Waktu SMA, aku punya sahabat perempuan. Namanya Ayu Luhing, tapi kami kawan-kawannya biasa memanggilnya Lulung.
Aku dan Lulung kenal sejak kami berdua masuk kelas yang sama, 1.2. Ada beberapa hal yang bikin kami nyambung dan akhirnya jadi kawan akrab. Kami suka guyon slapstick, kadang sedikit mesum, dan Lulung relatif santai serta bisa membaur di antara teman laki-lakinya.
Suatu hari aku main ke rumah Lulung untuk kali pertama. Rumahnya bergaya jengki, letaknya sepelemparan batu saja dari SD Kepatihan I. Ini rumah keluarga besarnya. Di sana, Lulung tinggal bareng kakak lelakinya, Bayu, dan neneknya. Ayah ibu Lulung merantau di Kalimantan.
Satu lagi yang kemudian membuat kami akrab. Musik.
Lulung dan Mas Bayu suka musik. Mas Bayu punya dua gitar: satu gitar akustik, dan satu gitar elektrik.
Gitar akustik mereka mereknya Yamaha, warna hitam. Saat itu, aku yang biasanya cuma main gitar KW, terperangah mendengar bunyi criiing dari gitar Yamaha itu. Saat itu, gitar milik Mas Bayu jadi yang paling enak di kuping. Dasar gitar mahal, memainkannya pun enak. Empuk. Tak bikin jari lekas memerah dan meninggalkan bekas menggaris.
Aku sempat berpikir Mas Bayu adalah gitaris suka-suka. Artinya tak jago-jago amat. Cuma genjrang-genjreng di waktu luang. Di mataku, Mas Bayu tampak seperti nerd biasa. Tak banyak omong, agak malas bersosialisasi, dan lebih senang mengurung diri di kamar yang ada komputer, seperangkat sound, ampli, dan gitar listrik yang digantung di tembok.
Oh, betapa anggapan saya salah besar.
Suatu sore Mas Bayu memainkan lagu rock. Suaranya terdengar hingga depan rumah. Aku tak tahu itu musik siapa.
“Itu band favoritnya Mas Bayu. Dream Theater,” kata Lulung.
Musik apaan ini. Njlimet. Vokalisnya harus menunggu lama hanya untuk membuka mulut. Lalu semua sibuk unjuk skill. Bikin pusing.
Ketika aku mau mengambil air minum di dapur, dari sisi pintu yang terbuka, aku bisa melihat jelas Mas Bayu duduk di kursinya, memangku gitarnya –aku benar-benar lupa merek dan warnanya. Dia mengulik lagu. Dari Lulung aku tahu lagu itu judulnya “Metropolis”.
Di atas fret, jemari Mas Bayu berpindah seperti kilat. Saya bengong. Ini toh yang namanya shredding. Aku baru usia 14, dan tak pernah melihat gitaris ngebut di depan mataku secara langsung.
Belakangan aku baru tahu kalau Mas Bayu dan bandnya sering ikut festival musik. Dan ia kerap dapat penghargaan The Best Guitarist. Seorang kakak kelas kami yang agak belagu karena bisa main gitar lebih jago ketimbang kawan-kawan seangkatannya, pernah menemui Lulung ketika kami lagi di kantin.
“Kamu adiknya Bayu, toh. Masmu itu jago banget. Salamin, yo!”
Saat itu aku memang yakin bahwa Mas Bayu memang jago hingga kemampuannya lintas sekolah.
Beda dengan Mas Bayu yang mengidolakan John Petrucci, Lulung menggilai John Myung. Selain jago main bass, Myung, menurut Lulung, adalah epitome pria keren. Lulung mungkin merasa pria kalem dan tak banyak omong cocok untuk dirinya yang ceriwis dan banyak tingkah.
“Dia cool banget bro, gak banyak gaya. Gak pernah atraksi, tapi keren pol!” pujinya.
Biasanya aku langsung mengadu Myung dengan bassist favoritku: Duff McKagan. Dan biasanya perdebatan kami akan panjang, sampai Nova, kakak angkatan tak naik kelas yang akhirnya sekelas di 1.2 dan kelak mau-maunya ngeband bareng kami, memberi hak vetonya.
“Tetep Duff yang paling keren,” kata Nova yang sering menulis namanya sebagai Nova McKagan.
Setelah itu Lulung akan ngomel. Tak terima. Aku dan Nova cuma bisa ngekek, ogah ambil pusing.
Aku merasakan apa yang dibilang Lulung itu 19 tahun kemudian.
Setelah nyaris dua dekade, ada banyak yang berubah dari hidup kami. Lulung “menghilang”, dalam artian lost contact sejak kami lulus SMA. Kami sempat bertemu lagi via Facebook. Saling bertukar kabar, dan ternyata dia sudah menikah, punya satu anak, dan tinggal di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Tapi setelah itu tak ada obrolan lagi. Dia tak lagi aktif main medsos, dan aku kehilangan jejaknya.
Kenangan soal Lulung dan Mas Bayu ikut mengiringi ketika aku akhirnya perdana menonton Dream Theater di Stadion Manahan, Solo. Ini tugas dari kantor, dan kebetulan aku serta empat wartawan lain dapat akses untuk memotret band yang dibentuk di Boston ini di depan panggung.
“15 menit saja. Setelah itu harus balik ke tenda wartawan, ya,” kata Mas Chandra, yang jadi koordinator wartawan, sembari menempel stiker khusus di ID kami.
Di jadwal, konser dimulai pukul delapan malam. Sama seperti musiknya yang seperti ilmu pasti, nyaris tak ada ruang buat kesalahan dan improvisasi berlebih, begitu pula jadwal mereka. Presisi.
Petrucci naik panggung duluan. Jenggotnya berkibar, macam Merlin versi jenggot warna hitam. Lalu diikuti Mangini, Rudess, dan Myung. Setelah mereka main beberapa menit, baru LaBrie sang vokalis naik dengan menenteng mikrofon dan tiang mik dengan ornamen tengkorak.
Saya memilih ke sebelah kiri panggung. Itu posko milik Myung. Benar seperti kata Lulung, Myung tak banyak bergerak. Dia seperti punya dunia sendiri yang tak bisa dimasuki oleh orang lain, bahkan kawan satu bandnya.
Ia banyak merunduk. Membiarkan rambut panjang lurusnya tergerai menutupi wajah. Perhatian hanya dipusatkan ke bass enam senarnya. Lain tidak. Sepanjang aku memperhatikannya, Myung bahkan tak menatap penonton. Seolah tak peduli ada 10 ribu pasang mata yang menyaksikannya.
Kadang-kadang ia pergi ke tengah panggung. Bertemu dengan Petrucci, lalu ngobrol via alat musik masing-masing. Selebihnya, ya balik ke posisinya.
Tepukan di bahu kanan bikin saya keluar dari lamunan.
“Sudah 15 menit,” kata salah satu petugas media. “Ayo mundur, Mas.”
Aku mengangguk, melihat Myung sekali lagi, berjanji akan mencari kontak Lulung, lalu mengabarinya bahwa aku sudah menonton idolanya, dan setuju dengan perkatannya pada 2003 silam, bahwa Myung memang cool dan keren.
Tapi tentu saja, Duff McKagan lebih keren.