Fresh from the Brew

Let a man walk ten miles steadily on a hot summer’s day along a dusty English road, and he will soon discover why beer was invented.

(Gilbert K. Chesterton)

Siang itu memang kami tak berjalan 10 mil. Juga tidak melewati jalanan berdebu di Inggris. Tapi kami tak kalah sengsara: panas Jakarta yang menyengat dan juga kemacetan yang mengular. Kemarin saya menggantikan Dhani untuk hadir dalam acara kunjungan ke pabrik bir Bintang, di Daan Mogot, Tangerang. Ini adalah undangan dari komunitas Beergembira. Dilihat dari orang-orangnya, kampanyenya, dan juga ide kreatifnya, ini adalah komunitas yang menyenangkan. Mereka mengungkapkan rasa cinta kepada sesuatu dengan cara yang asyik.

Melihat komunitas ini bergerak, saya jadi teringat dengan Komunitas Kretek yang juga berjuang untuk apa yang mereka cintai. Mereka tak rela apa yang mereka cintai diberangus dengan alasan yang dangkal. Maka mereka berjuang dengan cara masing-masing. Tentu dengan cara yang menyenangkan.

Di situs Beergembira, para pengunjung bisa membaca banyak hal tentang bir. Mulai dari kultur bir dalam masyarakat Nusantara, tentang peraturan Menteri Perdagangan, hingga tips menarik seperti mendinginkan bir dengan cepat.

Kembali ke acara kunjungan. Karena Jakarta yang macet, jadwal keberangkatan diundur. Para peserta yang berkumpul di FX Senayan menunggu hingga sekitar pukul 1 siang. Molor satu jam dari waktu yang ditentukan. Tapi penantian ini terasa cepat karena obrolan yang menyenangkan. Saya akhirnya bertemu juga dengan Ananda Badudu, kawan lama yang saya ceritakan sedikit di tulisan tentang Silampukau. Juga bertemu dengan Johan, wartawan magang di Rolling Stone Indonesia.

Dari kantor saya, ternyata ada juga Idham dan Mas Yuli yang ikut berangkat. Dasar muka bir semua. Hahaha. Dari Beergembira, ada Rudolf Dethu, sang propagandis legendaris yang berjasa mengorbitkan band punk rock Superman is Dead.

“Acara seperti ini sepertinya akan rutin. Acara barbeque juga mungkin rutin tiap tiga bulan,” katanya sembari tersenyum lebar.

Akhirnya yang ditunggu datang juga: bis sewaan yang akan membawa kami ke Daan Mogot. Perjalanan awal lancar. Tol juga nyaris tanpa hambatan. Tapi begitu akan masuk Daan Mogot, dang! Macet panjang. Kendaraan hanya bisa berlagak macam kura Galapagos. Saya sampai ketiduran.

Bangun-bangun sudah sampai pabrik Bintang. Ahoy!

Para peserta tur diajak berkumpul di sebuah aula kecil yang berisi beberapa kursi, ada mini bar, dengan layar dan proyektor. Di sini, ada beberapa orang dari perusahaan yang menjelaskan tentang sejarah bir. Bagaimana 4.000 Sebelum Masehi bir diciptakan oleh bangsa Sumeria di Mesopotamia, alias Irak di era sekarang. Juga tentang sejarah bir Heineken dan Bintang di Indonesia yang dulunya bernama Java. Serta bagaimana cara membuat bir.

“Bir ini bahan bakunya 90 persen adalah air. Makanya kalau minum bir selalu cepat kencing, ya karena itu sama kayak minum air,” kata salah seorang brew master.

Ia lantas menjelaskan apa yang disebut bir. Secara prinsip dan juga komposisi pembuatan, sebuah minuman bisa disebut bir kalau terdiri dari empat bahan: air, hop, barley alias gandum, dan juga yeast alias ragi. Kalau ada bahan tambahan, itu berarti tidak bisa disebut bir.

“Kalau Raddler bagaimana? Itu kan ada tambahan perisa lemon,” tanya saya.

Dia diam sebentar. “Ya, kalau menurut saya pribadi, itu bukan bir. Makanya ditulisnya bir plus rasa lemon,” katanya diplomatis.

