Pasta dan Sekian Kemungkinan

Saya suka memasak. Bawaan sejak kecil melihat Mamak yang punya usaha katering. Berbeda dengannya, skill saya tak bagus-bagus amat.

Saya belum bisa memasak makanan Indonesia. Terutama mereka yang punya banyak bumbu dan ribet prosesnya. Saya akan angkat tangan kalau disuruh masak rawon, misalkan. Salah-salah saya tak memasak dengan benar, membuat sianida keluar dari keluwak, kemudian membunuh semua orang yang makan. Eh, sudah tahu kan kalau keluwak itu mengandung sianida dan bisa jadi beracun kalau tak dimasak dengan benar?

Mengerikan.

Saya juga tak bisa masak sop buntut, soto banjar, kare ayam, daging ungkep, dan aneka ria masakan andalan mamak. Saya menjunjung tinggi masakan Indonesia yang kompleks dan membutuhkan banyak kesabaran. Tapi kemampuan saya belum sampai sana.

Maka saya melarikan diri ke masakan Italia. Sebagian besar masakan Italia yang saya tahu cukup simpel cara memasaknya. Bumbunya tak neko-neko. Tentu ada masakan Italia yang kompleks, baik cara memasak maupun bumbunya. Timpani, misalkan.

Dari semua masakan Italia, saya suka memasak pasta. Alasannya karena pasta mudah didapat. Beda dengan pizza yang harus membuat adonan lebih dulu. Pasta kering lebih praktis.

Selain itu, pasta adalah masakan yang sangat fleksibel. Kamu bisa memasak pasta dengan apa saja. Daging, udang, cumi, ayam, tomat, basil, oregano. Bahkan kamu bisa memasak pasta yang enak hanya dengan bermodal cacahan bawang putih, garam, merica, dan taburan bubuk cabai. Sesederhana itu.

Tapi jangan salah. Pasta memberikan ruang yang teramat luas untuk improvisasi. Pasta bisa memberikan kejutan dan kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas.

Beberapa waktu lalu, Jaki mengabari saya tentang kompetisi masak dan resepnya ditaruh di blog. Hadiahnya mentereng: pergi ke Frankfurt Book Fair dan melakukan demo masak di sana. Salah satu ketentuan dalam lomba itu adalah memadukan antara masakan barat dan timur, juga ada unsur sambal.

Tepat di sana, pasta menghadirkan banyak kemungkinan.

Saya membayangkan akan memasak fusilli sambal matah dengan udang. Nama internasionalnya sudah saya reka: Shrimp Fusilli with Sambal Matah. Ini adalah perpaduan antara barat dan timur yang sangat cantik. Barat diwakili dengan pasta dan aneka rempah Mediterania. Timur diwakili dengan sambal matah khas Bali. Pengikatnya adalah udang, yang bisa menjadi simbol bahwa negara kita kaya akan hasil laut.

Tsaaaaah.

Saya tinggal menyiapkan beberapa ekor udang. Membuang kulitnya. Jangan buang kepalanya, bisa untuk bahan kaldu dan menambah kekayaan rasa pasta. Udang cukup di pan sear sebentar saja. Agar tak alot. Cukup membuat udang berubah warna menjadi merah menggoda.

Fusilli yang akan saya pilih adalah tipe bucati, yang bentuk silindernya lebih rapat, nyaris membuatnya seperti tabung. Bentuk fusilli bucati ini bisa menyimpan kaldu dan sambal di dalam. Menjanjikan rasa yang terikat lebih kuat. Tentu tortelloni bisa lebih kuat mengikat rasa. Apa boleh buat, saya belum bisa membuatnya. Eits, lagi pula saya memasak pasta kan atas nama keringkasan.

Selagi menunggu fusilli matang, saya akan mengiris tipis bawang merah, bawang putih, cabai rawit, juga serai. Jangan lupa bakar sedikit terasi untuk kemudian dicampurkan. Sentuhan akhir untuk sambal adalah sedikit kucuran jeruk nipis, atau lemon.

Tapi saya akan mengambil pendekatan berbeda dengan sambal matahnya.

Di keluarga saya, sambal matah tidak cukup hanya disiram minyak panas. Tapi juga digoreng. Tak perlu lama. Cukup agar cabai mengeluarkan minyak. Sambal matah yang digoreng akan mengeluarkan rasa pedas yang lebih menggigit, juga menguarkan harum citrus dari serai. Namun karena waktu gorengnya tak lama, semua komponennya masih menyisakan tekstur mentah yang menjadi syarat wajib sambal matah.

Setelah pasta matang, sisihkan. Mulai tumis udang. Tunggu sampai kemerahan. Masukkan sambal matah. Kemudian masukkan fusilli. Aduk sebentar. Tunggu hingga wangi mulai teruar di udara, matikan kompor.

Sajikan dan santap selagi hangat.

Tapi saya tak jadi masak itu. Pun tak jadi ikut lomba bergengsi itu. Saya cukup tahu diri.

Tapi batalnya ikut lomba tak membuat saya berhenti masak pasta. Kapan hari saat mampir ke Pasar Tebet, saya beli jamur kuping seperempat kilogram. Saya sempat membuat steak saus jamur untuk Rani. Kemudian membuat fusilli dengan saus krim jamur.

Sekitar seminggu lalu kami berdua kelaparan tengah malam. Saya memasak fusilli lagi, stok terakhir. Daging cincang dan jamur sudah habis. Tinggal bacon saja.

Maka saya iris bacon kecil-kecil. Lalu tumis beserta bawang bombay dan cabai kering. Masukkan susu. Beri parutan keju. Kasih kaldu sapi. Kemudian masukkan trivumviraat Mediterania: oregano, basil, dan rosemary (boleh diganti dengan thyme, tentu saja). Tunggu sampai saus mengental. Taburi garam, merica, dan juga perasan lemon. Matikan kompor agar lemon tak membuat saus jadi pahit.

Campur fusilli dengan saus. Selesai. Makan selagi hangat dan perut lapar.

Berkali-kali masak pasta, ternyata pasta saya hasilnya lumayan enak. Selalu al dente, dan rasanya pun pas. Karena keberhasilan singkat itu, saya sempat tinggi hati dan mikir aneh-aneh.

“Yang, gimana kalau aku jadi chef?”

Saya membayangkan jadi chef rasanya asyik juga. Tentu berat. Saya sudah membaca buku Marco Pierre White dan beberapa buku tentang beratnya kerja di dapur. Tapi bukankah menyenangkan bekerja di bidang yang disukai?

Rani hanya memandang saya. Ia kekenyangan dan tampak mulai mengantuk. Istri saya ini tahu kalau saya suka melantur dan mikir macam-macam. Tapi toh ia tetap meladeni saya. Ia menjelaskan kalau jadi chef perlu waktu yang lama. Harus mulai merintis dari bawah. Belum tentu saya sabar. Apalagi saya sama sekali tidak punya dasar ilmu memasak. Itu akan menambah panjang jalan menuju chef.

Ia sama sekali tak melarang saya untuk menjadi juru masak. Hanya memberikan pendapat yang logis. Setelah saya pikir, pendapatnya benar.

“Sementara ini kamu cukup jadi chef pribadiku aja lah,” katanya sembari menguap.

Saya setuju. Jadi chef pribadi untuk istri tentu bukan pilihan yang buruk. []

Leave a Reply

Your email address will not be published.