Rujak Sang Maestro

Beberapa hari lalu, saya mendengar kabar nestapa. Mbah Minah, maestro rujak di Jember, berpulang ke rumah abadi. Ia sudah berjualan rujak selama lebih dari 50 tahun. Hingga sekarang, rujak Mbah Minah adalah rujak tersedap yang pernah saya makan.

Kebetulan, beberapa tahun silam, saya pernah menulis tentang rujak Mbah Minah untuk majalah Tegalboto. Sayang, saya tak punya soft copy-nya. Untung saya masih punya majalahnya. Jadi tulisan lawas itu saya ketik ulang, dengan sedikit perubahan sana sini. Dan untung pula, Mico masih punya foto Mbah Minah. Meski hanya satu yang tersisa. Itupun dipajang di Facebook. 

Jadi tulisan ini saya unggah untuk mengingat semangat hidup Mbah Minah yang nyaris tak pernah padam. Selamat jalan Mbah Minah, sampai bertemu lagi kelak…
***
Sang Maestro
“Mbah ini orang goblok le. Mbah gak bisa baca tulis,” kata Mbah Minah suatu ketika.
Mbah Minah adalah pendiri rujak Mbah Minah, rujak yang lantas dikenal seantero Jember. Beliau adalah contoh orang-orang yang lahir pada zaman penjajahan. Mereka tak tahu tanggal lahir, tahun lahir, apalagi baca tulis. Mbah Minah sudah berusia senja, dengan kerutan yang menghiasi seluruh jengkal kulit. Macam rajah yang menghiasi tubuh Tommy Lee, sang drummer Motley Crue yang nyaris tak punya sejengkal sisa kulit tanpa tato.
“Mbok Minah punya empat anak. Yang pertama sekarang kerja di Perumka,” kata Ratmini, anak kedua Mbah Minah.
Ratmini yang berusia 51 tahun* adalah anak sekaligus asisten Mbah Minah. Ia terkadang membantu Mbah Minah mengulek bumbu rujak.
Perempuan yang suka sekali tersenyum ini punya kebiasaan unik. Ia selalu memanggil tamu laki-lakinya dengan sebutan Gus, sebuah panggilan kehormatan untuk para lelaki. Ini sekaligus pertanda bahwa ia selalu menaruh tamu dalam posisi yang terhormat, meskipun berusia muda.
Ratmini seringkali disebut sebagai penerus Mbah Minah. Walau sebenarnya istilah penerus itu tidak tepat. Karena Mbah Minah masih mengontrol semua produksi rujaknya.
Mulai dari belanja ke pasar, memilih bahan baku seperti petis; kedondong; mangga; hingga cingur. Ratmini sampai sekarang diberi tugas untuk mengulek, kegiatan yang menguras tenaga, sesuatu yang agak sulit dilakukan Mbah Minah di usia yang sudah senja.
“Tapi untuk ke pasar, saya sendiri Gus yang belanja. Kalau saya gak ke pasar,, saya tidak bbisa bertemu pacar-pacar saya,” kata Mbah Minah sembari tertawa keras. Menampakkan gigi yang tinggal satu dua.
Pacar yang ia maksud adalah tukang becak dan para penjual bahan baku rujak. Saya tertawa kecil sembari membandingkan Mbah Minah dengan Rodiyah, nenek Si Doel dalam serial Si Doel Anak Sekolahan. Rodiyah yang sudah berusia senja juga acapkali genit. Tentu dalam konteks bercanda. Dan tentu saja tak ada yang menganggap kegenitan seorang nenek sebagai sebuah keseriusan.
Selain semangatnya untuk pergi ke pasar, Mbah Minah selalu membanggakan giginya yang sudah tinggal 5 biji itu. Ia menganggap gigi yang berjumlah sedikit itu sebagai penanda bahwa ia masih bayi.
“Orang-orang selalu bilang kalau saya kerok (tua), tapi saya masih bayi!” katanya sembari menunjuk giginya. Tawanya berderai.
Sejarah rujak Mbah Minah sudah dimulai sejak lebih dari 50 tahun. Hal yang membuat sulit untuk mengidentifikasi awal mula rujak ini adalah ketidaktahuan Mbah Minah akan tahun.