Bir sebenarnya tak kalah menarik jika dibandingkan dengan kopi. Keduanya sama-sama minuman dengan tingkat kompleksitas yang tinggi. Jika karakter kopi bisa berbeda tergantung tingkat ketinggian penanaman, daerah penanaman, kandungan tanah, cara menjemur, hingga cara menyeduh, begitu pula bir.

Rasa bir bisa sangat berbeda tergantung dari cara kamu memperlakukan ragi, misalkan. Juga bisa berbeda tergantung komposisi gandum dan hops. Sedikit saja berbeda, maka rasa bir juga bisa sangat berbeda.

IMG_6237
Jenis gandum yang dipakai untuk bahan baku bir. Foto oleh Idham.

Tak heran kalau hanya dari 4 bahan dasar itu, bisa terlahir 40 ribu merk bir dengan rasa yang berbeda-beda. Edan ya? Kadar alkoholnya pun berbeda-beda. Tapi di Indonesia, sesuai peraturan pemerintah, kadar alkohol dalam bir tak boleh lebih dari 5 persen.

Kalau dipikir-pikir, keberagaman bir ini mirip dengan Bhinneka Tunggal Ika ya? Berbeda-beda tapi tetap satu jua: bir. Yeah!

Seusai menjelaskan tentang sejarah dan cara pembuatan bir, dijelaskan tentang prosedur untuk memasuki pabrik. Semua diatur dengan sangat detail. Kami semua harus mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) yang terdiri dari satu set peralatan, yakni sepatu pengaman, high visibility vest, pelindung telinga, dan kacamata. Semua demi keamanan.

Penerapan keamanan ini memang bukan kecap bibir belaka. Bahkan di mana para pengunjung berjalan, semua diatur. Lagi-lagi demi keamanan.

***

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah tempat brewing dilakukan. Ada banyak tabung raksasa dengan pipa-pipa logam yang instalasinya tampak rumit.

Di area ini, barley alias gandum direndam dalam air, dicampur lalu dipanaskan. Proses ini akan menghasilkan kadar gula, yang kemudian disaring. Nah, hasil saringan ini disebut dengan wort, atau malt sugar. Wort inilah yang nantinya akan difermentasi.

Tampak sederhana? Iya. Tapi prakteknya, ya rumit. Untung pemandunya bisa menjelaskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Sehingga saya yang selalu mendapat nilai 5 di Fisika dan Biologi bisa memahami.

Setelah dari ruangan pertama, kami diajak ke luar. Kali ini ke bawah tabung-tabung raksasa tempat fermentasi dilakukan. Di sini lah saya menemui pembenaran istilah “surga di bumi”. Jika selama ini surga di bumi selalu identik dengan tempat wisata yang belum terjamah, kali ini lain.

Surga muncul dalam bentuk yang berbeda: wangi fermentasi wort. Bau gandum yang samar, aroma kuat dari hops yang baru dicemplungkan, dan wangi tajam bir. Semua berkelindan jadi satu. Semua berkumpul di udara, dan dapat dihirup sedalam-dalamnya.

Oh ya, bau gandum ini juga membawa saya ke ingatan masa silam. Saya punya teman masa kecil, namanya Iqbal. Anak dari seorang saudagar kaya. Bapaknya punya pabrik pengolahan padi dan gabah. Biasanya, jika panas sedang terik, para pekerja akan menaburkan gabah untuk dijemur. Wangi gabah yang dipanggang sinar matahari itu sungguh menyenangkan.

Kembali lagi ke proses fermentasi bir. Di sini saya belajar tentang rumitnya membuat bir. Untuk tangki saja ada dua jenis: tangki berdiri dan tangki tidur.

Untuk bir Heineken misalkan, ia menganut prinsip bottom yeast, alias ragi mengendap di bawah. Karena itu tangki adalah tangki tipe tidur.

“Kalau pakai tangki ini, ragi akan bahagia. Ragi seperti ini akan menghasilkan ester, alias rasa buah-buahan di bir,” kata seorang pemandu.

