Sebuah Senandung Pendustaan

Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah kabar sendu. Sinar Syamsi, anak M. Arief –pencipta lagu “Genjer-genjer”, hidupnya masih menderita. Ia berkali-kali di PHK, hingga terpaksa tinggal berjauhan dengan anak istri. Semua hanya karena ia anak M. Arief, pencipta lagu yang dianggap sebagai lagu kebangsaan PKI. Berita sedih itu bisa dibaca di sini
 
Membaca berita itu, saya jadi ingat pernah ke Banyuwangi di akhir tahun 2010. Saya mewawancara Andang CY, seorang budayawan Banyuwangi yang pernah dipenjara bareng M. Arief. Kami berdua berbincang cukup lama soal Lekra, lagu “Genjer-genjer”, kehidupan M. Arief, hingga mencekamnya Banyuwangi kala peristiwa 1965 terjadi.
 
Obrolan itu saya jadikan bahan tulisan untuk sebuah lomba tentang tragedi 1965. Tulisan itu saya unggah lagi di blog ini. Untuk menghormati M. Arief, sanak keluarganya, juga para korban tragedi berdarah itu. Semoga tak ada lagi peristiwa menyedihkan macam ini lagi.
***
Pria tua berkacamata itu duduk di sofa rumahnya yang sejuk. Kacamata yang digunakannya tampak memantulkan apa yang ia ingat dan ia kenang. Sebuah sejarah dimana kebenaran dan keadilan seakan tak ada artinya.Pria berambut putih itu adalah Andang CY, seorang budayawan Banyuwangi. Hampir sebagian besar kisah hidupnya tercatat di Banyuwangi. Termasuk kisah hidup yang ia lewatkan bersama M. Arief, sang pencipta lagu “Genjer-genjer” yang fenomenal itu.

Bersama Arief, Andang muda yang saat itu menjadi salah satu anggota Lekra disel di Penjara Lowokwaru selama 106 hari tanpa melalui proses pengadilan sebelumnya. Setelah itu ia dipindahkan ke Banyuwangi. Namun tidak halnya dengan Arief. Menurut pengakuan aparat, Arief dipindahkan ke lapas di Sukabumi. Namun kenyataan tidak berbicara demikian.

“Ia ‘diselesaikan’ ,” kata Andang pada saya, lirih.

Diselesaikan adalah istilah yang ia pakai untuk menyebut dibunuh. Hingga sekarang, mayat maupun kuburan M. Arief tidak pernah ditemukan.

Andang dan Arief hanyalah dua dari jutaan orang yang menjadi korban pendustaan sejarah.

***

Sejarah membuktikan bahwa lagu adalah salah satu medium perlawanan dan kritik yang paling ampuh. Hardeep Phull menuliskan dalam bukunya yang fenomenal, A Reference Guide to the 50 Songs That Changed the 20th Century, bahwa ternyata protes dan kritik sosial dalam lagu bisa turut peran mengubah sejarah. Mulai dari lagu “We Shall Overcome”, “Revolution”, “War Pigs”, hingga lagu “You Gotta Fight for Your Right”.

Sayang, Hardeep tidak memperluas observasinya hingga ke daratan Asia. Kalau saja ia memperlebar jangkauan pengamatan hingga Asia, maka bisa jadi ia akan memasukkan “Genjer-genjer” sebagai salah satu dari 50 lagu tersebut. Lagu itu bukanlah sekedar lagu. Ia memuat kepentingan politik dan propaganda di dalamnya. Begitu dahsyatnya pengaruh lagu itu, bahkan hingga sekarang “Genjer-genjer” masih membawa stempel komunis.

Genjer dan Komunisme

Genjer adalah sejenis tumbuhan yang lazim digunakan sebagai makanan ternak. Namun pada jaman penjajahan Jepang, para rakyat yang kelaparan akhirnya memetik genjer untuk kemudian dijadikan makanan.

Fenomena itu akhirnya ditangkap oleh Arief, seorang seniman Using yang kelak bergabung dengan Lekra, dan dijadikan lagu berbahasa Using berjudul “Genjer-genjer”.

Arief menciptakan lagu ini pada tahun 1942.

“Genjer-genjer” menjadi populer ketika dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani pada tahun 1962. Kepopuleran lagu ini lantas dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia untuk berkampanye. Lagu yang menggambarkan penderitaan masyarakat desa ini lantas kembali populer di kalangan akar rumput. Begitu lekatnya lagu ini dengan PKI, maka stempel sebagai lagu komunis pun melekat.

Ketika peristiwa G 30 S terjadi, lirik lagu itu diplesetkan. Kalimat genjer-genjer diganti dengan jenderal-jenderal. Seiring dengan pembelokan sejarah yang terjadi pada peristiwa G 30 S, lagu ini pun turut menjadi korbannya.

Lagu ini dianggap sebagai lagu yang mengiringi orang-orang PKI membantai para jenderal di Lubang Buaya.

Saat itu beberapa media seperti Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, menulis bahwa PKI membantai para jenderal dengan sadis. Ada yang dicongkel matanya, wajahnya disilet, hingga kemaluan yang dipotong.

Lalu ada bumbu para Gerwani yang menari telanjang –yang disebut tarian Harum Bunga—sembari menyanyikan lagu Genjer-genjer.

Propaganda akan kesadisan yang dilakukan PKI membuat rakyat Indonesia marah. Maka terjadilah sejarah kelam dalam buku besar bernama Indonesia: pembantaian anggota PKI.

