(Esai oleh Bondan Winarno)
Minggu kemarin, Ibu tercinta telah meninggalkan kami semua –anak-anak dan cucu-cucu yang menyayanginya. Saya punya banyak alasan untuk bersedih. Tetapi, saya memutuskan untuk tidak larut dalam duka. Terlalu banyak hal-hal tentang ibu yang dapat saya kenang dengan manis. Ibu adalah orang yang memperkenalkan saya kepada dapur. Dari Ibu, saya menaruh apresiasi yang tinggi terhadap makanan. Seperti jamaknya orang Jawa Timur, Ibu sangat piawai dalam hal masak-memasak.
Ketika saya ditelpon Mbakyu yang mengatakan bahwa Ibu mulai enggan makan, reaksi saya sangat sederhana dan polos. Saya segera terbang ke Semarang. Dari bandara, saya langsung naik taksi ke Gang Pinggir. Masih terlalu pagi, dan restoran-restoran masih tutup. Tetapi, pemiliknya bersedia memasakkan sup asparagus kepiting dan mi goreng.
Ternyata makanan kegemaran itu tidak sempat disentuh Ibu. Ia pergi hanya beberapa saat setelah saya tiba di rumah. Malam harinya, setelah kami mengantar ibu ke peristirahatan terakhir, makanan itu kami panaskan dan kami makan ramai-ramai sambil mengenang Ibu.
Ketika Ayah dulu masih hidup, Ayah dan Ibu punya restoran favorit di Gang Pinggir, Semarang. Nama restoran itu Ki Twan Kie. Seingat saya, dulu hanya ada tiga restoran terkenal di sana, yaitu Ki Twan Kie, Bien Lok, dan Phien Tjwan Hiang. Ki Twan Kie sudah lama tutup gerai. Bien Lok sempat berganti nama menjadi Boga Loka, sebelum kemudian juga menutup gerai. Tinggal Phien Tjwan Hiang yang kini masih bertahan –hampir seratus tahun usianya– dengan nama baru Permata Merah. Restoran itu kini diteruskan oleh generasi ketiga.
(Sebelum saya teruskan tulisan ini, saya mohon maaf. Tulisan ini akan banyak mengandung makanan yang tidak halal. Saya sepenuhnya memahami bila Anda memilih untuk tidak terus membaca).
Ketiga restoran yang saya sebut di atas adalah tipikal gerai makanan Tionghoa masa lalu. Artinya restoran-restoran itu berfokus pada masakan, bukan pada interior serta pelayanan. Di masa kecil saya dulu, oleh-oleh mie goreng dan burung dara goreng atau kodok goreng dari Gang Pinggir merupakan kemewahan yang sangat jarang kami nikmati, dan karena itu sangat kami syukuri.
Gang Pinggir adalah salah satu jalan utama di kawasan “Chinatown” Semarang. Lucunya, jalan masuk ke kawasan ini bernama jalan Pekojan yang berarti kawasan orang Arab. Nama-nama jalan di “Chinatown” ini antara lain adalah Jagalan, Beteng, Wotgandul, Plampitan, Kranggan, Gang Lombok, Gang Besen, Gang Tengah, dan lain-lain.
Makan berkelas warungan yang banyak dijumpai di sini adalah swiekee (katak atau kodok) dan pimbak (bulus, kura-kura sungai). Dagangan ini sudah buka sejak pagi untuk sarapan. Keduanya disajikan dengan kuah tauco yang sama. Ditaburi bawang putih goreng dalam porsi yang sangat generous. Pokoknya akan segera ketahuan apakah Anda baru makan swiekee dan pimbak Semarang dari napas Anda yang bau bawang putih. Karena bulusnya sering sulit didapat, para pedagang biasanya menempatkan papan pengumuman di depan warung: “Ada Pimbak”.
Jangan kaget bila ketika nongkrong di warung swiekee itu Anda mendengar orang memesan “tito”. Tito sebetulnya berarti babat atau jerohan babi. Padahal sebetulnya yang dimaksud adalah “to” saja, berarti perut. Yaitu bagian perut katak yang memang punya penggemar tersendiri. Di Semarang juga terkenal mi titee. Titee artinya kaki babi. Ini adalah mi rebus yang di atasnya ditumpangi semur kaki babi.
Kalau ingin pimbak dalam sajian lain, terpaksa harus menunggu malam hari. Di Jalan Kranggan ada tenda swiekee dan pimbak yang terkenal. Cobalah pimbak yang dimasak dengan saus Inggris (Worschestershire sauce). Coba juga swiekee “masak Pekalongan” yang sungguh lezat. Kalau tidak enak, akan saya ganti uang jajan Anda!
