Ich bin Nuran

Dulu waktu awal masuk kuliah, ada satu MK wajib yang terdiri dari dua bahasa dan kita harus memilih satu diantaranya: Bahasa Perancis atau Bahasa Jerman. Saya memilih Bahasa Perancis karena alasan yang sangat konyol: bahasa si Napoleon ini terdengar sangat eksotis, hehehe. Kelak terbukti saya menyesali keputusan ini. Penyesalan ini lantas mewujud pada nilai D dan harus diulang hingga beberapa kali, baru saya dapat nilai C.
Waktu itu saya mengutuk diri saya, kenapa tak memilih bahasa Jerman saja. Karena beberapa teman yang menempuh MK bahasa Jerman bilang kalau bahasa Jerman itu tak susah. Pun, sang dosen royal terhadap nilai B.
Ah, bahasa Jerman pasti menyenangkan.
***
Hari ini, 7 Juni 2011, adalah hari pertama kursus dimulai. Saya bangun jam 6 pagi dan langsung duduk di depan laptop sampai jam 8. Setelah itu ngobrol sama Marriane sampe jam 8.45. Lalu saya telpon kantor Goethe buat nanyain jadwal les, karena kemaren kelupaan gak nanya.
“Halo, saya bisa nanya jadwal kelas A.1?” kata saya pada bapak di seberang telpon.
“Ini siapa? Sudah mendaftar?” dia bertanya balik.
“Wibisono, dari Indonesia” jawab saya.
“Aha, oke, udah ada. Kelas sudah mulai jam 8.30” ujarnya santai.
Alamak. Berarti saya sudah telat 15 menit. Saya belum mandi pula.
“Jadi saya telat banget?” kata saya sok kaget, biar dikira panik.
“Ah gak papa, toh kamu masih di Hamburg kan? Buruan dateng, kami tunggu” kata si bapak di ujung telepon.
Setelah itu barulah saya buru-buru mandi dan pergi ke stasiun. Dari kosan saya ke Goethe cuma butuh waktu 10 menit saja.
Setelah ditunjukkan kelasnya, saya urung masuk. Sebabnya saya sudah telat 1 jam lebih. Saya malah makan roti yang disediain gratis sembari baca buku Norman Edwin.
Jam 10 lebih sedikit, kelas usai, dan saya menemui sang pengajar. Namanya Barbel. Iya beneran, itu namanya. Perempuan paruh baya berambut pendek yang ramah.
Ternyata kelas belum usai. Hanya sekedar rehat. Kelas baru selesai jam 1 siang. Jadilah saya harus ikut kelas hari ini, padahal rencananya bolos terus jalan-jalan.
Kelas pun dimulai. Ibu Barbel mulai menerangkan. Tapi apa yang terjadi? Dia menerangkan dalam bahasa Jerman.
Tiba-tiba saja saya seperti terkena jet lag lagi. Kepala langsung cenat cenut. Perut lapar.
Saya sama sekali tak paham apa yang diomongkan. Hanya sesekali cengengesan kalau ditanya, atau ketawa waktu yang lain ketawa. Ya tipikal pemuda negara dunia ketiga gitu lah, hahaha. Padahal yang diajarkan pun masih sangat sederhana, seperti abjad atau angka. Atau sekedar percakapan sederhana macam “siapa namamu”, “dari mana asalmu”, dll.
Teman-teman saya di kelas A.1 ada 8 orang yang berasal dari berbagai negara. Ada Mohamed dari Mesir, Yoko dari Jepang, Juan Carlos dari Meksiko, hingga Fatjoan dari Perancis. Kami semua sama-sama kelas dasar.
Kalau dari pengamatan saya, Juan Carlos dan saya yang paling cengo. Kalau Barbel berbicara bahasa Jerman degan cepat, kami cuma bisa saling memandang cengar cengir, cengengesan. Yoko juga sepertinya kesusahan. Hanya Joan yang lancar dan mengerti bahasa Jerman karena dia sudah dua bulan di Jerman. Sisanya baru dua atau tiga hari.
Jam 1 tiba-tiba terasa sangat lama.
Saya pengen ngabur ke Paris…

4 thoughts on “Ich bin Nuran

Leave a Reply

Your email address will not be published.