Salah satu yang membuat Fakultas Sastra dicemburui banyak orang adalah karena banyak sekali dosen yang dengan santainya ngopi bareng mahasiswa di Kansas. Tanpa jarak. Karena itu, beberapa kawan dari fakultas lain sering mampir ke Kansas. Sekadar ngopi dan mendengar cerita, ilmu, atau petuah dari para dosen. Salah satu dosen yang tanpa sungkan ngopi dengan mahasiswa itu adalah Pak Ayu Sutarto.
Beliau seorang Guru Besar. Tapi toh dia santai saja. Dari jauh orang mudah mengenali Pak Ayu. Sehari-hari beliau memakai celana bahan dan batik, dan selalu mencangklong tote bag. Rambutnya sudah banyak yang berwarna perak. Tapi beliau tetap energik.
Kalau ngobrol di Kansas, apalagi dengan para kolega, wah seru. Kadang ngomongin birokrasi kampus. Kadang ngomongin pendidikan. Sering berbicara soal budaya. Maklum, Pak Ayu adalah budayawan. Beliau sangat peduli pada budaya Nusantara. Pada 2008 lelaki kelahiran Pacitan ini membuat buku Kamus Budaya dan Religi Tengger. Dua tahun kemudian beliau menulis Kamus Budaya dan Religi Using dan Kearifan Lokal Dalam Cerita Rakyat Madura. Pada 2011 bukunya yang paling terkenal terbit: Saya Orang Tengger, Saya Punya Agama. Sampai sekarang buku-buku ini tetap dijadikan rujukan utama bagi mereka yang mau meneliti Suku Using maupun Tengger.
Pak Ayu adalah dosen yang langka. Apalagi di kampus Unej. Sebagai guru besar, beliau cenderung menghindari jabatan. Saya pernah menanyakan alasannya. Dengan santai beliau memberikan jawaban, yang sebenarnya sudah bisa diduga oleh banyak orang.
“Nanti malah gak sempet ngajar dan nulis buku,” katanya.
Pak Ayu memang masih aktif mengajar. Bahkan beliau sama sekali tak gengsi mengajar mata kuliah dasar seperti Introduction to Literature atau Writing 01. Biasanya, ini biasanya lho, para guru besar di Indonesia sedikit gengsi mengajar mata kuliah dasar. Mungkin dianggap tidak sesuai dengan stratanya. Tapi tak demikian dengan Pak Ayu. Beliau santai-santai saja tuh.
Tidak hanya soal apatisme terhadap politik kampus ataupun kemauan mengajar kelas dasar. Beliau juga menjadi dosen yang langka karena sangat produktif membuat karya tulis dan juga buku.
Sebagai dosen yang kerap diundang jadi pembicara di mana-mana, bukunya teramat banyak. Dari biografi yang tercantum di situs resmi Fakultas Sastra, setidaknya ada 17 buku yang sudah beliau tulis dalam kurun 1985-2010. Itu belum terhitung paper yang dibuatnya.
Dosen seperti Pak Ayu sangat jarang ditemui, dosen yang benar-benar mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Beliau mengajar dan mendidik, melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat.
Poin yang terakhir ini dibuktikan dengan mendirikan yayasan Untukmu Si Kecil. Dari tulisan Hari Setiawan di Radar Jember, saya tahu kalau Si Kecil ini adalah para orang kecil, orang bermasa depan kecil, berpenghasilan kecil, berpengharapan kecil, dan berezeki kecil. Yayasan ini dibiayai dari 2,5 persen pendapatan Pak Ayu.
Saya susah mendeskripsikan dengan lengkap seperti apa sekolah ini. Ada museum permainan tradisional. Di tempat ini, kamu bisa menemukan berbagai macam permainan tradisional yang nyaris ditinggalkan. Ada egrang, hulahop, dakon, hingga bitingan.