Gang Pinggir juga terkenal dengan jajanan khas Semarang, yaitu bolang-baling, untir-untir, dan cakwe (kaum Tionghoa di Semarang melafazkannya sebagai jakwe). Ketiga jenis makanan ini intinya sama, yaitu terigu dan air. Yang satu lebih banyak terigunya daripada yang lain. Cakwe yang paling ringan, tentu saja lebih banyak terigu daripada airnya. Untir-untir lebih keras dan padat –kepadatannya mirip bagel. Anda bayangkan saja cakwe yang lebih padat, lalu diuntir sebelum digoreng. Sedangkan bolang-baling –jajan murah yang paling populer di masa kecil dulu– buatan Gang Pinggir tampak lebih sexy karena besar dan melepuh. Tandingan satu-satunya –sepengetahuan saya– hanya bolang-baling dari Maospati, di dekat Lanuma Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur. Sekarang sudah tidak banyak lagi penjual bolang-baling, untir-untir, dan jakwe di sekitar Gang Pinggir. Mungkin sudah tergusur oleh Dunkin Donuts yang lebih populer.
Kawasan “Chinatown” Semarang ini juga terkenal karena hidangan non Chinese. Anda mungkin pernah dengar Sate Kapuran, tidak jauh dari kantor Jamu Cap Jago. Satenya terkenal empuk, dengan saus kacang yang sungguh gurih. Di situ kita juga bisa makan gule tulang sumsum. Nasi goreng babat yang khas Semarang juga dapat kita jumpai di berbagai sudut Gang Pinggir.
Di antara gang-gang Chinatown itu juga sering kita jumpai pedagang gule pikulan. Daging untuk gulenya ditata bertumpuk-tumpuk di salah satu pikulan. Ada usus kambing yang “dikepang”, babat, dan unsur-unsur jerohan lain. Ada juga bagian tulang seperti kaki dan rahang –mirip sajian thengkleng Solo. Di pikulan lain terdapat satu kuali (sekarang kaleng) tempat kuah gulai itu terus menerus dipanaskan. Berdasar pesanan pelanggan, pedagang akan meracik unsur-unsur daging ke dalam mangkuk, baru kemudian disiriam dengan kuah. Kuahnya sangat berlemak, sehingga mereka yang sudah bermasalah dengan kolesterol dijamin tidak akan berani menyantapnya.
Khususnya di daerah Wotgandul, banyak dijumpai ibu-ibu yang keluar masuk rumah menggendong nasi ayam (sego ayam) dan nasi sayur (sego jangan). Ini sebetulnya lebih mirip nasi liwet Solo, tetapi dijajakan dari rumah ke rumah dengan gendongan. Opor ayamnya lebih berterasi, mengingat pelanggannya kebanyakan adalah kaum Tionghoa. Sekarang, nasi ayam a la Wotgandul ini banyak disajikan oleh para pedagang di sekitar Simpang Lima.
Makanan gentile lain dari kawasan ini adalah tahu pong –mungkin sekali dari kata tahu kopong, tahu yang berkantung udara di dalamnya. Tahu goreng, telur rebus digoreng, dan gimbal udang, semuanya dipotong-potong dan disiram dengan saus kecap campur kacang. Sayangnya, hidangan khas Semarang ini sedang menghadapi kepunahan. Yang paling terkenal dulu berlokasi di Jalan Seteran. Sayang, putra tunggal pedagang tahu pong Seteran ini lebih suka menggeluti bisnis lain di bidang hiburan. Sekarang, hanya ada satu pedagang tahu pong di Jalan Gajah Mada (buka pagi), dan yang lain di Jalan Karangsaru (buka malam).
Ada juga pedagang pikulan yang tidak boleh dilewatkan di kawasan Gang Pinggir ini, yaitu pedagang kembang tahu. Kembang tahu yang lembut ditempatkan di sebuah kaleng besar, dan di kaleng besar lainnya tersedia seduhan air jahe. Kembang tahu disendok ke dalam mangkuk, lalu disiram dengan wedang jahe dan gula cair. Satu kombinasi yang sungguh cocok untuk dessert yang merakyat.
Sebagai penutup, saya ingin berbagi masakan Ibu yang paling saya sukai. Yang pertama adalah pecel Madiun, dengan sayur yang terdiri atas kembang turi, selada air, boros kunci, jantung pisang, kecipir, dan lain-lain. Pecel Ibu memang serius, terlihat dari variasi sayuran yang dipakai. Yang kedua adalah mangut (semacam gulai) dari ikan pari yang diasap. Sekalipun Ibu telah tiada, kami masih punya Mbakyu yang telah meng-akuisisi keahlian ini dari Ibu. Artinya, Ibu masih “ada” di antara kami.
P.S Sekaligus selamat jalan bagi Mas Umar Kayam, Anton Hilman, dan Ali Sugiharjanto –semuanya meninggal dalam minggu yang sama. Ali adalah “tukang makan” yang sangat akrab dengan Sate Kapuran dan Gang Pinggir. []
Tulisan Bondan soal makanan selalu menjadi tetenger tinggi tentang bagaimana food writing itu dituliskan. Esai menyentuh ini saya ketik ulang dari buku Jalansutra, bunga rampai tulisan Bondan Winarno tentang jalan-jalan dan makan-makan yang dikumpulkan dari Suara Pembaruan Minggu dan Kompas Cyber Media. “Gang Pinggir” dapat dibaca di halaman 263-266.