Saya sudah punya firasat buruk waktu Gita Wiryawan menelpon video via WhatsApp. Sedang jam makan malam di Indonesia, dan saya paham: dia akan pamer menu makan malamnya.
Benar saja. Beberapa menit kemudian, dia mengirim video muka menyebalkannya lengkap dengan gaya rambut yang dimirip-miripkan Paul McCartney, sedang mengganyang dendeng batokok.
Di bagian akhir video, dengan tawa meledek, si Nasalis larvatus ini menunjukkan kerupuk jangek, alias rambak yang diguyur kuah gulai.
“Kerupuk jangek enak juga lho.”
Nenek-nenek juga tahu!
Kesal, sekaligus tergiur, akhirnya saya pergi ke dapur. Bongkar freezer dan mengeluarkan stok daging. Kebetulan kapan hari saya sudah berencana masak rendang. Jauh sebelum si Gita brengsek itu pamer dendeng batokok.
Saya belanja di Wing Yip, pusat perbelanjaan bahan makanan Asia terbesar di London. Pas saya datang ke sana, saya bengong. Buset, gede bener. Nyaris semua bahan makanan Asia umum ada di sana. Dari bahan masakan Korea, Jepang, Thailand, juga Indonesia (rak paling sedikit variannya), semua ada. Kecuali sambal Bu Rudy kayaknya. Huhuhu.
Awalnya saya ingin bikin rendang dari nol, alias bikin bumbu dari bahan syegar. Tapi melihat satu bungkus kecil daun jeruk dihargai 2,5 Pounds, akhirnya saya urungkan niat kurang kerjaan itu. Saya pilih beli bumbu rendang kemasan, santan, bawang merah, putih, dan cabai rawit saja.
Untuk dagingnya, saya pilih yang paling murah: sengkel dan tendon alias urat. Sekilo cuma 4 Pounds. Bagian ini dijual murah mungkin karena dianggap sisa-sisa dari kumpulan yang terbuang. Ciiih, dasar orang Eropa, tak paham bahwa daging berlemak itu justru bagian yang paling mendekati surga.
Bahan sudah lengkap. Masalahnya cuma satu: di wisma tempat tinggal saya itu tidak bisa pakai kompor. Untunglah ada warisan rice cooker dari Eka, mahasiswa S2 asal Bali yang baru lulus dan akan pulang tanggal 20 November ini.
Si Eka sendiri sempat heran waktu dengar niat saya bikin rendang pakai rice cooker.
“Memang bisa, Mas?”
Hohoho. Mengutip Rie McClenny: asal kita tahu cara pakainya, rice cooker (dan magic jar) adalah sahabat terbaikmu.
Kebetulan di Indonesia saya beberapa kali bikin sup buntut pakai magic jar. Tinggal tumis bumbu, masukin buntut, kasih air, lalu dibiarkan saja hingga buntut empuk. Cukup sesekali ditengok kalau-kalau butuh tambahan air. Kalau buntut sudah matang, tinggal masukkan bahan lain seperti kentang, wortel, seledri, dll. Masak lagi sampai kentang dan wortel empuk. Selesai.
Yang lebih enak lagi, masak di magic jar lebih aman ketimbang masak di kompor. Saya pernah ketiduran waktu masak sop buntut. Ketika bangun dan menengok magic jar, airnya sudah habis dan karenanya mode masaknya otomatis pindah ke mode menghangatkan (warm). Kaldunya tertinggal di dasar panci. Buntut sudah super duper empuk. Jadi tinggal tambah air, wortel, dan kentang. Masak lagi. Selesai. Bayangkan kalau saya ketiduran ketika memasak di kompor. Mungkin rumah saya sudah ludes.
Jadi bagaimana metode memasak rendang lewat rice cooker? Mudah sekali *ala YouTuber*. Pertama, tekan mode memasak. Tunggu sampai panci panas. Lalu masukkan bumbu, tumis hingga wangi.
Setelah bumbu matang, masukkan daging. Lalu aduk-aduk hingga daging berselimut bumbu. Tunggu beberapa menit, lalu masukkan santan. Aduk kembali. Lalu masukkan air hingga nyaris penuh. Lalu diamkan saja. Kalau memodifikasi istilah Gordon Ramsay: let the rice cooker do the work.
Sekitar 1,5 atau 2 jam kemudian, bukalah rice cookermu. Akan tampak daging berselimut bumbu kecoklatan dengan wangi rempah yang tak akan kamu temukan di fish and chips. Lalu mendadak perutmu akan keroncongan.
Apakah waktu 2 jam cukup untuk bikin dagingnya empuk? Dalam kasus saya sih iya. Karena daging dimasak dengan cukup lama dan panas yang konsisten. Dengan kata lain, daging dimasak dengan metode yang mirip-mirip slow cooker. Apalagi kalau dagingnya bagian sengkel dan urat yang sifat alamiahnya memang genjur.
Sedikit catatan: tekstur daging sapi bisa amat berbeda di beberapa negara. Semisal 2 jam dagingnya belum empuk juga, tinggal tambahi air saja.
Lalu bagaimana takarannya? Entah, saya tadi pakai perasaan saja. Tips buat yang agak susah pakai perasaan: cek kemasan. Biasanya ditulis petunjuk penggunaan di bagian belakang, dan dikira-kira dari sana.
Di bungkus bumbu rendang yang saya pakai, tertulis kalau satu pak itu bisa untuk masak 1,2 kilo daging. Tadi saya masak sekitar 200-300 gram daging, jadi cukup pakai seperempat bungkus saja. Trus santannya juga pakai perasaan saja, alias secukupnya.
Sebenarnya rendang ini masih berbentuk kalio, alias masih basah. Sebenernya ini akan lebih mantap kalau diselesaikan di atas kompor, dimasak hingga sehitam hatinya Gita Wiryawan. Atau bisa juga dimasak terus pakai mode cook hingga jadi benar-benar kering. Tapi saya keburu punya janji, jadi tidak sempat.
Sepulang dari nongkrong, barulah saya sempat menyendok nasi dan rendangnya. Masya Allah. Bagian yang genjur dan ginuk-ginuk itu meleleh begitu masuk rongga mulut. Bumbunya mlekoh. Dagingnya sama sekali pasrah ketika dirobek pakai tangan kosong. Cabai yang saya masukkan menambah rasa pedas yang begitu saya rindukan.
Untung nasi yang saya makan itu bukan masak sendiri, alias minta ke salah satu penghuni. Coba nasinya masak sendiri, sudah pasti akan nambah.
Jadi, Gita, percuma kau pamer masakan Padang: aku bisa masak sendiri, cah berdikari, kok!