Malam masih muda saat saya datang ke martabak Malabar. Orang Jember, nyaris sebagian besar, pasti tahu martabak yang terletak di Jalan Trunojoyo, atau lebih dikenal dengan sebutan Semar ini.
Warung martabak Malabar ini termasuk salah satu warung tua di Jember yang masih bertahan hingga sekarang. Usaha ini dimulai dari 1936, saat Habib Ahmad, imigran asal Pakistan, datang ke Jember dan memulai usaha ini di warung kecil di seputaran jalan yang sekarang dikenal sebagai daerah Jompo.
Saya pernah meliput martabak Malabar untuk majalah Tegalboto edisi Poskuliner, tahun 2009. Saat itulah saya berkenalan dengan Firman, pemegang tampuk imperium generasi keempat. Ternyata setelah sekian lama tak berkunjung ke warungnya, ia masih ingat saya.
“Kape nggawe majalah maneh ta mas?” tanyanya sembari tersenyum saat saya sedang takzim memotret ia yang menggoreng martabak.
Saya tertawa, sembari bilang bahwa ini buat dokumentasi saja.
Malam itu saya datang bareng Orin. Memesan martabak istimewa yang dibanderol 25 ribu rupiah. Harga paling mahal martabak ini cuma 30 ribu rupiah, untuk martabak super.
Aroma rempah khas India menyeruak memenuhi udara saat Firman mengaduk campuran telur, rajangan bawang daun, bumbu martabak, dan olahan daging sapi.
Martabak Malabar menarik karena cara pembuatan yang berbeda. Kalau di banyak martabak, caranya adalah membuat adonan berbentuk bulat, lalu menaruh isi di dalam adonan. Kemudian adonan itu dilipat hingga berbentuk amplop.
Malabar berbeda. Adonannya sama. Namun tuangan isinya meluber, tak menyisakan ruang untuk dilipat. Hasilnya, kulit martabak yang biasanya liat itu, tertutupi oleh lembut gurih rasa telur.
Selain itu yang menarik tentu bumbu-bumbu yang dipakai. Ada kapulaga. Jintan. Dan aneka macam bumbu khas masakan India, yang tak pernah disebut oleh Firman. “Rahasia perusahaan,” katanya sembari terkekeh.
Saya punya banyak kenangan dengan martabak Malabar ini. Sewaktu saya masih SD, almarhum ayah sering mengajak makan di warung ini. Dulu tukang masaknya adalah Ainul Yakin, kakek mas Firman. Beliau biasa dipanggil Abah.
Dulu, seingat saya, hanya ada tiga orang yang menjalankan usaha ini. Abah; sang anak perempuan Rug’ayah (ibunda Firman); dan satu orang lelaki paruh baya yang bertugas membuatkan minum.
Saya selalu suka melihat abah memasak. Lelaki keturunan Pakistan itu punya air muka yang meneduhkan. Meski jarang senyum, tetap saja auranya semacam beringin. Adem. Yang biasa mencatat pesanan adalah Rug’ayah. Cara ia meminta pesanan ke abah pun sangat sopan.
“Abah, tolong buatkan martabak spesial satu porsi ya, dan martabak biasa dua porsi.” Abah kemudian tanpa isyarat, tanpa pertanda, langsung membuat pesanan.
Saya selalu tersenyum dan kemudian cerita mengenai cara mesan yang unik itu ke ayah. Saya merasa beruntung bisa mengalami martabak Malabar era Abah. Lengkap dengan suasana yang hangat.
Kenangan saya pada martabak ini sudah berusia lama, lintas generasi. Pasalnya, Mbah Co dan Mbah Ti (kakek nenek dari pihak ayah) kenal dengan Abah sejak berusia muda.
“Duh putune Karnati karo Warso, cek persise raine karo Karnati,” kata abah suatu ketika pada saya. Karnati adalah nama lengkap Mbah Ti, sedangkan Warso yang dimaksud adalah Yamin Soewarso, kakek saya. Saya memanggil beliau dengan sebutan Mbah Co.
Saya lupa kapan Abah meninggal. Yang saya ingat, ayah mengabarkan kabar gelebah itu dengan masygul. Seakan saudara sendiri yang meninggal.
Tapi setidaknya Abah sudah mendidik cucunya sendiri sebagai penerus yang bisa diandalkan. Firman mewarisi kecekatan yang sama dari Abah. Ia yang menghabiskan beberapa tahun jadi martabak apprentice dari sang kakek, sudah paham betul langkah yang harus ia lakukan.
Mulai dari takaran bumbu, hingga menggunakan sutil besi untul memotong martabak di atas penggorengan berbentuk bundar. Rasa martabak malabar generasi keempat ini juga tak berubah.
Oh ya, sekedar informasi dan rekomendasi, martabak Malabar ini cocok sekali dicocol dengan bumbu sate. Silahkan pesan saja satu porsi bumbu sate, yang cuma dibanderol 2500 rupiah saja.
