Titik pertemuan kami dengan Dyah adalah di gerbang UNS. Dyah adalah kawan lama di dunia persma. Dia alumnus jurusan Komunikasi UNS. Oh ya, Dyah dulu sempat membuat hati seorang kawan cenat-cenut, tapi gak usah diceritakan disini lah, hehehe. Selagi menunggu Dyah datang, saya dan Panjul menyeruput es susu dan teh botol.
Dyah akhirnya datang. Rambutnya sekarang pendek, dan dia masih saja ramah.
“Ayo makan siang” ajak Dyah. Tapi dia malah bingung mau mengajak kami kemana. Akhirnya saya yang menentukan pilihan makan siang: Selat Solo. Pasti segar dimakan siang-siang terik macam hari itu. Panjul cuma menganggukkan kepala ketika saya ajak makan selat.
Selat Vien’s menjadi tujuan pertama kami dalam Solo Short Trip ini. Warung ini tampak selalu ramai pembeli. Selain menjual selat, ada menu sup matahari. Saya dan Panjul memesan selat Solo, Dyah memesan sup matahari.
Tak perlu menunggu lama, seporsi sup matahari datang. Sup ini berisi telur dadar yang berisi cacahan daging, wortel, dan jagung. Lalu sup yang berkuah bening ini juga diramaikan dengan potongan wortel, buncis, potongan kentang goreng kering, dan sosis.
“Kuahnya kurang kental nih” timpal si Panjul. Saya sih cocok-cocok saja dengan tingkat kekentalan kuah selat solo Vien’s ini. Meskipun kuahnya tak kental, tapi rasa bumbunya berani. Kalau terlalu kental, nanti malah mirip rolade atau bistik gelantine.
“Temen-temenku nyebutnya rica-kare Novotel atau Luwes. Soalnya ada supermarket luwes di depan warungnya.” kata Dyah menjelaskan tempat makan yang tak memiliki nama paten tersebut.
Warung ini serupa lesehan kalau di Jawa Timur. Di Yogyakarta disebut angkringan. Di Solo disebut hik. Apapun itu sebutannya, tak ada meja dan kursi. Cuma hamparan tikar plastik yang beberapa bagiannya mulai koyak karena terlalu sering ditindih pantat. Juga ada beberapa kudapan untuk jadi lauk tambahan, seperti tahu isi, perkedel, atau ceker.
Ada 2 menu di warung ini. Rica ayam atau kare ayam. Tapi para penggemar punya cara kreatif dalam memesan menu, yakni mencampur antara rica dan kare. Jadilah rica kare ayam, rica ayam yang diberi kuah kare.
Saya memesan rica. Panjul memesan kare. Dan Dyah memesan kare rica. Tak berapa lama, pesanan kami datang. Rica datang dengan tampilan yang menggoda. Nasi putih pulen disiram dengan kuah kuning kecoklatan lengkap dengan serpihan kulit cabai. Lalu potongan kecil ayam tampak matang sempurna, golden brown. Ketika saya menyuap, rasa gurih langsung menyergap. Tak ada rasa pedas yang saya bayangkan ketika mendengar kata rica.
“Emang gak pedes mas, kalau mau pedes tambahin sambal aja” kata Dyah sembari menunjuk sambal berwarna merah dalam wadah yang juga berwarna merah.
Saya menambahkan beberapa sendok sambal, lalu mencampurnya dengan nasi rica. Baru pedasnya kerasa. Cukup menyengat dan membuat kulit kepala gatal.
Sedangkan kare ayam bentuknya malah lebih mirip soto ayam. Dengan kuah yang berwarna kuning keruh, cacahan kubis dan seledri, serta seiris jeruk nipis, benar-benar bisa mengecoh mata. Apalagi ketika Panjul menambahkan perkedel, jadilah kare ayam itu makin mirip soto. Kalau kare rica? Saya gak tahu, sungkan mau nyicip punya Dyah, huehehe. Rasa sungkan itu makin bertambah ketika tahu kalau Dyah mentraktir kami. Kasihan sekali nasibmu Dyah, sudah “dipaksa” mengantar saya dan Panjul, masih bayarin makan malam. Hahaha.
Kare Rica Ayam |
Kare yang mirip soto |
“Diyah”, Mas Nuran… 😀
Agaknya si Diyah agak bingung ngajak makannnya, untung nggak jadi makan siang di Padang. hhhi… Besok bikin list makan di Solo lagi deh mas, kemarin kelupa belum nyobain Nasi Liwet.
oia, tempat makan kayak gitu juga disebutnya “lesehan” kok, HIK/wedangan itu lebih ke kayak angkringan di Jogja dengan menu utama nasi kucing dan aneka lauk-lauknya.