Passau: Dangerously Beautiful

Perjalanan panjang saya bermula dari Hamburg menuju Ingolstadt. Di Ingolstadt itu saya ada janji dengan Afni, pacar karib saya Yandri. Saya janji membawakan sale pisang dan sandal jepit untuk Afni yang sudah hampir 1 tahun tinggal di Ingolstadt. Saya di Ingolstadt tak sampai 1 jam, karena harus mengejar kereta menuju Passau.

Di Passau saya akan menemui Fathun Karib. Pria ini adalah salah seorang kontributor Jakartabeat. Saya mengenalnya ketika ia menulis tentang sejarah punk Jakarta dengan tajam dan rinci. Ia benar-benar penulis punk yang tangguh. Kecintaannya pada punk juga berwujud dalam musik. Semenjak SMP ia menjadi vokalis Cryptical Death, yang hebatnya band itu masih bertahan hingga sekarang dengan personil yang nyaris tak berubah. Saat ini ia sedang bersekolah lagi di Universitas Passau, mengambil jurusan Southeast Asian Studies.

Maka berangkatlah saya dari Ingolstadt menuju Passau. Sempat transit di Regensburg, lalu kereta langsung melaju. Sesampai di Passau, cuaca sedang dingin. Masih tampak sisa hujan yang baru saja usai. Di luar awan terlihat kelabu. Lengkap dengan embun-embun yang masih menempel di kaca stasiun Passau Hauptbanhof.

Beberapa menit setelah saya sampai, mas Fathun datang. Ia tak jauh berbeda dengan foto yang pernah saya lihat. Orangnya tampan. Dengan brewok dan jenggot yang tipis serta rambut pendek yang rapi. Ia tinggi dan tegap. Senyumnya selalu mengembang apik. Tipikal orang-orang yang ramah.



Selesai ngobrol sebentar, kami langsung pergi menuju apartemen mas Fathun. Setelah menaruh tas, kami pun memutuskan untuk berkeliling kota Passau yang kecil saja.

Passau memang tak seberapa besar. Penduduknya hanya sekitar 50.000. Dan 10.000 diantaranya adalah mahasiswa di Universitas Passau. Kota yang berbatasan dengan Austria ini dikenal dengan julukan Dreiflüssestadt, alias kota tiga sungai, karena ada tiga sungai yang membelah Passau. Ada Danube dan Inn dari selatan, dan Ilz dari utara. Kalau dilihat dari udara, akan tampak tiga warna sungai yang berbeda. Cantik sekali. Karena letaknya yang berbatasan dengan tiga sungai besar itu, banjir menjadi kejadian yang tak jarang lagi. Walau tak tahunan seperti di Jakarta. Karena itu, di balai kota, ada selarik garis memanjang yang mengukur tinggi banjir. Banjir paling parah terjadi pada tanggal 15 Agustus 1501. Tinggi air mencapai setengah dari tinggi balai kota. Sekarang Passau sudah nyaris tak pernah mengalami banjir lagi.











Walau menyimpan kecantikan yang tiada tara, Passau juga menyimpan bahaya yang nyaris laten. Kota ini sudah terkenal sebagai kota suci para Neo Nazi. Pasalnya, Hitler yang kelahiran Austria itu, masuk ke Jerman melalui Passau. Pemimpin besar Nazi ini lantas tinggal di Passau selama 2 tahun. Sudah bukan rahasia kalau kaum Neo Nazi yang xenophobic ini benci pendatang atau imigran. Kadang ada kasus imigran yang dipukuli oleh para Neo Nazi ini.

Sepertinya Passau adalah kota yang tepat untuk idiom dangerously beautiful 🙂

***

Passau adalah sebuah kota tua yang sangat cantik. Banyak bunga beraneka warna yang tumbuh di taman-taman yang tersebar di sepanjang jalan. Sayang saya datang pada musim panas. Kalau musim semi, Passau akan jadi lebih indah. Tujuan utama para pelancong tentu saja adalah Katedral St. Stephan. Gereja yang dibangun pada tahun 1668 ini memiliki organ katedral terbesar di dunia. Organ yang ukurannya memang gila-gilaan ini menjadi yang terbesar di dunia hingga tahun 1994, sebelum akhirnya dikalahkan oleh organ di First Congregational Church di Los Angeles. Biasanya ada konser organ yang diadakan pada bulan Mei dan September. Gereja bergaya baroque ini dibangun oleh arsitek asal Italia, Carlo Lurago.

