Saya berdiri di depan papan jadwal kereta dengan tatapan nanar. Kereta menuju Paris masih sekitar 7-8 jam lagi. Dengan perasaan kesal saya bergegas keluar dari stasiun, mencari pusat informasi untuk menanyakan jadwal kereta ke Paris. Saya lantas menemukan dua orang petugas yang sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Dengan bahasa tarzan, maka komunikasi pun terjalin. Dan benar, kereta menuju Paris baru ada sekitar 7 jam lagi.
Akhirnya saya memutuskan untuk berkeliling Torino. Kemana? Entahlah. Karena perjalanan di kota ini benar-benar kecelakaan, tak ada dalam rencana. Berdasar insting, saya menuju arah utara. Dengan menggendong backpack ukuran 75 liter, saya berjalan terseok.
Torino rupanya kota tua yang cantik. Banyak bangunan dengan ragam jenis arstitektur, mulai baroque, rococo, neo-classical, sampai art nouveau yang membuat mata jadi manja. Di persimpangan jalan, saya melihat banyak pengendara skuter, baik skuter klasik maupun skuter modern. Lalu di pojokan kios koran, orang-orang Italia yang terkenal ekspresif mengobrol. Aduh, saya suka sekali aksen mereka yang seksi dengan intonasi yang naik turun dan ekspresif.
Saya tak tahu berapa lama berjalan mengikuti insting, tiba-tiba saja saya sampai di ruas jalan yang sangat lapang. Daerah lapang dengan lantai dari batu itu tepat terletak di tengah persimpangan 4 jalan. Karena itu daerah ini sangat ramai. Saya tak tahu apa nama daerah itu sampai saya googling beberapa hari kemudian.
Nama daerah itu Piazza Castello. Di daerah pusat kota ini terdapat banyak bangunan klasik nan megah. Sebut saja Palazzo Reale alias The Royal Palace yang jadi salah satu bangunan yang masuk dalam daftar UNESCO World Heritage Site. Nah, dihalaman istana itu lah saya menghabiskan sekitar 1-2 jam. Hanya untuk duduk menikmati hawa Turin yang saat itu sedang dingin karena mendung. Melihat anak-anak bermain di halaman istana yang luas dan sudah menjadi public area. Atau melihat merpati yang memamah biji-bijian dengan santai, tak takut pada orang yang melintas.
Stasiun Teramai Kedua di Turin |
Salah Satu Ruas Jalan |
Bahkan Langit-langit Pun Berukiran |
Setelah puas menikmati Piazza Castello, saya beranjak lagi. Kembali mengikuti insting. Dan insting itu menuntun saya pada tempat yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya menelusuri lorong-lorong kecil yang banyak berisi kafe serta bar. Melihat lantai yang terbuat dari batu, saya seperti terlempar ke masa lalu. Dan lantai jalanan dari batu ini adalah saksi bisu yang dingin.
Saya masih terus berjalan ketika tiba-tiba saya berhenti. Saya sampai di ujung jalan yang panjang. Panjang sekali. Sampai ujung jalan satunya tak terlihat. Saya terbengong. Saya berada dimana? Di kanan kiri ada banyak toko baju, toko olahraga, pizzeria, kafe, bar, juga toko musik. Orang lalu lalang dengan tergesa, entah mau kemana. Ada juga beberapa kelompok orang yang ngopi di pinggir jalan, menikmati matahari yang baru saja menyembul. Saya terpatung, berdiri tepat di perempatan jalan yang ramai itu. Takjub.
Rasa penasaran saya terobati. Ternyata ruas panjang itu bernama Via Garibaldi. Konon ruas jalan ini adalah jalur pedestrian terpanjang di Eropa. Seperti jalannya yang panjang, sejarah jalan ini juga panjang. Ruas jalan ini dibangun pada tahun 1775 oleh arsitek bernama Gian Giancomo Plantery. Dulu ruas jalan ini bernama Via Dora Grossa. Baru pada tahun 1978 ruas ini dijadikan area pedestrian yang panjangnya mencapai 1.046 meter. Penyair De Amicis pernah melukiskan gambaran yang indah tentang ruas jalan ini,
As one walks along via Dora Grossa from Piazza Castello in fine weather,
one’s gaze is drawn to the white curtain of the Alps
which borders the street on the west and not to the sequence of facades
which cut out a long rectangle of sky between the two rows of uniform houses.