Saya sendiri masih belum sepenuhnya memahami perihal ragi bahagia atau ragi sedih. Bagaimana bisa ragi itu merasakan bahagia atau sedih? Tapi seingat saya, ragi ini memang semacam organisme yang hidup. Dan saya meyakini segala yang hidup itu punya perasaan. Jadi ya sangat mungkin ragi bisa bahagia dan bisa pula sedih.

Mungkin lain kali saya harus ikut lagi biar bisa puas bertanya tentang ragi ini. Hehehe.

Dalam proses fermentasi ini, ragi yang sudah ditambahkan akan mengubah wort menjadi alkohol dan karbon dioksida. Proses fermentasi ini biasanya berlangsung selama 7 hingga 21 hari, tergantung tipe bir. Kalau untuk Bintang dan Heineken, proses fermentasi berlangsung 5 hingga 7 hari.

“Tergantung dari titik gula yang diinginkan. Di sini, titik gula yang diinginkan biasanya kurang lebih 10 plato,” ujar si pemandu lagi.

Saya manggut-manggut saja.

Setelah difermentasi, wort akan berubah menjadi alkohol dengan kadar sekitar 7 persen. Sebenarnya ini sudah bisa ditenggak. Tapi karena masih di atas kadar alkohol yang dibolehkan oleh pemerintah, maka harus dilakukan proses dilusi, yakni menambahkan air hingga kadar alkohol berkurang menjadi di bawah 5 persen.

Setelah ini, barulah bir melewati proses maturasi. Alias pendinginan. Proses ini berfungsi untuk mengeluarkan rasa dan mengecek kejernihan bir. Di proses ini, bir juga akan disaring untuk menghasilkan bir yang jernih.

Nah, bir yang jernih ini akan ditampung dalam gentong-gentong besar yang disebut dengan BBT, singkatan dari Bright Beer Tank. Tangki penampungan bir jernih. Pabrik ini memiliki 8 tangki yang tiap tangkinya berkapasitas 1000 hectoliter.

Bagi yang belum tahu, 1 hectoliter itu setara dengan 100 liter. Tinggal kalikan saja. Di tiap tabung besi itu berarti ada 100 ribu liter bir siap minum.

“Ini bisa langsung diminum ya pak?” tanya saya sembari membayangkan ada keran yang akan mengalirkan bir segar. Dan saya akan berlagak seperti orang yang baru berjalan 10 mil di jalan berdebu Inggris, langung menenggak bir dari gentongnya. Rock n roll sekali.

“Ya gak bisa, harus dipacking dulu,” kata si bapak

Bayangan saya hancur berantakan. Cuk!

Dari zona BBT, kami diajak pergi ke zona packaging, pengemasan. Di sini kami melihat ribuan botol dan kaleng berjajar dan berjalan dengan rapi. Mirip seperti yang saya lihat di televisi. Persis seperti bayangan saya tentang pabrik. Semua berbaris di atas sabuk berjalan dengan teratur, efisien, dan terukur. Botol atau kaleng yang tak memenuhi standar, akan terdepak dengan otomatis. Sama sekali tak ada ruang untuk ketidaksempurnaan.

IMG_20150611_155606

Saya jadi ingat obrolan pendek saya dengan salah seorang pemandu. Menurutnya, di Eropa dan Amerika, pembuat bir rumahan memperlakukan bir sebagai karya seni. Ia tak boleh seragam dan tak boleh sama. Karena itu, rasa bir mereka bisa sangat berbeda walau merknya sama. Berbeda dengan bir pabrikan. Yang dikejar adalah keragaman, kesamaan. Jadi merk Heineken di Indonesia dan Belanda, rasanya ya sama saja.

“Sebenarnya bir itu kan kombinasi antara art dan science. Semakin ke pabrikan, science akan menggeser art,” jelasnya.

Kapasitas pengemasan di pabrik ini begitu masif. Dalam satu jam, ada 30 ribu botol bir dan 24 ribu kaleng yang diisi. Bayangkan pula, pabrik ini beroperasi selama 24 jam. Berarti ada ratusan ribu botol bir dan kaleng yang diproduksi tiap hari.

