Kemunculan Red Light District terkait erat dengan suburnya bisnis distribusi barang di pelabuhan. Para pelaut, yang terus merangsek bak lebah di musim semi, rupanya tak cukup terpuaskan oleh hiburan dari The Beatles. Peluang inilah yang diambil rumah-rumah bordil. Kawasan prostitusi paling kondang di St. Pauli saat ini adalah Reeperbahn. Publik menjuluki jalan ini “die sündige meile” atau kurang lebih berarti “ jalan penuh dosa”. Saya bisa menemukan barisan bar, kasino, bioskop gay, hingga klub penari.
Neon-neon mereka berpendar tiap malam untuk menggoda serangga serangga yang lapar. Seksi, liar, dan sangat berbahaya bagi mereka yang lemah iman tentunya. Tapi St. Pauli dan Reeperbahn tak melulu soal seks. Masih ada ruang untuk jiwa-jiwa yang damai. Kita bisa menemukan St. Pauli Theater yang rutin mementaskan drama musikal. Berjalan beberapa menit ke arah barat, terdapat Gereja St. Michaelis, landmark berusia ratusan tahun yang didesain bergaya Baroque. Gereja ini pernah menjadi saksi gerakan reformasi gereja yang dilancarkan kaum penganut Protestan di Jerman pada periode 1500-an. Tak heran, Martin Luther begitu dipuja hingga dibuatkan patung di depan gereja.
St. Pauli dengan segala warnanya adalah tempat yang aman bagi wisatawan. Angka kejahatan terbilang minim. Lain waktu saya melihat seorang gelandangan tua yang menuntun anjing Rottweiler berbadan tambun; anak-anak punk yang bergerombol sembari berdiskusi soal pasar bebas dan ide-ide Chomsky; serta wanita mabuk bertatanan rambut sangat buruk yang menyeret bebek karet mainan berwarna kuning menyala. Pelaut haus hiburan, musisi asal Inggris, penggemar teater, hingga anak punk yang membenci pialang saham. Semua orang punya tempat di rumah besar bernama St. Pauli.
“Coba kamu susuri kanal di Hamburg.Kamu akan jatuh cinta,” ujar Marianne Bruchert, perempuan paruh baya yang mengizinkan saya tinggal di apartemennya di bilangan Issestr. “Saya percaya kanal-kanal di Hamburg lebih indah ketimbang di Venesia” ujarnya sembari tersenyum simpul. Tangannya memegang gelas yang berisi red wine. Fortin Plaisance, Saint- Emilion tahun 1995.
Saya kini hendak membuktikan ucapannya. Marianne meminjamkan perahu berwarna merah miliknya. Perahunya lumayan besar, cukup untuk mengangkut empat penumpang. Sebelum berangkat, Marianne menyodorkan peta dan merekomendasikan rute terbaik, lalu memberikan wejangan: “Hati-hati, angin sedang keras. Kalau angin menghantam, jangan melawan, biarkan saja angin membawa perahumu. Kalau sudah tenang, baru kamu bisa mendayung lagi.”
Prediksinya akurat. Sore ini, angin berembus kencang. Saya menjejakkankaki ke perahu dan mulai mendayung. Rencananya saya akan menelusuri kanal kecil yang membelah Klosterstern dan Eppendorfer Baum, lalu ke pelabuhan wisata Streekbrucke, terus ke pelabuhan wisata Krugkoppelbrucke, hingga akhirnya mencapai Danau Ausenalster. Tapi agenda ini sepertinya sulit diwujudkan. Angin terus melabrak
perahu. Saya harus berjuang keras seorang diri mendayung perahu berkapasitas empat orang. Tak lama, stamina tubuh terkuras. Untungnya, perjalanan ini tak sepenuhnya berakhir bencana.
Pohon-pohon memayungi jalan, angsa mengapung di samping perahu, dan anak-anak di taman melambaikan tangan dengan wajah sumringah. Suasananya seperti gambar di kartu-kartu pos wisata. Saya menaruh dayung dan membiarkan angin mendorong perahu. Tak jelas sudah berapa lama saya melaju. Di tempat sedamai ini, lupa waktu adalah tindakan yang bisa dimaafkan.
Leeeeengkaaaaap kaleeeee! Suka iri sama orang yg bisa buat postingan blog ky gini T.T
Hehehe, gak boleh iri atuh, iri itu dibenci tuhan, hihihih :p aku juga iri sama kamu, bisa nulis tulisan yang bikin orang ketawa 🙂 eh, masih di italia neng?