Saya memesan lele bakar untuk makan siang tadi. Setelah menunggu servis motor rampung dalam hitungan 73 menit, perpaduan empuknya daging lele dengan aroma asap dan manis gurih kecap olesan rasanya akan memuaskan perut. Sekitar 15 menit menunggu, lele terhidang. Dilengkapi secawan sambal mentah berbalur minyak.
Di khazanah badokan, lele sebenarnya menempati posisi bawah dalam klasemen ikan konsumsi terenak dari Nusantara. Jelas tersikut oleh kakap. Kalah telak oleh tuna, kena tungkak oleh kerapu, dan tersungkur dihadapan ikan pe. Di dunia ikan air tawar pun, ia jelas kalah sedap dibanding gurami.
Seorang kawan asal Bugis pernah mencandai saya yang gemar menyantap ikan lele. Apalah ikan lele itu, gak layak disebut sebagai ikan konsumsi, ujarnya. Ia lantas dengan nada menggemaskan bilang betapa aduhainya menyikat daging lembut kakap dan kerapu yang baru diangkat dari laut. Kawan itu tak sadar, sebagai lelaki yang tinggal jauh dari laut, ikan lele adalah sebuah rasa paripurna bagi saya.
Terlepas dari mitos tentang cara pemeliharaannya, lele adalah tipe ikan kesukaan saya: pas untuk dikonsumsi satu orang, punya rasa gurih dan manis alami, dan bisa digoreng garing tanpa membuatnya jadi pahit atau berubah tekstur. Yang penting lagi: harganya murah. Yah walau kalau salah olah, ikan lele bisa bau tanah.
Pilihan terbaik tentu adalah lele dengan ukuran sedang. Lele, sama seperti ikan manapun, rasa dagingnya akan hambar jika ukurannya terlalu besar. Makanya saya tidak suka ikan lele dumbo. Kalau kamu tengok di penjual lalapan lele (di Jakarta disebut pecel), ukurannya pasti sedang belaka. Bahkan di Depot Pojok Stasiun Gubeng, Surabaya, satu porsi lele penyet berisi dua ekor lele ukuran kecil. Digoreng kering, hingga bisa memunculkan suara kriuk yang merdu. Dipenyet bersama sambal tomat segar dan dipungkasi dengan perasan jeruk limau.
Meski lele jadi klan medioker di jagat kuliner, tapi di kelok Sungai Amazon ia bisa jadi raja. Lele, kenang Antonio Jose Bolivar dari percakapannya bersama para Indian Shuar, adalah ikan yang lebih berbahaya ketimbang piranha. Tentu bukan sembarang lele, melainkan lele raksasa. Pada suatu siang yang gerah, dengan badan lengket karena keringat selepas berburu, Antonio Jose Bolivar melihat sungai dan dengan segera ingin menceburkan diri. Seorang Indian Shuar mencegahnya.
“Piranha?”
Bukan. Di Sungai Amazon, piranha adalah kekhawatiran nomor sekian. Mereka hanya ganas saat lapar dan mengendus bau darah. Apalagi bagi para manusia penghuni Amazon, mereka punya cara ampuh mengusir piranha: melumuri badan dengan getah karet. Awalnya akan terasa panas dan menyiksa, tapi akan hilang saat kau mencebur ke air. Bau karet yang tajam itu akan mengusir piranha.
Maka, siang itu, yang ditakutkan oleh orang Indian Shuar dan kelak akan terus dikenang oleh Antonio Jose Bolivar adalah: lele raksasa. Mereka tak mengerikan, malahan amat ramah dan jinak. Kalau ada manusia mencebur ke air, ia akan girang dan mengajaknya bermain. Sama seperti anjing yang bersemangat saat tuannya bersiap melempar bola. Sayang, sabetan ekor lele raksasa itu amat keras sehingga bisa meremukkan tulang manusia.
Antonio Jose Bolivar kerap dipanggil Pak Tua. Sejak lahir ia tinggal di San Luis, desa dekat gunung berapi Imbabura. Di usia 13 ia bertunangan dengan Dolores Encarnacion del Santisimo Sacramento Estupiman Oravalo, dan dua tahun kemudian mereka menikah. Selepas gosip liar nan kejam soal rahim, mereka memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi ke Amazon.
Mendapat dua hektar tanah penuh semak dan onak, mereka berusaha sekeras mungkin menggarapnya. Belantara Amazon bukan tempat yang ramah. Di gelombang imigrasi pertama, banyak yang berguguran. Ada yang gara-gara keracunan. Ada yang ditelan ular boa. Ada pula yang kena malaria dan mangkat, seperti Dolores Encarnacion del Santisimo Sacramento Estupiman Oravalo. Ia tak bertahan sampai tahun kedua.
