Oleh Chris Rini
—
1 Mei 2000. Royce Gracie dan Kazushi Sakuraba berada satu ring di Saitama Super Arena, Jepang. Mereka bertarung dalam ajang open-weight Pride Fighting Championship, sebuah ajang pertarungan bela diri campuran tanpa batasan berat badan. Pertarungan ini begitu dinanti karena Royce disulut dendam sebab enam bulan lalu, Royler Gracie, sang kakak, dikalahkan Sakuraba dengan jurus kuncian.
Bagi keluarga Gracie yang legendaris itu, kekalahan Royler ini adalah yang pertama dalam beberapa dekade. Karena kekalahan itu, keluarga Gracie kemudian mengirimkan Royce, anak emas mereka, mantan juara UFC yang tak terkalahkan, untuk mengalahkan pria yang mempermalukan nama baik keluarga. Royce kemudian meminta aturan baru: pertandingan tak dibatasi waktu. Pertandingan baru berhenti kalau ada yang kalah, baik melalui kuncian atau kalah KO.
Hasilnya adalah pertarungan terlama dalam sejarah MMA.
Pertarungan ini juga menandai ombak perubahan dalam MMA. Gaya Brazilian Jiu Jitsu ala Gracie yang sempat begitu mendominasi, berhasil dikalahkan oleh gaya pertarungan gulat, mengandalkan keseimbangan, dan petarung yang menguasai berbagai variasi ilmu bela diri. Mengambil keuntungan dari pertarungan tanpa aturan ini, Sakuraba sempat mengeluarkan jurus standing kimura di awal pertandingan dan menarik Royce keluar tali ring, membuat Royce kelelahan sejak awal.
Ronde pertama yang penuh baku hantam juga nyaris berakhir saat sang pegulat Jepang itu berhasil melontarkan jurus kuncian lutut. Tapi Royce berhasil menyerang balik dengan tendangan tumit yang ganas.
Selama ronde kedua, ketiga, dan keempat, Royce tak berhasil menjatuhkan, apalagi melakukan pulling guard (menguncikan dua kaki pada musuh yang terjerembab agar bisa mendominasi dan melakukan berbagai serangan seperti kuncian lengan, pitingan leher, guillotines, kimura, atau omoplata) pada Sakuraba. Kedua petarung ini kemudian berjibaku dalam perang mengelit dan memiting, saling menyerang lutut dan menunggu kesalahan dibuat musuh.
Meski tak ada yang berhasil melontarkan serangan vital, belasan tendangan berhasil dilepaskan Sakuraba ke kaki Royce, yang berpengaruh pada berkurangnya mobilitas dan kecepatannya. Pada ronde kelima, Sakuraba berhasil lebih unggul dalam serangan dan sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Sementara itu, Royce sudah mulai pincang, dan usahanya untuk merengkuh Sakuraba malah menghasilkan serangan balik yang fatal: Sakuraba merenggut celana Royce, membalik dan menekuk badan Royce sehingga kepala berada di bawah, dan melontarkan pukulan langsung ke wajah Royce.
…dan kemudian melantingkan pukulan yang menembus pertahanan Royce, seperti di film-film laga.
Di akhir pertarungan enam ronde yang melelahkan, dan di bawah tatapan datar sang ayah –Helio Gracie, bapak agung bagi Brazilian Jiu Jitsu dan pencipta aliran Gracie BJJ– akhirnya keluarga Gracie terpaksa melempar handuk tanda menyerah.
Pada masa-masa awal UFC, sebelum ultimate fighting menjadi mixed martial arts, Royce Gracie membuktikan bahwa grappling (teknik yang mengandalkan keuntungan postur tubuh yang lebih kecil sehingga bisa berkelit, mengunci, melarikan diri, atau mencederai musuh) bisa digunakan untuk menetralkan serangan musuh dan bisa membuat petarung bertubuh lebih kecil mengalahkan petarung berbadan lebih besar.
Nyaris tujuh tahun berselang, Sakuraba, yang kemudian dijuluki The Gracie Hunter, mengawali evolusi dalam olahraga ini, di mana menjadi ahli dalam satu ilmu bela diri saja sudah tak lagi cukup. Jelas sudah bahwa kemampuan untuk mendikte pertarungan dan kompeten dalam pertarungan ground (kemampuan bertarung di alas, biasanya mengandalkan grappling dan kuncian) maupun standing (kemampuan bertarung dalam posisi berdiri) itu adalah yang terpenting.
Era spesialisasi telah berakhir. []
Post scriptum: artikel ini diterjemahkan bebas dari sini.