“Tapi kami memproduksi kalau ada permintaan saja. Bir tidak boleh ada di gudang lebih dari 2 minggu,” ujar salah satu pemandu.

Ini karena bir diproses tanpa bahan pengawet. Tidak bisa tahan terlalu lama. Apalagi yang kemasan botol. Jika lama terkena matahari, rasa bir bisa berubah drastis. Karena itu, bir baru akan dibuat ketika ada permintaan.

Dari mana permintaan paling banyak?

“Sampai sekarang ya yang paling besar itu Indonesia bagian Timur, terutama Bali. Juga ada Sumatera Utara. Dan jangan salah, diam-diam Aceh itu juga tinggi permintaannya,” kata si pemandu.

Saya meringis.

***

IMG_20150611_162357

Setelah tur selesai, kami kembali ke aula untuk merayakan Happy Hour, atawa bersenang-senang. Para peserta diajari cara menuang bir dengan benar oleh Ipung, ahli menuang bir. Jangan salah, menuang bir pun ada caranya. Ini untuk menghadirkan rasa yang maksimal. l.

“Gelas harus diposisikan 45 derajat,” katanya memulai peragaan.

Bibir gelas yang miring ini lantas didekatkan dengan mesin penuang bir, atau botol biri, atau kaleng. Barulah dituang pelan. Sudut 45 derajat ini menghasilkan bir yang jernih dan tanpa busa.

Setelah gelas hampir penuh, baru gelas diluruskan untuk menghasilkan busa. Busa ini tetap harus di-skimming, alias dihilangkan bagian atasnya. Agar busa menutup dengan sempurna. Skimming pun harus 45 derajat, agar tak merusak lapisan busa.

Ternyata busa ini diperlukan lho, bukan sekedar aksesoris. Busa bir ini ibarat tudung yang melindungi bir. Ini karena bir adalah cairan yang mudah teroksidasi. Jika kena oksigen, rasanya akan berubah. Jadi itu kenapa bir harus diminum sesegera mungkin.

Bir yang dituangkan dengan baik, akan menghasilkan busa dengan ketebalan sempurna, sekitar 2 ruas jari dari bibir gelas.

“Silahkan dicoba,” ujar Ipung sembari menyodorkan segelas berisi bir segar.

Saya meneguknya perlahan, tanpa tergesa. Berusaha menikmati kenikmatannya teguk demi teguk. Huah! Rasanya segar! Fresh from the brewery! Setelahnya, beberapa orang mencoba untuk menuangkan bir dari dispenser.

Jelas, banyak yang gagal di percobaan pertama. Ada yang terlalu banyak busa, ada pula yang kekurangan busa. Ipung dengan santai mengambil gelas yang penuh berisi bir itu, lalu dia… membuangnya.

Kami serempak berteriak: jangan dibuang! Tapi Ipung tetap membuangnya dengan lempeng. Dasar lelaki kejam! Rasa-rasanya ada bagian yang hancur di hati saat melihat cairan segar dan nikmat itu masuk dalam pembuangan. Sedih.

Sore itu saya jadi anak baik. Hanya minum satu gelas Heineken dan satu botol kecil Raddler, minuman yang bukan bir itu. Entah para peserta yang lain.

Kami memungkasi hari itu dengan bahagia. Pulang dengan tenang, senang mendapat banyak teman baru, dan perut yang penuh terisi bir. Saya tidak bisa lebih gembira lagi. []

TRIVIA BEBERAPA JENIS BIR

– Pilsener: Kadar pahit rendah, berwarna emas. Asal dari Ceko.

– Lager: Kadar pahit rendah, warna juga emas. Asal dari Jerman.

– Stout: Kadar pahit tinggi, salah satu jenis bir hitam.

– Ale: Rasa cenderung manis, ada aroma buah.

– Cider: Cirinya adalah rasa apel.

– Wheat: Bir dengan rasa khas gandum yang kuat.

– Porter: Kadar pahitnya rendah, juga termasuk satu keluarga dengan stout.

– Flavour beer: Ada aroma atau rasa campuran jus buah. Yang pernah saya coba adalah bananaweizen, bir rasa pisang.

– Barley: Kadar pahitnya tinggi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.