Yayasan ini juga menjadi tempat belajar bagi anak-anak di sekitar rumah Pak Ayu, tak jauh dari bantaran Sungai Bedadung, yang rata-rata berasal dari keluarga kurang mampu. Para pengajarnya adalah sukarelawan yang datang dari berbagai kalangan. Ada guru, dosen, dan para mahasiswa. Di sana juga ada perpustakaan yang koleksi bukunya cukup banyak, terutama buku kebudayaan. Perpustakaan ini kerap dijadikan jujugan bagi para peneliti budaya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Karena itu saya pikir wajar kalau ada banyak sekali orang yang berutang budi pada Pak Ayu. Saya salah satunya. Sebagai pengajar, beliau adalah Dosen Wali saya. Di luar obrolan Kansas, kami kerap ngobrol panjang ketika tanda tangan KRS. Dan hampir setiap 6 bulan itu pula saya malu karena IPK saya tak pernah bagus. Bahkan hingga saya lulus, saya tak pernah dapat indeks prestasi 3. Indeks kumulatif pun demikian. Tapi toh beliau tak pernah kecewa, apalagi marah, melihat capaian akademis saya.
“Santai aja. Seringkali nilai itu gak penting kok, yang penting kamu bagus di bidang lain,” kata Pak Ayu dulu kala. Saya cuma meringis. Antara dapat motivasi, tapi sekaligus malu.
Saat saya memutuskan melanjutkan studi, Pak Ayu yang memberikan surat rekomendasi. Saya ingat sewaktu datang ke rumahnya, sembari membawa berkas sekaligus buah tangan dari Jerman. Beliau tampak senang melihat saya melanjutkan studi. Mungkin pikirnya, gak papa bodoh yang penting mau belajar. Hihihi. Lalu kami ngobrol lumayan lama. Soal Unej. Soal kampus dan jurusan yang akan saya tuju. Juga pengalaman saya selama di luar negeri.
Saya lantas pindah ke Jogja. Pak Ayu masih tetap sibuk mengajar, mengisi seminar, dan tentu saja mengayomi anak ideologisnya: Yayasan Untukmu Si Kecil. Kami tak pernah bertemu. Tapi masih saling sapa via Facebook. Kadang bercakap melalui Facebook Messenger.
Tangan dingin Pak Ayu juga melahirkan para dosen-dosen muda dengan kapasitas keilmuan yang luas. Selain itu, kebanyakan dari mereka juga mewarisi sikap yang diajarkan Pak Ayu: merobohkan tembok tebal nang angkuh antara dosen dan mahasiswa. Dua di antara murid Pak Ayu adalah Pak Ikwan Setiawan dan Bu Hat Pujiati. Mereka berdua juga dekat dengan para mahasiswa. Saya pikir, salah satu jasa terbesar Pak Ayu adalah keberhasilan mendidik para penerus yang akan memegang tongkat estafet darinya.
Dari Pak Ikwan pula kemudian saya tahu kalau Pak Ayu terkena serangan stroke sekira dua bulan lalu. Saya yakin ada banyak orang yang kaget dengan kabar itu. Doa-doa dipanjatkan. Banyak sekali orang yang menanyakan kabar via Facebook. Tak sedikit orang yang bercerita dan mengenang kembali jasa Pak Ayu.
Dan tadi bagi kabar lelayu itu datang. Pak Ayu, guru, orang tua, kakak, dan pengayom yang dicintai banyak orang itu berpulang menghadap sang pencipta. Banyak orang kaget, sedih, dan mungkin menangis. Tapi saya yakin, Pak Ayu meninggal dengan tenang. Beliau sudah menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Memberi manfaat bagi banyak sekali orang. Bukankah hidup terbaik adalah hidup yang memberi manfaat bagi orang lain? Pak Ayu juga bisa tenang karena sudah mendidik para pengajar yang bisa meneruskan langkahnya. Insyaallah ilmu yang beliau ajarkan, akan terus menjadi pahala yang tak putus mengalir.
Selamat jalan menuju keabadian, Pak Ayu. Kelak semoga kita bisa berjumpa lagi. Di meja warung yang lain, dengan bercangkir-cangkir kopi yang lain, dan obrolan yang sama hangat. []
turut berdukacita, mas. smoga banyak tumbuh pengganti beliau yg mewarisi sifat2 baiknya..
dan, melihat paragraf 2, kalo ndak salah, profesor itu adalah gelar untuk guru besar. demikian
Oh iya ya mas. Saya salah berarti. Keinget sama doktor tak harus jadi guru besar. Siap, aku ganti dulu mas. Makasih ralatnya Pak Calon Doktor 😀