Beberapa hari lalu saya usai menyaksikan film Little Forest. Ini film Jepang yang diambil dari manga Ritoru Foresuto karya Daisuke Igarashi. Terdiri dari empat bagian, yang mengambil nama musim. Film pertama dirilis pada 2014, terbagi atas Summer dan Autumn. Duologinya rilis setahun kemudian, Winter dan Spring.
Kisahnya sederhana. Tentang kehidupan seorang gadis bernama Ichiko di Komori, sebuah desa yang terletak di bawah kaki gunung di kawasan Tohoku. Sewaktu beranjak remaja, selepas SMA, Ichiko pindah ke kota besar. Namun akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya.
Film ini menarik karena beberapa hal. Pertama karena menghadirkan pemandangan desa Komori yang indah. Kedua, karena menghadirkan masakan yang diambil dari bahan lokal. Dalam tiap musim, Ichiko memasak beberapa masakan yang kerap disesuaikan dengan musim. Misalkan ketika musim salju datang, Ichiko membuat sup kacang merah yang dipadukan dengan mochi dan natto (fermentasi kacang kedelai). Atau ketika musim semi yang hangat berkunjung, dia membuat bakke miso, makanan klasik Jepang berbahan bunga fukinotou yang selalu tumbuh di tanah ketika musim semi.
Hal menarik lain adalah karena film ini berhasil menghadirkan, apa ya, semacam imaji bahwa hidup di desa itu menyenangkan. Kamu bisa makan dari hasil alam. Makan nasi yang diambil dari lahan sendiri. Memancing ikan di kolam yang kamu isi sendiri. Memetik wortel dari kebun sendiri. Di negara maju seperti Jepang, gaya hidup seperti ini mulai ditinggalkan tapi sekaligus dirindukan. Ichiko tak pelak mengalami hal yang sama.
Suatu ketika, saat buah tomat mulai memerah dan siap panen, seorang nenek di desa itu menasehati Ichiko untuk membuat rumah kaca bagi tomat-tomatnya. Sebab tomat rawan rusak kalau terkena air. Ichiko tak mau melaksanakan saran itu. Dengan gumun dia berkata dalam hati, “Kalau aku membangun rumah kaca untuk tanaman-tanamanku, ini artinya aku harus tinggal di sini selamanya.”
Rumah kaca dianggap sebagai pengikat bagi Ichiko yang sebenarnya juga masih gamang untuk tinggal di Komori dalam kurun yang lama. Di sana memang menyenangkan. Suasana desa yang alami, makanan tinggal ambil. Namun di sisi lain, penduduk mudanya merasa teralienasi.
Di Komori, penduduk mayoritas adalah mereka yang berusia sepuh. Anak-anak muda seperti Ichiko maupun Yuta dan Kikko — dua kawan Ichiko sedari kecil– adalah kelompok minoritas. Yuta pernah tinggal di kota besar juga, namun memutuskan untuk kembali dan hidup di kampung halamannya.
“Di kota banyak orang bermulut besar. Mereka ngomong apa yang tak mereka ketahui. Di Komori, orang ngomong apa yang mereka tahu saja. Ketika aku pergi dari sini dan bertemu orang-orang di kota, aku jadi sadar kalau orang-orang Komori sangat pantas aku hormati,” kata Yuta.
Karena tulisan ini tak dimaksudkan untuk jadi resensi, maka saya cukupkan ceritanya sampai di sini saja. Babagan tentang resensi film ini akan saya tulis lebih panjang kalau sedang senggang nanti. Sekarang saya cuma mau cerita salah satu adegan favorit saya, ketika Ichiko bicara soal tomat.
“Tomat itu tanaman yang kuat. Bahkan ketika bijinya disebar begitu saja, mereka akan berkecambah dan tumbuh di tahun berikutnya. Kalau kamu mengabaikannya saja, dahannya akan terus tumbuh. Seperti hutan.”
“Tomat yang didinginkan pada musim panas itu sangat menyegarkan. Tomat juga sangat penting bagi masak memasak.”
“Aku memanen tomat yang sudah matang, mengupasnya lalu merebusnya. Kemudian aku masukkan tomat itu ke dalam toples, kembali direbus agar steril. Dan tomat siap disimpan.”
“Pada musim dingin, aku memasukkan tomat itu ke dalam kari dan spaghetti. Aku juga memasukkan tomat ke dalam kulkas dan kadang aku makan langsung. Enak sekali.”
“Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa tomat.”
Ketika Ichiko mengucapkan kalimat terakhir itu, saya langsung mendadak ingat sambal terasi yang dibuat dari tomat ataupun ranti yang dipetik dari kebun kecil di depan rumah. []