Sekitar 20 menit menunggu, akhirnya pesanan tiba. Saat mau pulang, lelaki berusia baya yang bertugas membuatkan minum mencegat saya.
“Anake Akbar yo?” katanya sembari menjabat tangan saya.
Saya tersenyum senang, mengangguk. Sepertinya ia takjub melihat saya tumbuh besar. Terutama bagian perutnya. Hehehe. Saya dulu sering kesana waktu SD. Time flies, memang.
Perasaan-perasaan senang karena ada kenangan dalam makanan itulah yang membuat saya selalu menyempatkan diri ke warung-warung langganan ayah dan saya, terutama di Jember. Selain martabak Malabar, warung langganan ayah sejak dulu adalah nasi pecel Bu Darum.
Ayah bahkan menghabiskan masa kecilnya dengan bermain petak umpet di dapur. Juga dengan iseng mencuil adonan bumbu pecel yang baru matang.
“Dulu kalau ayah sakit, obatnya ya nasi pecel Bu Darum dan teh panas. Terus tidur selimutan. Pasti sembuh,” kata ayah dulu.
Sekarang, setiap saya pulang ke Jember, Bu Darum adalah salah satu warung yang tak pernah absen saya kunjungi. Warung yang terletak di ruas jalan Gajah Mada ini sekarang dipegang oleh sang cucu.
Kenangan terhadap rasa masakan dan suasana sebuah rumah makan, apalagi jika dialami dalam waktu yang panjang dan sinambung, pasti akan menanamkan kesadaran tertentu. Tentang rasa rindu pada seseorang, atau sebuah kota, misalnya. Saya yakin hal itu terjadi pada banyak orang.
Termasuk Michael Chiarello.
Michael adalah koki selebritas keturunan Italia. Ia yang lahir di Amerika, ternyata masih terikat erat dengan akar masakan leluhur. Selepas lulus dari Culinary Institute of America pada tahun 1982, ia menjadi koki di banyak restoran. Ia mengambil spesialisasi masakan Calabria, suatu daerah di Selatan Italia, tempat nenek moyangnya berasal.
Hal itu didasari oleh kenangan kepada keluarga besarnya yang senantiasa memasak masakan Calabria di tiap pertemuan keluarga.
“Apa yang memotivasiku,” kata Michael suatu ketika, “bukan hanya makanannya saja. Tapi ikatan dan kenangan yang dihadirkan oleh masakan itu.”
Makanan memang sangat bisa disimbolkan sebagai cinta kasih yang kudus. Para tukang masak, mulai dari kelas ibu rumah tangga (Hai mamak, jagoan masakku sepanjang masa), sampai para koki profesional, selalu menaruh cinta dalam tiap masakannya.
Percaya atau tidak, masakan yang dimasak dengan cinta dan yang tanpa cinta, akan terasa sangat berbeda.
Tak heran, George Bernard Shaw, sang pujangga dengan cambang yang tebal itu, suatu saat pernah berkata, “tak ada cinta yang lebih tulus ketimbang kecintaan terhadap makanan.”
Ayah, mungkin mengamini dan mengamalkan itu. Ia menunjukkan rasa cintanya pada saya dengan cara menunjukkan bentuk cinta yang paling tulus itu: makanan.
Sejak kecil saya seringkali diajak ayah datang ke warung-warung langganannya. Mulai dari Jember, Lumajang, Surabaya, Yogyakarta, Solo, dan di beberapa kota tempat ia hapal dimana makanan-makanan menggiurkan berumah.
Perjalanan demi perjalanan itu lantas membentuk suatu ikatan tak kasat mata. Ayah, yang sudah meninggal empat tahun lalu, seperti mewujud dalam setiap porsi nasi pecel Bu Darum di hadapan saya. Di setiap gigitan martabak Malabar. Atau di semangkuk soto Rambipuji yang mengepul. Juga diantara senyap jalanan dini hari selagi menunggu seporsi gudeg ceker Margoyudan. Juga dibalik cerita-cerita tentang ayah dari para penjual makanan itu.
Ayah ternyata tak pernah benar-benar pergi.[]
mengharukan sekali, mas
jd pengen ke jember, nyobain makanan2 historikal di atas 🙂
Hehehe, ayo mampir ke Jember mas. Nanti aku ajak ke warung rujak Mbah Minah, sudah ada sejak sekitar 70-an tahun yang lalu 🙂
Ajaib kisah ini. Terima kasih. Tentang generasi keempat saja sudah merupaan jejak reputatif. 🙂
Kalo saya ke Jember harus mampir ini. 😀
BTW kalo “martabak amplop” saya termasuk penyuk akrobatnya. Gak pernah bosen dan gak pernah mencoba karena yakin gak akan bisa.
Makasih mas Antyo 🙂 Martabak amplop itu yang kayak gimana ya? Yang adonannya dilempar-lempar gitu bukan? 😀