 2, dia di 1. Kelas kami sebelahan. Karenanya membuat kami sering nongkrong.
Ada banyak hal yang bisa dikenang dari Agung. Salah satunya adalah tinggi badan yang menjulang. Lebih dari 170 centimeter. Saya tampak seperti manusia kate kalau berdiri di sebelahnya. Pantas kalau ia bergabung dengan tim basket SMA. Walau untuk posisi center, ia tampak kalah saing karena badannya yang kerempeng. Mungkin ia lebih cocok sebagai power forward.
Hal lain yang akan selalu saya kenang tentang Agung adalah keberaniannya. Ia manusia pantang mundur. Suatu hari saya melihat ia berkelahi dengan Rangki, kawan satu kelasnya. Agung tampak kewalahan menghadang pukulan Rangki yang sporadis. Buk! Pelipis kanannya kena jotos, sobek. Darah mengucur. Membasahi separuh wajah. Kawan-kawan lain panik. Rangki yang kalap dipegangi. Tapi Agung sama sekali tak mundur. Matanya tetap nyalang. Seolah menantang musuhnya, “Ayo, aku sik sanggup diantemi.”
Selepas SMA, praktis kami tak pernah ketemu. Saya dengar ia bekerja di sebuah perusahaan rokok, ditempatkan di daerah Jawa Barat. Rayis, kawan SMA yang lain, kerja bareng Agung. Ia yang sering cerita soal Agung. Tentang kenaikan pangkatnya. Tentang tanggung jawab lebih besar yang diemban. Dan sebagainya.
Tapi lalu saya tak pernah mendengar cerita tentang Agung lagi.
Hingga dua tahunan lalu. Yang mengetuk pintu bukan kabar baik, tapi sebaliknya. Agung kena kanker kolorektal, alias kanker yang tumbuh di usus besar, alias rektum. Seringkali, saat ia buang air besar, ada darah ikut mengucur. Rayis cerita, awalnya Agung menyangka itu wasir. Kemudian Agung minta dipijat. Tapi tak membantu.
Akhirnya Agung dibawa ke dokter. Di sana, dokter kasih kabar yang lebih mengejutkan. Saya bisa membayangkan Agung lemas. Tapi sama seperti saat ia menghadapi perkelahian, ia tak mundur. Sejak divonis kanker itu, Agung menjalani pengobatan. Rayis menjadi salah satu kawan yang sering mendampingi Agung. Kawan-kawan SMA juga menggalang dana untuk membantu pengobatan. Selain itu, info pengobatan juga terus dicari. Termasuk menghubungi Yayasan Kanker Indonesia.
Saya sempat menjenguk Agung saat pulang ke Jember, Maret silam. Agung berada di pusat kemotrapi di sebuah rumah sakit milik Angkatan Darat. Badannya memang tinggal dibalut kulit. Ia lemas, dengan selang infus yang menusuk lengan kirinya. Tapi matanya masih tajam, ada api di sana.
Ia bercerita sedang menjalani kemoterapi, yang bikin kulitnya terasa seperti terbakar. Jadwalnya 12 kali. Saat itu ia baru menjalani dua kali, kalau saya tak salah ingat. Saya dan kawan-kawan yang datang malam itu hanya bisa menyemangatinya, juga berdoa agar ia cepat pulih. Bahkan di saat badannya lemas dan terasa terbakar, ia masih kepikiran untuk nongkrong. Seusai kami pulang, Agung mengirim pesan di grup WhatsApp teman-teman SMA.
“Kabari ya kalau besok mau ngopi.”
Saya ketawa kecil, sekaligus gemas. Saya balas, “Koen iki istirahat sik, ojo mikiri ngopi ae.”
Setelah dari Jember itu, kami sempat ngobrol via WA. Ia minta tolong dicarikan obat biji aprikot. Saya pertama kali mendengar ada obat itu. Biasanya untuk obat kanker, pasien mencari ekstrak daun sirsak. Agung bilang, obat biji aprikot adalah jenis obat herbal baru, yang konon berkhasiat baik bagi penderita kanker.
Agung sempat membeli via online. Tapi kurang ajarnya, barang tak pernah sampai. Ketika mendengar cerita itu, saya misuh-misuh. Mengutuk agar penjual kurang ajar itu susah seumur hidup. Bisa bayangkan orang dengan harapan tergantang pada obat, ditipu begitu rupa. Sudahlah menipu materi, harapan sembuh turut pula dihancurkan. Saya sempat mendatangi beberapa apotek di Depok dan Jakarta. Sayang, obat itu tak jua saya temukan.
“Aku sudah lepas kemo, jadi balik ke herbal lagi. Biji aprikot memang susah nyarinya sih, Ran,” katanya memaklumi.
Kondisi Agung memang nyaris tak mengalami peningkatan. Bahkan saya sempat telponan dengan Rayis, yang mengabari kalau dokter sudah angkat tangan karena sudah melakukan 9 kali kemo, tak ada perubahan yang berarti. Kami bingung. Banyak kawan SMA berusaha mencari bantuan dengan cara masing-masing. Tapi semua mentok karena satu kondisi yang tak bisa diceritakan.
Tanggal 21 Oktober saya pergi ke Surabaya untuk tur buku. Setelahnya ke Malang, lalu ke Jember. Saya sudah bilang Rayis untuk menemani saya menjenguk Agung.
Tapi kematian memang tamu yang tak diundang. Ia mengetuk pintu tanpa seorang pun yang tahu kapan gilirannya. Kali ini, pintu milik Agung diketuk. Tanggal 22 Oktober, saya dikabari lelayu itu. Agung pergi. Untuk selamanya.
Setelah dengar kabar duka itu, saya spontan melihat status WhatsApp Agung. Pada bulan Agustus 2017, ia menuliskan, “Sedang tidur”. Saya mendegut ludah. Kawan saya ini memang tampak sekali bersiap menghadapi kematian. Sebelum status itu dibuat, ia menulis pesan yang lebih jelas: 1987-??? Seolah bertanya, atau paham, bahwa hidupnya mungkin tak lama lagi. Ia siap, dan menunggu. Agung memang seorang pemberani. Perkelahian maupun penyakit tak membuatnya gentar, tidak pula kematian.
Maka Agung adalah jenis orang yang pernah dipuji oleh Mark Twain. Suatu ketika, Twain pernah berujar, “Ketakutan akan kematian itu berasal dari ketakutan akan hidup. Seorang pria yang menjalani hidup penuh seluruh, selalu bersiap untuk mati, kapan pun itu.” Kami tahu, Agung tak pernah takut untuk hidup, dan selalu bersiap untuk mati.
Selamat jalan, Gung!
Selamat jalan Agung,tapi kayaknya aku baru dengar kanker kolorektal??
Salam kenal Mas Nuran.
Nama umumnya sih kanker usus besar, Mbak Ami. Tapi juga sering disebut kanker kolorektal/ kolorektum. Salam kenal juga, Mbak Ami.