Tak terasa matahari semakin naik. Gegana menerang. Saya kelaparan. Tak susah untuk mencari makanan murah disini. Meski terkenal sebagai pusat belanja para Turinese, banyak kafe yang menawarkan paket makanan murah meriah. Mumpung di Italia, tak afdol rasanya kalau gak makan pizza atau pasta.
Akhirnya sembari berjalan kaki, saya mencari-cari pizzeria yang menarik. Aha, ketemu! Ada sebuah pizzeria mungil dengan papan nama berwarna hijau tua bertuliskan “Da Genova La Focacceria Pizza Al Taglio”. Ada paket seharga 6 euro yang isinya seiris pizza, kentang goreng, dan juga segelas coke. Saya pun memesan dan menunggu pesanan di luar, sembari menyaksikan arus pejalan kaki yang deras.
Pizza di pizzeria ini ditaruh dalam loyang berbentuk persegi, dan dipanggang dalam oven. Lalu pizza akan diiris persegi panjang, dan disajikan di sebuah piring kertas. Sederhana. Ada banyak pilihan pizza. Mulai pizza bertopping plain keju mozzarella, lalu ada topping buah zaitun dan daun basil, hingga pizza salami pilihan saya.
Pizza salami kadang disebut juga dengan pizza capricciosa. Pizza ini toppingnya terdiri dari keju mozzarella, tomat, jamur, salami, dan juga olive oil. Ada juga taburan daun basil kering.
Setelah dihangatkan, saya membawa pizza itu ke meja makan di depan pizzeria. Pas di pinggir arus pejalan kaki yang deras di Via Garibaldi. Jadi saya bisa menikmati Turin dari dekat dan intim. Juga melihat betapa ekspresifnya orang Italia jika berbicara.
Pizza ini sungguh begitu enak. Dough-nya tipis, tak tebal seperti dough ala American pizza. Beberapa bagian yang over-cooked malah memberikan aksen renyah yang unik. Lalu olive oil memberi aksen basah dan lengket yang menyenangkan. Keju mozzarella yang leleh begitu lumer di lidah dan dinding tenggorokan. Rasa asinnya begitu pas. Daging salaminya juga renyah dan gurih. Superb! Walau sebenarnya saya agak ragu apakah daging ini halal atau tidak, hahaha.
Saya lalu percaya satu hal. Carilah pizzeria manapun di Italia. Pizza yang mereka jual pasti sama enaknya. Tak ada pizza tak enak di Italia. Saya telah membuktikannya siang itu. Oh ya, tulisan saya tentang pizza Italia ini bisa dibaca disini.
Pizzeria Itu |
Via Garibaldi |
Tak terasa, beberapa jam sudah berlalu. Saya kembali berjalan kembali menuju Torino Porta Susa. Hari kembali mendung. Menebar aroma galau. Saya galau karena dua hal. Yang pertama adalah ketinggalan kereta menuju Paris dan menghabiskan waktu saya untuk menunggu. Yang kedua adalah galau karena ternyata Torino sangat indah dan waktu 7 jam itu berlalu begitu cepat. Tapi ya sudahlah, mungkin lain kali saya bisa kesini lagi. Saya ingin belajar memasak makanan Italia, untuk bekal mendirikan restoran Italia di Jember, hehehe.
Saya cepat melangkahkan kaki sebelum hujan turun. Secepatnya saya turun ke ruangan bawah tanah, menanti kereta di jalur 3. Ketika berjalan, saya mendapati dua orang perempuan berkerudung yang membawa banyak koper berukuran besar. Saya pikir mereka dua orang Melayu yang entah mau pergi kemana. Tapi saya memutuskan untuk menunda rasa penasaran dan keramahan saya, melalui mereka, mencari tempat duduk yang kosong, lantas larut membaca.
Tak berapa lama kemudian, salah seorang dari mereka menghampiri saya sembari menyeret koper besar berwarna merahnya.
“Excuse me, can you speak English” tanyanya.
“Ibu orang Indonesia?” saya malah balik bertanya.
“Lhooo, mas orang Indonesia? Syukur deeehhh!” teriak ibu itu girang.
Tuhan telah membuka bab perjalanan yang baru untuk saya. Dan dua orang ibu-ibu paruh baya berkebangsaan Indonesia ini akan menjadi teman perjalanan baru saya nantinya…