“Dulu waktu saya awal jualan, masih pakai uang ketengan (l0gam) dan uang kertas yang bergambar pohon kelapa,” kata Mbah Minah mengingat periode awal ia berjualan.
Yang pasti, Mbah Minah sudah mulai berjualan sebelum ia punya anak. Sedangkan anak pertamanya sekarang sudah lebih dari 60 tahun. Jadi bisa dikira sendiri sudah berapa lama Mbah Minah berjualan rujak.
Mbah Minah adalah penduduk asli pulau Madura. Ayahnya adalah pedagang tembakau di Jember. “Setiap sebulan sekali dia pulang ke Madura. Kalau gak sempet ya dua bulan sekali pulang,” kata Mbah Minah.
Karena intensitas bertemu yang jarang, Mbah Minah akhirnya diajak pindah ke Jember oleh sang ayah. Hal ini juga didorong oleh meninggalnya ibunda Mbah Minah. Saat itu Mbah Minah baru saja belajar berjalan.
Mbah Minah sedikit menerawang saat menceritakan masa kecilnya. Meski samar, ia ingat beberapa penggalannya. Seperti kemiskinan yang mendera. “Mbah dulu hanya makan nasi jagung, sayur daun singkong, dan ikan asin,” katanya sembari tersenyum.
Selepas pindah ke Jember, hidup baru Mbah Minah pun dimulai. Keluarga kecil itu berpindah-pindah. Rumah pertamanya di daerah Patrang. Kemudian pindah ke daerah Sawahan. Hingga ke W.R Supratman, tempat tinggal Mbah Minah sekarang, yang sekaligus menjadi tempat berjualan.
Tempat berjualan ini sederhana saja. Namun hangat. Sebelum konsep open kitchen menjadi tren, Mbah Minah mungkin sudah mendahuluinya. Pembeli bisa melihat dengan jelas Mbah Minah dari balik lemari kaca tempat ia menaruh bahan-bahan rujak. Di sana hanya ada dua buah meja panjang dan beberapa kursi.
Wadah menaruh bahan rujak juga sederhana. Kotak kayu dua tingkat berwarna biru yang catnya sudah mulai memudar. Cobeknya pun tak kalah tua dengan umur Mbah Minah. Ia membeli cobek batu berat luar biasa itu dari seorang pedagang keliling, hampir 60 tahun yang lalu. Untuk penerangan sekaligus pengusir lalat, Mbah Minah menaruh sebuah lampu teplok kecil yang cahayanya berpendar lemah.
Semua kesederhanaan warung Mbah Minah ini adalah anomali dari semua teori pemasaran yang mengatakan tempat strategis adalah kunci larisnya sebuah produk. Bagaimana tidak, untuk menuju ke warung ini harus melewati gang sempit yang hanya cukup dilewati satu motor saja. Itu pun harus dituntun. Tapi itulah, dengan reputasinya sebagai rujak terlezat, pembeli pun rela datang. 
Selain itu, satu kunci untuk bisa menikmati rujak Mbah Minah adalah: sabar.
“Kalau beli di sini harus sabar antri Gus, harus bisa menahan lapar,” kata Mbah Minah sembari terkekeh kocak.
Puncak arus pembeli Mbah Minah adalah jam makan siang. Biasanya pembeli harus menunggu satu jam. Lapar biasanya keburu minggat kalau sudah begini.
Menginjak remaja, Mbah Minah mulai ikut membantu sang ayah mencari uang. Ia menjual buah-buahan untuk para buruh di sebuah pabrik Sabun di daerah Sawahan. Entah bagaimana ceritanya, para buruh pabrik itu merayu Minah muda untuk berjualan rujak.
Ia pun terbujuk rayu. Akhirnya ia mulai mencoba berjualan rujak. Ia membuat resepnya sendiri. Trial and error. Hingga akhirnya mendapatkan signature taste, seperti sekarang ini. Nyaris tak berubah sejak lebih dari setengah abad lalu.
“Mbah bersyukur Gus, meski Mbah Minah gak bisa baca tulis, tapi pengeran (tuhan) ngasih saya bakat bikin rujak, anak saya juga bisa sukses. Alhamdulillah,” kata beliau sembari menyilakan saya meminum es blewah yang sudah disajikan sedari tadi.