Tercatat 1 hinga 1,5 juta orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI dibunuh. Dalam artikel berjudul Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant, Ben Anderson, seorang Indonesianis, mengutip perkataan Sarwo Edhi Wibowo, mengatakan bahwa korban pembantaian mencapai 3 juta orang.

Propaganda politik itu lantas diperkuat dengan adanya film Pengkhianatan G 30/S PKI (1984) yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Film itu lantas wajib ditayangkan di televisi pada tiap malam 30 September. Film ini kemudian berhenti tayang sejak 1998.

Saya masih ingat betapa mengerikannya Gerwani dan para pasukan komunis yang menyanyikan lagu itu dalam film G 30/S PKI. Saya yang saat itu masih duduk di bangku SD bergidik ngeri ketika salah seorang dari Gerwani itu sembari memegang silet, berkata “Darah itu merah Jenderal!” lantas menyilet muka sang jenderal. Darah bercucuran. Sementara di luar para Gerwani dan konco-konconya terus menyanyikan lagu “Genjer-genjer” dengan ekspresi muka yang membuat berdiri bulu roma.

Bagi seorang  anak SD yang begitu mudah dibohongi dan menganggap dunia itu hanya hitam dan putih, tentu saja cerita itu sungguh mengerikan. Tertanam dalam pikiran bahwa PKI itu kumpulan manusia paling biadab. Pula, komunis itu anti terhadap tuhan.

Saat itu saya dan juga jutaan orang Indonesia lain tidak sadar bahwa kami adalah korban pendustaan sejarah. Sebuah kebohongan besar yang dirancang dengan sistematis dan berskala gigantis.

Sejarah dan Apa yang Terhampar di Depan

Setelah Orde Baru tumbang, maka perlahan luka lama yang tertutup kembali dibuka. Perih memang, tapi perlu agar luka tak terus bernanah. Sayangnya, pembeberan fakta dan sejarah sebagian besar hanya berkisar pada tatanan politis. Orang banyak berbincang tentang hal besar.

Hal kecil, macam lagu, jadi seperti diabaikan.

Hingga sekarang, nyaris nihil pelurusan sejarah tentang lagu “Genjer-genjer”. Sampai sekarang lagu itu dianggap sebagai lagu subversif, lagu para komunis.

Rudolf Dethu, seorang propagandis rock n roll asal Bali pernah didatangi aparat karena memutarkan lagu “Genjer-genjer” di The Block Rockin’ Beats, sebuah acara radio alternatif yang ia asuh.Hal itu menunjukkan bahwa hingga sekarang, “Genjer-genjer” masih dianggap sebagai lagu yang berbahaya bagi stabilitas nasional.

“Saya mendapat teguran dari aparat karena menayangkan lagu ‘Genjer-genjer’ pada saat eksebisinya Adib Hidayat (jurnalis majalah Rolling Stone Indonesia). Biasalah, disuruh hati-hati karena bisa dianggap pro-PKI, subversif. Hari gini?” seloroh Dethu yang bernama asli Putu Wirata Wismaya ini.

“Genjer-genjer” memang hanya sekeping kecil dari mozaik besar pemberontakan PKI tahun 1965. Namun meskipun kecil, ia tetaplah satu kesatuan dari keping besar. Kalau yang kecil hilang, maka kepingan besar tak akan lengkap. Sudah seharusnya, agar kepingan mozaik itu lengkap, sejarah akan lagu “Genjer-genjer” dikenalkan pada khalayak ramai.

Genjer-genjer yang pernah berjaya pada masa lalu memiliki kesempatan untuk kembali populer. Mengusung tema kerakyatan, lagu ini sepertinya tak akan usang dimakan jaman. Lalu yang perlu diingat adalah musik memiliki kekuatan untuk menarik atensi masyarakat.

Musik merupakan salah satu media yang paling tepat untuk belajar sejarah.

Ketimbang belajar di buku sejarah yang seringkali membuat ngantuk, musik memiliki kesempatan besar untuk mengajarkan sejarah pada anak muda.

Saya berpikir, kenapa para anak muda yang menaruh minat pada musik tidak mengaransemen kembali Genjer-genjer? Saya pikir, pengenalan lagu bersejarah ini dan sejarah yang mengiringinya perlu dilakukan, terutama oleh para anak muda yang memang seharusnya melek sejarah.

Pemerintah  harusnya menggalakkan pelurusan sejarah. Pelurusan itu jelas membutuhkan waktu yang tak sebentar.

Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata juga seharusnya bekerja sama dengan Kementrian Pendidikan Nasional untuk menuliskan sejarah yang benar mengenai lagu “Genjer-genjer”.

Bentuk kerjasama mereka bisa diwujudkan dalam buku sejarah. Buku sejarah terbukti bisa menanamkan doktrin yang sangat kuat, sama seperti ketika saya membaca bahwa PKI itu adalah kumpulan manusia biadab yang anti tuhan semasa SD dulu.

Sayang, sepertinya masih belum ada langkah untuk menuju kesana.

Saya pikir memang sudah saatnya “Genjer-genjer” dimasukkan ke dalam buku sejarah, dimana harus diujarkan bahwa lagu itu adalah sebuah lagu rakyat.

Sebuah lagu kritik sosial yang lantas didustakan menjadi sebuah senandung lagu kematian []

2 thoughts on “Sebuah Senandung Pendustaan

  1. ijin share masbro…..
    dari beberapa tahun yg lalu penasaran pengen ngerti isi “tiket dolan neng Jerman”-e sampean, tp sungkan arep njaluk…. maturtengkyu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.