Indomie dan Janji Yang Belum Terpenuhi

Saya gak bermaksud menyaingi kawan saya, si Viera Ratu Boker, dengan bercerita soal Indomie. Apalagi berharap jadi bintang iklan Indomie. Saya cuma mau cerita sedikit kalau indomie pernah mengenyahkan kegalauan saya. Makanya saya bersyukur di Hamburg ada sebuah toko Asia yang menjual indomie.
Saya ingat ketika minggu kedua berada di Hamburg. Saat itu saya sedang dilanda galau. Entah kenapa. Sore itu hujan. Berangin pula. Hawa dingin makin menjadi. Tiba-tiba saya rindu masakan pedas. Bisa masakan padang, atau tempe penyet buatan Mak Ri. Masakan pedas di kala hujan itu tak pernah salah. Tapi apa daya, mana bisa saya menemukan masakan pedas di Hamburg?
Akhirnya saya menuju dapur. Membuka kulkas, mengambil satu buah indomie kuah rasa kari ayam. Sembari menjerang air, saya mengiris cabe, bawang putih, bawang merah, dan bawang bombay. Setelah air mendidih, saya masukkan mie ke dalam air. Lalu memasukkan irisan cabe, bawang putih, merah, bombay, juga telur. Selagi menunggu matang, saya menuangkan bumbu mie kuah ke dalam mangkok keramik.
Selepas 3 menit, mienya sudah matang. Begitu pula telurnya, matang dengan cantik. Saya menuangkan mie beserta kuah dan telur ke dalam mangkuk. Mengaduknya perlahan. Menaburi bubuk merica banyak-banyak biar pedas dan bikin hangat.
Lalu saya membawanya ke kamar.
Di luar, hujan makin deras tampak dari jendela besar di kamar saya. Angin kencang, mengibas-ibas pohon cemara muda di halaman belakang rumah. Setelah kuah panas menghangat, saya menyeruput pelan kuah rasa kaldu ayam itu.
Slurrppp.
Tiba-tiba saya jadi ingat Yogya. Rasa kuah yang pedas dan menghangatkan itu membawa ingatan saya ke beberapa teman di Yogya. Ada Yandri, Panjul, Cahyo, Yoga, Rusli, Prima, Islah, Rhea, dan banyak lagi. Kawan-kawan yang biasanya selalu menjamu saya ketika berada di Yogya. Kami seringkali menghancurkan makna waktu di burjo yang banyak bertebaran di pelosok Yogya. Berlama-lama sembari berceloteh tentang banyak hal. Mulai musik, film, buku, perempuan cantik, lelaki brengsek, hingga sok-sokan berfilsafat akan masa depan.
Bergosip itu tentu ditemani oleh semangkuk mie kuah atau sepiring mie goreng. Entah kenapa, di burjo selalu indomie yang dijadikan ambassador untuk produk mie. Lain tidak. Saya sering memesan mie kuah telur. Lalu menambahi sendiri merica sesuai selera.Persis seperti yang saya makan sore itu. Di Hamburg yang sedang kuyup. Matahari terseruk. Dan angin berteriak-teriak. Berisik.
Seruputan terakhir lantas membawa kembali mood saya yang melanglang ke Yogya tanpa pamit. Juga pada Rina yang padanya saya berjanji mengajaknya ke Yogya. Tapi belum sempat hingga sekarang. Suatu saat nanti, pasti.

Leave a Reply

Your email address will not be published.