Jakarta memang daerah yang mempunyai sejarah panjang terbentang. Salah satunya terhampar di Pasar Baru. Pasar ini dulunya dikenal dengan nama “Passer Baroe”, sebuah nama yang ada sejak zaman VOC dulu. Daerah ini dulu dikenal sebagai kawasan elit karena berada dekat dengan kawasan Rijswijk alias Jalan Veteran, yang memang merupakan daerah orang kaya di Batavia kala itu.
Passer Baroe dikenal sebagai sentra tukang sepatu. Salah satu yang terkenal adalah seorang tukang sepatu keturunan Cina bernama Sapie Ie (serapan dari nama Syafii?). Hal itu dijelaskan Dalam buku berjudul “Indrukken van een Totok, Indische tye en schetsen”, yang ditulis oleh Justus van Maurik. Dimana saat itu Justus harus menghadiri suatu pesta mewah tapi ia tak punya sepatu yang layak. Jadilah ia pergi ke Sapie Ie untuk memesan sepatu berhak tinggi. Saat itu, karena ukuran kakinya yang besar, Justus dikenakan tambahan ongkos sebesar 50 sen.
Passer Baroe memang jadi semacam melting pot yang penting di Jakarta. Salah satu penduduk disini adalah etnis Cina. Kala Jakarta masih dikenal sebagai Batavia, seringkali ada lomba perahu yang diadakan di sungai Ciliwung yang mengalir melintas di depan Passer Baroe. Lomba perahu ini sebagai bagian dari perayaan Peh Cun. Penggaggasnya adalah para pedagang Cina yang tak betah menetap di daerah Pecinan Glodok dan memilih untuk berniaga di Passer Baroe.
Selain etnis Cina, disini juga menjadi tempat bernaung bagi beberapa pedagang Timur Tengah yang berdagang tekstil. Tak heran, nuansa Bhinneka Tunggal Ika kental terlihat disini.
Sayang, sejarah panjang tak lagi cukup untuk menarik minat pembeli. Pasar Baru sekarang menghadapi bahaya serius. Banyak toko yang merasakan dampak menjamurnya mal dan pusat perbelanjaan. Meski mempunyai barang dengan mutu yang tak kalah dengan mutu produk impor, tetap saja produk di daerah Pasar Baru ini dianggap tidak classy, tidak modern, dan jauh tertinggal dari kata haute-couture. Menghadapi gempuran itu, kebanyakan toko memasang banyak pengumuman diskon hingga 70%. Yang lebih memiriskan, ada beberapa toko yang mengatakan bahwa mereka akan tutup dan mengobral barangnya.
***
Beberapa waktu lalu ketika saya berkunjung ke Jakarta, Mico mengajak saya untuk melemaskan kaki menyusuri Pasar Baru. Kebetulan, galeri Antara tempat Mico menimba ilmu fotografi selama setahun belakangan ini ada di samping Pasar Baru. Dengan sejarah panjang yang menyertainya, tentu saya tak berpikir dua kali untuk mengiyakan ajakan Mico.
Pasar Baru memang seperti alternatif bagi para pecinta belanja dan penggemar barang antik. Sepanjang jalan, banyak terdapat toko yang menjual produk tekstil, sepatu, uang kuno, produk spa, herbal, hingga rambut palsu. Karena saya bukanlah seorang yang menyukai wisata belanja, maka saya mengalihkan pada bentuk wisata lain: wisata kuliner.
Di Pasar Baru ini terdapat banyak warung yang jadi jujugan para pecinta makanan. Sebut saja yang paling terkenal, Bakmi Gang Kelinci. Bakmi klasik ini berawal dari sebuah grobak sederhana yang dulunya mangkal di Jl. Pintu Besi Pasar Baru. Meski didirikan pada tahun 1957, Bakmi ini baru dikenal pada tahun 1962, ketika sang penjual pindah ke Jl. Belakang Kongsi, Pasar Baru. Jalan ini lebih dikenal dengan nama Gang Kelinci. Bakmi dengan moto “Enak, Murah, Banyak” ini menyajikan menu oriental macam Bakmi Bakso, Bakmi Pangsit, Swekiau, Locupan, Mun Ta Hu, hingga menu perkawinan klasik-modern macam Bakmi Ayam Saos Tomat atau Angsio Hoison. Seiring berjalannya waktu, Bakmi Gang Kelinci mulai melebarkan sayap, termasuk dengan membuat website dan membuka tawaran franchise. Bakmi ini pernah direview di blog Hifatlobrain.
Bagi para pecinta makanan yang tak perduli terhadap kriteria halal-haram, silahkan mampir ke Bakmi Aboen. Warung bakmi yang didirikan sejak tahun 1961 ini menyajikan beberapa menu dengan daging babi.
Kalau sedikit bosan dengan menu oriental dan ingin mencicipi sensasi Timur Tengah yang spicy, silahkan berkunjung ke Shalimar, sebuah restoran kecil yang menjual varian makanan Timur Tengah macam Nasi Briyani atau Samosa. Warung ini terletak hanya beberapa meter dari Gang Kelinci.
Tapi Mico tak mengajak saya ke tiga warung itu. Dia punya referensinya sendiri mengenai bakmi enak. Untuk itu saya harus menapak turun tangga gelap di sebuah gang kecil. Ternyata ruang bawah tanah ini merupakan area cukup besar yang menampung beberapa penjahit dan food stal.
Mico lantas mengajak saya ke salah satu warung Bakmi berlabel Bakmi Ikati. Warung yang sudah berdiri sejak tahun 1982 ini menyajikan beberapa menu spesial yang diurutkan berdasarkan hari. Mulai hari Senin yang menyajikan Kwo Tie (makanan khas Cina yang mirip pangsit, hampir sama dengan Gyoza di Jepang), Selasa yang ada menu Nasi Tim Ayam plus Jamur Hioko, lalu Rabu yang menyajikan Baso Tahu dan Pare, hingga ada menu Baso Lo Hwa pada hari Kamis.
Siang itu saya memesan mie pangsit. Saya sendiri ditawari dua jenis mie, apakah mau mie berukuran kecil, atau mie berukuran besar alias kwetiau. Saya memilih mie yang pertama. Tak perlu menunggu lama, seporsi besar mie pangsit datang dengan aroma harum yang menguar.
Mie ini disajikan dengan topping potongan daging ayam masak kecap dengan tambahan beberapa iris jamur kancing. Selain itu ada dua buah pangsit basah dengan kulitnya yang bertekstur lembut dan daging sapi yang terasa gurih. Selain itu masih ditambah dengan semangkuk kecil kuah yang rasanya sedap, meski sedikit kurang asin bagi saya. Seporsi besar mie pangsit ini hanya dibanderol Rp. 12.000.
Lain kali saya mau mencoba Bakmi Gang Kelinci ah…
waa.. topingnya ada jamur juga, kayaknya enak =9
Bagi pecinta seni dan kerajinan tangan, lokasi Passer Baroe juga merupakan tujuan yang tidak bisa dilupakan. Berbagai macam peralatan melukis dan peralatan fotografi juga bisa dicari di lokasi ini. Seperti frame & album foto, bingkai lukisan, bingkai foto, tripod kamera, lighting foto dan video, tas kamera, assesoris fotografi sampai dengan kamera manual dan digital yang canggih dijual di Passer Baroe.