Berkat ketrampilan tangan Mbah Minah, anak-anaknya memang sudah sukses. Anak pertamanya sekarang bekerja di PT KAI. Anak kedua, Bu Ratmini, setia menjadi rujak apprentice membantu sang ibu. Anak ktiga menjadi pegawai di PTPN Banjarsari, Jember. Sedangkan sang bungsu menjadi guru di sebuah SMA swasta terkenal di Jember.
Apa yang melatari sebuah usaha makanan bisa bertahan puluhan tahun? Konsistensi rasa, itu jelas. Namun itu saja sebenarnya tak cukup. Setidaknya bagi Mbah Minah. 
“Saya bisa bertahan jualan lama karena saya suka uang!” kata Mbah Minah tergelak.
Mbah Minah sangat menyayangi cucu-cucunya. Ia memberikan kasih sayang, selain dalam bentuk perhatian, juga dalam bentuk paling purba: memberi uang jajan.
“Kan kasihan kalau mereka mau jajan, tapi saya gak bisa ngasih uang jajan,” timpal Mbah Minah lagi.
Saat ini cucu tertua Mbah Minah adalah Fitria, yang sudah punya satu anak berusia 8 tahun. Fitria kadang membantu Mbah Minah. Mengiris buah atau membuatkan minuman.
Selain itu, dedikasi yang luar biasa adalah salah satu kunci rujak Mbah Minah bisa bertahan. Bagimana tidak, setiap pagi, Mbah Minah rutin ke pasar. Ia juga dengan senang hati berinteraksi dengan banyak orang. “Untuk melawan kepikunan,” tuturnya.
Sedangkan untuk rasa, Mbah Minah punya standar mutu yang tinggi. Karena itu ia mengontrol semua produksi rujaknya.
“Rahasia rujak enak itu ada di petis,” kata Mbah Minah.
Ia lalu beranjak sebentar dari dapur, lalu mengambil satu toples besar berisi pasta kental berwarna hitam. Itulah petis.
Bagi yang belum tahu, petis adalah pasta kental yang terbuat dari udang. Ini adalah komponen utama dalam banyak makanan di Jawa Timur. Mulai dari rujak, tahu campur, hingga kupang.
Untuk rujaknya, Mbah Minah menggabungkan dua jenis petis: petis hitam dan petis madura. Sesuai namanya, petis hitam berwarna hitam pekat, dan petis Madura berwarna cokelat tua dengan rasa lebih asin. Memadukan petis ini juga tricky. Mbah Minah tak pernah memakai petis dengan kualitas terbaik. Ia mencampurkan antara petis kualitas terbaik dengan kualitas semenjana. Bukan untuk mendapatkan untung besar, tapi agar rasanya pas.
“Kalau pakai petis yang bagus semua, rasanya malah gak enak,” kata Mbah Minah.
Harga petis kualitas terbaik ukuran toples besar, atau setara dengan timba kecil, berkisar antara 300 ribu rupiah. Mbah Minah biasanya membeli petis di Pasar Tanjung, pasar terbesar di Jember. 
Selain petis, kunci lain dari rujak enak Mbah Minah adalah cuka. Andalan Mbah Minah adalah merk Kura-kura. Ia menuturkan kalau tidak memakai merk itu, maka rasa juga akan berubah drastis.
“Perbandingannya, satu botol cuka dibagi sama rata dalam  3 botol berukuran sama. Lalu ditambahi air sampai botol penuh,” ujar Mbah Minah membuka rahasia.
Pada dasarnya, rujak Mbah Minah adalah rujak khas Madura yang menyertakan buah-buahan seperti kedondong atau mangga. Pernah satu kali saya beli rujak di Madura, yang bahkan menyertakan buah jambu monyet dalam rujak.
Selain itu, cingur merupakan elemen vital dalam rujak khas Jawa Timur, sama seperti rujak Mbah Minah. Sayangnya, cingur merupakan makanan yang termasuk acquired taste. Alias makanan yang tak serta merta cocok bagi lidah semua orang. 
Banyak orang keburu jijik membayangkan mulut sapi dijadikan bahan makanan. Padahal jika diolah dengan benar, congor sapi ini bisa lembut luar biasa. Walau masih menyisakan tekstur kenyal yang memberikan sensasi menyenangkan di mulut.