Orang Shuar jatuh iba pada para pendatang ini. Antonio Jose Bolivar yang sudah merasa tak punya apa-apa lagi setelah istrinya tiada, memutuskan meninggalkan ladang dan masuk ke dalam hutan sebagai bagian orang Shuar. Belajar bahasa mereka. Menyerap ilmu berburu dan mencari jejak dari manusia-manusia tangguh itu. Termasuk bagaimana melumpuhkan buruan dengan sumpit beracun. Kebenciannya pada belantara Amazon yang telah merenggut istrinya dan memberi penderitaan tak terperi, perlahan sirna seiring ia makin mengenal seluk beluk rimba.
Suku Shuar menyambutnya dengan tangan terbuka. Mereka sering bercanda, “berbagi makan, rokok lintingan sendiri, dan mengobrol sampai berjam-jam, meludah banyak-banyak di seputar tungku susun tiga mereka yang terus menyala.
Satu percakapan mereka mirip dengan percakapan tentang ikan lele antara saya dan kawan Bugis itu. Juga mengingatkan saya bahwa hidup kerap menjadi komedi belaka.
“Monyet-monyet kalian juga pakai poncho?”
“Tak ada monyet di gunung. Babi-rusa juga tak ada. Orang gunung tidak berburu.”
“Lalu, mereka makan apa?”
“Apa saja. Kentang, jagung. Kadang babi biasa atau ayam, di hari pesta. Atau marmot di hari pasar.”
“Dan apa yang mereka perbuat kalau tidak berburu?”
“Kerja. Dari matahari terbit sampai terbenam.”
“Goblok sekali! Goblok sekali!” seru orang-orang Shuar itu.
Setelah masa perpelocoan dari dewa yang melibatkan ular equis dan masuknya peradaban yang membawa penambang emas serta petualang-petualang nyebahi dan sok jago yang membuat mereka berakhir naas, Antonio Jose Bolivar keluar dari rimba dan hidup permanen di El Edilio.
Antonio bisa membaca. Semakin tua, ia semakin haus akan bacaan. Favoritnya adalah kisah cinta mendayu dan penuh penderitaan dan berakhir dengan manis. Formula yang berpuluh tahun kemudian dicontek oleh opera sabun. Ia betah di El Edilio, dan berharap hidup yang damai di sana.
Tapi seorang gringo bodoh yang sudah nyaris busuk membawa tragedi. Alam, melalui seekor macan kumbang betina, mulai menghukum manusia yang semena-mena. Setidaknya tiga orang tewas, akan ada yang lain. Dan semua orang di El Edilio tahu, hanya Pak Tua yang bisa menyelamatkan seisi desa kecil itu.
Tak sampai setengah hari, saya rampung membaca Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta. Ia memang tipis, 121 halaman. Tapi kisahnya padat, pula mengesankan. Kisah petualangan di Amazon dan rimba memang selalu berhasil memukau saya. Mulai The Lost City of Z-nya David Grann hingga Harimau! Harimau!-nya Mochtar Lubis.
Kebetulan pula judul terakhir itu segendang sepenarian dengan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta: tentang manusia yang melawan karnivora. Di buku Harimau!, karnivoranya adalah harimau, sedang di Pak Tua, macan kumbang adalah ‘antagonis’. Tanda petik ini penting karena sebenarnya antagonisnya adalah manusia. Dalam Harimau! maupun Pak Tua, harimau dan macan kumbang adalah simbol alam yang murka karena ulah manusia. Ia juga serupa tulah yang hadir karena kebejatan manusia. Kalau tulah itu sudah muncul, manusia seringkali tak bisa berbuat apa-apa.
Pak Tua juga berisi dialog-dialog lucu penuh sumpah serapah, adegan detektif yang bikin kita manggut-manggut, dan tentu saja karakter menyebalkan. Bagian akhirnya cukup membuat nafas terhenti beberapa detik. Sebelumnya akhirnya rasa trenyuh menjalar, sama seperti yang dirasakan oleh Antonio Jose Bolivar.
Saya membawa buku karangan Luis Sepulveda yang diterbitkan oleh Marjin Kiri ini saat berangkat ke bengkel. Selama 73 menit, sudah 3/4 isi buku terlahap. Diselingi dengan menggunjing melalui grup WhatsApp, membaca dengan miris berita tentang pengepungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan sesekali ngobrol dengan montir.
Saya merampungkan buku asyik ini bersamaan dengan momen lele bakar yang sudah tersisa bagian paling enak: ekor. Saya memisahkan sisa daging belakang itu dari tulangnya, dan mencocolkan ke sambal yang juga tinggal minyak cabai. Sebelum masuk ke mulut, saya merasa beruntung karena ini bukan lele raksasa yang ekornya bisa merontokkan tulang belakang dengan sekali sapu. []
Buku yang sudah pernah difilmkan ini bisa dibeli di sini, dan kalau kamu ingin lebih masyuk mendalami keajaiban sastra Amerika Latin, Marjin Kiri sedang menjual paket yang menarik.