Organ terbesar di dunia hingga 1994





Cuaca hari itu tak menentu. Kadang mendung. Tak sampai selemparan batu, mendung hilang, berganti matahari yang kembali berarak. Panas. Karena panas itulah, banyak orang Passau yang berbahagia. Mereka keluar rumah. Sekedar bercengkrama di taman, menyulam, jogging, atau bersepeda. Juga banyak turis yang datang dengan biro wisata. Rata-rata mereka sudah baya. Sebagian besar mereka pergi ke St. Stephen. Ziarah agama, tak jauh beda dengan ziarah para wali di Indonesia. Sedang yang muda lebih memilih pergi ke toko suvenir atau minum bir di kafe-kafe kecil di Steinweg Gr. Messergrasse atau di Fritz-Schaffer-Promenade. Sedang kami lebih menyusuri lorong-lorong kecil yang bagai labirin.















Karena terlalu asyik melanglang Passau, kami tak sadar kalau sore menjelang. Saya harus buru-buru mengejar kereta ke Munich. Setelah mengambil tas di apartemen, kami langsung berlari ke halte untuk mengejar bus menuju stasiun. Ketika sampai di halte bis, mas Fathun baru sadar kalau bis sudah tidak beroperasi. Hari itu akhir pekan, sudah terlalu sore pula. Jadi kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Saya kepayahan. Memanggul carrier dan perut yang lebih berat ketimbang carrier. Tapi karena takut ketinggalan kereta, tenaga saya seperti tak berbatas. Terus berjalan. Sepertinya tinggal cari tukang pijat saja nanti.

Akhirnya setelah berjalan hampir 5 km, sampai juga di stasiun. Kaki pegal. Kereta sudah stand by. Perut keroncongan. Karena saya rasa tak cukup waktu untuk membeli makanan, saya pun langsung menuju kereta. Padahal saya pengen sekali lagi makan kari bebek nomer wahid di restoran Jepang yang terletak di belakang stasiun Passau. Tapi ya sudahlah, lain kali semoga bisa berkunjung ke Passau lagi dan mencicipi kari bebek yang aduhai lezatnya itu.

Selesai berpamitan dengan mas Fathun, saya pun duduk di kursi. Aih, perut kelaparan tampaknya. Ditambah hawa dingin jadi tambah lapar. Passau- Munich masih sekitar 2 jam. Tampaknya saya akan menahan lapar barang sejenak. Tapi lamunan saya buyar karena suara ketukan di jendela. Ternyata mas Fathun yang mengetuk.

Saya langsung keluar lagi dari kereta. Ternyata mas Fathun membawa sebungkus kotak berwarna coklat yang berisi dua buah roti. “Ini dibuat bekal, kamu kan belum makan tadi”, ujarnya sembari tersenyum.

Ah, ternyata orang baik memang ada dimana-mana. Tak berapa lama kemudian kereta pun berangkat. Senja sedang bersiap menjelang. Di sebelah kiri jendela tampak sungai Inn yang berwarna kecoklatan. Gegana memerah. Di sebelah saya ada dua orang yang dimabuk asmara, berceloteh riang sembari meminum bir. Lain kali saya harus ke Passau lagi. Kota yang benar-benar pantas menyandang gelar dangerously beautiful.

5 thoughts on “Passau: Dangerously Beautiful

  1. Tulisannya sangat memotivasi, kebetulan saya punya teman di Passau. Suatu hari saya akan ke sana mencoba bir dan menikmati susana Dreiflüssestadt.

  2. Semakin memotivasi saya untuk menjelajah Passau, kebetulan saya punya teman Jerman yang kuliah dan tinggal disana.

Leave a Reply

Your email address will not be published.