Rock Purba Ala Kelompok Penerbang Roket

Ada yang istimewa dan menghangatkan hati ketika melihat Kelompok Penerbang Roket memainkan “Bento” di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II Cipinang, Jakarta. Aura mereka ketika bermain, juga respons penonton yang bersemangat, mengingatkan saya saat BB King bermain di depan ratusan narapidana di Penjara Cook County.

Dalam Mati Muda, film dokumenter pendek yang mereka buat untuk gigs di Cipinang, keintiman itu berasa nyata. Beberapa orang narapidana mengeluarkan testimoninya. Mereka sama sekali tak menjilat atau mencari muka. Apa yang mereka katakan, adalah hasil dari apa yang mereka saksikan.

“Luar biasa musiknya mas! Tadi kehibur banget”

“Mantap mas! Soalnya saya juga penggemar rock.”

“Memang dibutuhkan musik-musik yang energik seperti ini. Menghilangkan melamun-melamun.”

“Walaupun saya gak tahu lagu-lagunya, tapi sudah ikut bergembira aja. Karena musik rock jarang kita dengar.”

“Ya semoga KPR ini sukses. Karena band-band rock di Indonesia ini sudah mulai jarang.”

Kelompok Penerbang Roket, selanjutnya disingkat KPR, memainkan musik rock purba. Ini tentu istilah suka-suka saya. Mengenali musik rock macam ini cukup gampang: gitar bersuara kotor, dentuman drum susul menyusul, solo gitar yang panjang dan memancing tepuk tangan dengan gerakan menyembah, dan tak ada efek atau peralatan macam-macam. Tipikal musik rock yang hantam dulu, nanya belakangan.

Tapi tentu kamu boleh saja menyebut mereka sebagai band garage yang terlambat keluar, karena garage revival sudah tuntas bertahun lalu. Tapi menurut saya, mereka jelas lebih dari sekadar band garasi yang mengumbar distorsi berlebihan dan pola rambut yang diberantakin agar mirip Julian Casablancas.

KPR menarik musik mereka lebih dalam, lebih ke era lampau. Pengaruh Jimi Hendrix ataupun The Who, sedikit kentara. Terutama pada permainan drum Viki Vikranta yang sepertinya terpengaruh Mitch Mitchell dan Keith Moon.

Tapi nyatanya mereka lebih terpengaruh oleh gerombolan rocker dalam negeri. Sebut saja AKA, Duo Kribo, atau Panbers. Nama Kelompok Penerbang Roket sendiri dicomot dari judul lagu “Mencarter Roket” milik Duo Kribo, yang terdiri atas Ahmad Albar dan Ucok Harahap. Sebagai penghormatan kepada para pendahulu, KPR bahkan pernah merilis album penghormatan pada Panbers.

Apa yang menarik dari KPR sebenarnya latar belakang para personelnya. Dalam berbagai wawancara, band yang terdiri atas John Paul Patton alias Coki (bass dan vokal), Rey Marshall (gitar), dan Viki Vikranta (drum) ini tak segan bercerita tentang persinggungan antara Rey dan Viki dengan dunia narkotika, terutama ganja. Rey bahkan sempat dua kali ditahan polisi dan menjalani rehabilitasi.

Pengalaman ini seperti memberi unsur kedekatan dengan dunia di balik jeruji. Penampilan di LP Narkotika Cipinang itu menunjukkannya. KPR seperti bermain di rumah, di depan para saudara sedarah.

Bulan Mei lalu, KPR akhirnya merilis album perdana, Teriakan Bocah. Saya membelinya di Lawless secara tak sengaja. Sempat tak mengenali album ini karena tak ada petunjuk apapun selain judul album, yang untungnya saya ingat. Ini sebenarnya langkah kurang baik untuk band baru. Ah tapi sudahlah.

Ada tujuh lagu di album ini. Semua menghadirkan apa yang mereka sebut sebagai “rock Indonesia”, walau belum jelas seperti apa rock Indonesia yang mereka maksud. Mungkin musik rock yang menggambarkan kehidupan Indonesia melalui lirik berbahasa Indonesia? Anggap saja begitu.

Perjalanan rock Indonesia ala KPR ini dibuka dengan “Anjing Jalanan”. Tak ada intro. Langsung hajar bleh. Sama seperti judulnya, lagu ini berkisah tentang bajingan jalanan yang membuat resah banyak orang karena “…berbuat kerusuhan demi kepuasan, jalani kehidupan dengan kekerasan”.

Video klip lagu ini cukup berhasil menggambarkan sosok dalam lagu. Para personel KPR berjalan-jalan dengan baju yang tak biasa, dan orang-orang melihat mereka dengan pandangan aneh.

Lagu “Di Mana Merdeka” cukup asyik dan menohok. Lagu ini menyentil orang, atau malah band, yang kerap mendaku diri sebagai berbeda, padahal sama saja dengan gerombolan manusia lain. “Di mana mereka, mereka yang beda? Apa masih ada yang merdeka?”

Cerita menarik juga datang dari “Target Operasi”. Lagu ini ditulis Anda Perdana, eksponen musik dekade 1990-an yang kini aktif di Matajiwa. Lagu ini awalnya ditulis untuk proyek solonya. Namun berakhir di tangan KPR, dengan musik yang diubah drastis. Lebih kotor, mentah, dengan suara gitar yang kering dan kasar.

Lagu ini ibarat nubuat bagi Rey yang kemudian menjadi target operasi polisi karena kasus narkotika. Karena itu, lagu ini bisa jadi terasa lebih dekat dengan KPR dibandingkan 6 lagu lainnya.

“Mati Muda” kembali menabalkan benang merah rock era 1970-an dengan intro yang Black Sabbath-esque.

Rey menunjukkan sisi kesatria bergitar melalui lagu sonder lirik, “Cekipe”. Pada dua menit terakhir, Rey seperti mengamuk dan kerasukan arwah Hendrix dan Stevie Ray. Menghajar efek reverb dan wah secara bergantian. Jika mendengarkan lagu ini dengan tutup mata, Rey seperti muncul dalam bayangan. Memakai ikat kepala tye dye, ia turut memejamkan mata dan memainkan gitar seperti mengalami orgasme.

Tentu saja album ini memiliki kekurangan. Seperti penggarapan sampul yang sama sekali tak maksimal. Kasus seperti salah urutan lagu harusnya tak terjadi, dan sayangnya terjadi.

Tapi secara keseluruhan, album ini memberikan pengalaman rock purba yang menyenangkan. Apalagi semakin jarang yang memainkan lagu macam ini, terutama sejak surutnya gerakan garage revival.

Teriakan Bocah rasanya salah satu kandidat album lokal terbaik tahun ini. []

Leave a Reply

Your email address will not be published.