Rujak Mbah Minah unggul di cingur. Lembut dan tak ada bau amis. Apalagi bulu-bulu halus yang biasanya menempel, hilang sama sekali. Nihil.
Mbah Minah punya penjual cingur langganan. Ia selalu memesan setiap hari. Jadi cingurnya selalu segar. Harga sekilo cingur mentahan (belum dibersihkan) adalah 25 ribu rupiah. Kalau yang sudah matang, alias sudah bersih dan sudah dikukus, harganya 30-35 ribu rupiah.
Mbah Minah biasanya membeli yang masih mentah. Cingur itu lalu dibersihkan dengan cara disikat. Nah, disini proses yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Mbah Minah juga teliti dalam membersihkan, sehingga tak ada sisa bulu-bulu halus yang menempel. Setelah itu cingur baru direbus hingga empuk.
“Cinur sapi jantan dan cingur sapi betina itu beda lho, Gus,” kata Mbah Minah, “kalau sapi jantan proses masaknya jauh lebih mudah. Cukup kukus selama 2-3 jam saja. Kalau cingur betina, 7 jam ngukus belum tentu empuk.”
Saya tertawa mendengar cerita itu. Saya lalu berpikir mbeling Dimana-mana perempuan/ betina itu sama saja. Sama-sama keras, cerewet, dan susah dibikin senang. Karena itu mengukusnya pun lebih lama.
“Mungkin ini ada kaitannya sama perempuan yang lebih cerewet ketimbang laki-laki ya?” tanya Ratmini tiba-tiba.
Saya ngakak.
Melihat proses Mbah Minah membuat rujak adalah sebuah kesenangan tersendiri. Ia melakukan semuanya secara perlahan dan penuh perhitungan. Tak ada kecekatan yang berlebihan. Sabar lebih dipentingkan di sini.
Sebagai proses awal, Mbah Minah mengambil setangkup kacang tanah yang sudah disangrai dari dalam toples seng. Kemudian dengan tenang ia  mengiris pisang kluthuk. Secara perlahan, perempuan anggun ini mengoleskan petis hitam atau madura pada ulekan. Arkian, ia menaburkan sejumput garam. Lantas meneteskan cuka. Setelahnya, sedikit air diguyurkan.
Ratmini lantas menguleknya dengan penuh tenaga. Lengannya besar. Lengan yang sudah terlatih tahunan mengulek rujak. Kontras dengan lengan Mbah Minah yang sudah mengecil dan hanya tersisa gelambir kulit membungkus tulang.
Bahan isinya macam Nusantara: berbeda namun tetap satu jua. Mulai dari lontong, kecambah, kedondong, tempe, tahu, ketimun, cingur, mangga, dan sayuran hijau. Itu semua diikat oleh bumbu rujak yang nutty dan gurih.
Ada dua pilihan rujak. Rujak hitam, yang berwarna gelap; atau rujak Madura, yang berwarna lebih terang dengan rasa asin yang lebih menonjol. Saya pribadi lebih suka rujak Madura yang menonjolkan rasa asin.
Rasa rujak Mbah Minah = out of this world. Mungkin salah satu rujak terbaik dan terenak yang pernah saya makan. Mengetahui proses dibalik tersajinya satu porsi rujak ini, membuat rasa eco berlipat ganda. 
Lontongnya empuk dan pulen. Kedondong dan mangga memberikan rasa asam yang merangsang kelenjar sativa memproduksi liur dan merangsang nafsu makan. Dan cingurnya, subhanallah ya rasulullah… Empuk sekali, sonder bulu halus. Menunggu lama pun terbayar sudah.
Kalau boleh menganalogikan rujak dengan orkestra, rujak Mbah Minah adalah orkestra terbaik dengan musisi terbaik, yang akan menjamin kepuasan lahir batin bagi sang penikmat.
Dan bagi saya, Mbah Minah, adalah maestro dirijen terbaik yang pernah ada. []
Post scriptum:

* Saya pertama kali menuliskan artikel ini pada tahun 2009. Saat itu usia Ratmini masih 51. Sekarang berarti usianya sudah 56 tahun.

One thought on “Rujak Sang Maestro

Leave a Reply

Your email address will not be published.