Saya sempat berpikir bahwa artikel Mending Mana #2 ini akan sangat luhur dan bermanfaat bagi peradaban umat manusia. Misal membandingkan mana yang lebih hebat antara Karl Marx atau Adam Smith. Atau paling tidak, mana karya sastra yang paling berpengaruh di dunia, apakah To Kill A Mockingbird atau Balada Si Roy.
Tapi takdir mengatakan bahwa keinginan itu terlalu muluk-muluk. Akhirnya tema Mending Mana #2 adalah: memilih siapa lebih mending, antara Arman Dhani atau Gita Wiryawan.
Hulu masalahnya adalah Dhani dan Gita sedang rebutan cewek untuk digebet. Saya pikir masalah seperti ini sudah hilang sejak zaman Tyranosaurus masih ada di muka bumi. Ternyata di era digital seperti ini, masih ada perkara rebutan cewek.
Masalahnya, si cewek tampak bingung memilih antara Dhani atau Gita. Mungkin karena pilihannya sama-sama jelek sih.
Jadi saya di sini untuk membantu si mbak apes itu untuk memilih siapa di antara mereka berdua. Dari awal dulu: Arman Dhani.
Saya mengenal bujang berusia 27 tahun ini sejak 2006. Kami masih sama-sama kurus. Tempat pertemuan kami adalah ruangan berkarpet merah, Tegalboto. Di situlah saya pertama kali kagum dengan Dhani.
Ia berani berdebat dengan seorang rekrutan baru juga, tentang apakah infotainment adalah produk jurnalistik atau bukan. Sangat menggugah idealisme pers mahasiswa.
Lalu di terbitan buletin kami yang pertama, Dhani menulis resensi komik V For Vendetta. Pria asal Bondowoso ini berapi-api sekali. Di akhir tulisan ia menulis seakan berteriak: Hidup kebebasan, hidup mahasiswa!
Hati perempuan mana yang tak tergetar oleh semangat revolusi itu.
Dhani pernah punya pengalaman pahit perihal asmara. Ia menyimpan api dalam sekam itu hingga sekarang. Membatu hingga jadi dendam. Mungkin karena itu pula, ia sedikit sensitif jika berurusan soal asmara.
Terakhir, yang saya tahu, ia sudah berencana menikah tahun depan. Namun entah kenapa keinginan itu batal. Saya sedih. Tapi toh Dhani biasa saja. Ia memilih untuk menghamburkan uang untuk membeli triumviraat: sneakers, buku, dan rilisan musik (baca: vinyl).
“Yo gak popo lah, aku sugih kok,” katanya pada saya suatu ketika.
Perihal gaji, ia tak kalah dengan Gita Wiryawan sang abdi negara itu. Gaji Dhani konon mencapai dua digit. Ini hasil dari kerja kerasnya. Saya tahu betapa keras ia bekerja membanting tulang. Dhani bekerja di dua kantor. Lalu rutin menulis artikel di berbagai media. Karena itu pendapatan bulanannya banyak.
Sayang, ia tak bisa membagi gaji itu untuk siapa-siapa. Tak bisa membelikan bunga, tak bisa mengajak makan. Akhirnya uangnya habis untuk kegiatan hedon. Astagfirullah.
Lalu bagaimana dengan Gita Wiryawan?
Saya mengenal pria kurus ini sejak 2012, kalau tak salah. Ia baru datang dari piknik di sebuah pantai di Yogyakarta. Minta saya menjemputnya di sebuah kampus di utara. Saat pertama kali bertemu, ia sudah cengengesan. Minta bener ditabok.
Gita adalah pria yang humoris. Susah untuk tak tertawa saat bersama pria asal Purwokerto ini. Gayanya yang tengil juga bikin orang gemas.
Sama seperti Dhani, Gita suka membeli buku. Entah ia membaca atau tidak. Tapi setahu saya ia suka Haruki Murakami, George Orwell, dan Goenawan Mohamad. Koleksi bukunya bersaing dengan Dhani. Ada ratusan mungkin. Mungkin gara-gara itu, gaya tulisan Gita sangat ciamik. Seperti perpaduan antara GM dan Puthut EA.
Tapi Gita masih mengungguli Dhani dalam hal buku. Gita tak sekedar mengoleksi buku, tapi juga menulis buku. Saya pernah dikasih satu eksemplar buku limited edition berjudul “Tentang Cerita yang Belum Kuceritakan”. Buku itu hanya dicetak 10 eksemplar saja. Latar belakang pembuatan buku itu? Apalagi kalau bukan sakit hati.
Mengenai kemapanan, jangan khawatir. Gita adalah pegawai pajak, abdi negara, yang gajinya hampir dua digit juga. Hanya selisih tipis ketimbang Arman Dhani. Apalagi para pegawai pajak baru saja dapat kenaikan tunjangan.
“Kalau cuma bolak balik Jambi-Jakarta naik pesawat Garuda setiap minggu, ya gampang. Wong aku sugih kok,” kata Gita, yang sekarang berdinas di Bangko, Jambi ini.
Gita juga dikenal karena sifatnya yang loyal. Ia sering memberi uang kawan-kawannya yang masih mahasiswa, untuk membeli buku. Sungguh sangat dermawan. Lain kali, ia rela datang ke Jakarta naik Garuda, hanya untuk menemui seorang perempuan di bandara. Lalu balik lagi.
Sama seperti Dhani, Gita juga pernah mengalami luka asmara yang pedih. Banyak sekali. Perihal luka asmara ini, Dhani dan Gita juga bersaing dalam jumlah perempuan yang melukai mereka. Sama banyak.
Kita akhirnya sampai pada bagian akhir tulisan. Bagaimana kesimpulan tulisan pendek ini? Siapa yang lebih mending? Dhani, atau Gita? Menurut saya: mending jangan milih dua-duanya, Mbak. Podo bosoke. Sik akeh sing lebih apik.