Di Restoran Pyongnyang, kamu bisa mencoba hidangan Korea Utara. Juga Aneka Ria Safari ala-ala.
Korea Utara dan para pemimpinnya mungkin adalah dua hal yang kerap disalahpahami. Media barat selalu menggambarkan negara itu, juga pemimpinnya, sebagai negara yang tertutup, misterius, menjalankan kediktatoran, dan segala macam sifat tak mengenakkan lainnya.
Saya lebih suka apa yang digambarkan Jonas Jonasson dalam buku fiksi menggelitik The 100 Year Old Man Who Climbed Out the Window and Dissapeared. Penulis Swedia itu mendeskripsikan sosok dua pemimpin Korut dengan komikal dan manusiawi. Kim Il Sung digambarkan sebagai pahlawan perang, jenderal kepala dingin, tak percaya siapapun, dan punya protokol menarik terhadap tamu asing. Sedangkan Kim Jong Il, sang anak, digambarkan sebagai orang yang punya bakat lahiriah sebagai pemimpin besar, agak emosional, sensitif, dan kemampuan otaknya tak cemerlang amat.
Siapapun yang ingin menghubungi Kim Il Sung, harus terlebih dulu menghubungi anak laki-lakinya. Kim Jong Il.
“Kamu harus membuat tamumu menunggu setidaknya 72 jam sebelum kamu menerima mereka. Begitulah caramu menjaga kekuasaan, anakku,” kata Il Sung.
“Aku rasa aku paham, Ayah,” kata Jong Il berbohong, setelah dia membuka kamus dan mencari kata yang tak dia mengerti.
Bisa jadi Jonas benar. Jong Il memang sensitif, bahkan mungkin cenderung gampang insecure. Selepas bapaknya meninggal dan dia naik tampuk jadi pemimpin besar Korut pada 1994, dia segera mengaktifkan kembali kebijakan Songun. Ini kebijakan yang menjadikan pembangunan militer sebagai prioritas utama.
Tak seperti banyak kisah lain tentang pembangunan militer untuk penaklukan, kebijakan Songun digerakkan lebih karena rasa tak aman yang dialami Jong Il. Dia takut kalau AS akan menyerang negaranya suatu hari nanti. Apalagi setelah imperium Soviet yang dianggap sebagai patron, runtuh pada 1991. Melihat rekam jejak AS yang hobi memulai perang, kekhawatiran itu jelas bisa dimaklumi.
Kebijakan ini membuat militer Korut kuat, sekaligus membuat AS was-was dan tak berani gegabah mencari gara-gara. Namun, karena sebagian besar uang Negara digunakan untuk membangun militer, pembangunan di sektor lain jadi terabaikan. Kisah gelap macam itu bisa kamu baca di banyak media.
Di antara semua kisah amis nan sangit tentang Korea Utara, raengmyeon menempati posisi yang berbeda.
Tanah Korea, sama seperti Jepang, punya mi dengan kuah kaldu yang disajikan dingin. Di Korea Utara akrab disebut raengmyeon. Di bagian Selatan namanya naengmyeon.
Tapi kisah mi dingin Korea berasal dari Utara. Bahkan Selatan yang kini jauh lebih digdaya dalam bidang apapun ketimbang saudara kirinya itu tak bisa menepuk dada. Mereka dengan malu-malu mengakui kalau mi pusaka itu memang berasal dari Utara. Dari babad Dongguksesigi, semacam kisah Tanah Jawa ala Korea, yang ditulis pada abad 19, raengmyeon diduga berasal dari daerah yang kini menjadi Pyongyang dan Hamhung.
Jika kawasan itu terlalu jauh untukmu, jangan khawatir, kamu bisa mencobanya di Jakarta.
Di ibu kota negara ini, kamu bisa menyantapnya di restoran Pyongyang. Ini satu-satunya restoran di dunia yang dikelola oleh Negara. Ada banyak dongeng tentang tempat ini. Walau sama seperti sebagian besar dongeng, sifatnya kerap tak bisa dipercaya begitu saja. Antara lain dugaan kalau restoran ini jadi tempat pencucian uang, atau jadi tempat transit para spion Korut.
Hingga kini, ada setidaknya 130 cabang Pyongyang di seluruh dunia. Mulai dari Cina, Vietnam, Malaysia, hingga Mongol. Semuanya dimiliki dan dioperasikan oleh Grup Haedanghwa, organisasi pemerintah Korut.
Di Indonesia, restoran ini sempat punya dua gerai, di Kelapa Gading dan di Gandaria. Namun sekarang tinggal di Kelapa Gading saja. Bisa dibilang Pyongyang adalah satu dari sedikit sekali perwakilan Korea Utara di Indonesia.
Saya datang ke sana di sebuah sore yang hangat bersama Panjul dan Yandri. Lucunya, di sebelah Pyongyang, ada restoran Korea Selatan yang berdiri dengan lebih mentereng dan mencolok mata. Lengkap dengan segala promo dalam baliho berukuran besar dan warna-warna cerah.
Sedangkan Pyongyang tampak lebih kalem. Hanya satu papan neon merah berukuran besar yang jadi penanda. Meski jauh berbeda, restoran perwakilan dua negara yang sedang bertikai ini berdampingan dengan santai dan damai. Saya membatin, andai saja perdamaian negara bisa hadir semudah menjejerkan restoran seperti ini.
Para pelayan Pyongyang didatangkan langsung dari Korea Utara. Semuanya perempuan, dan semuanya juga berbahasa Inggris dan Indonesia patah-patah. Kalau bingung, mereka hanya menjawab tidak tahu, atau I don’t know. Atau sekadar mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. Karena tujuan utama datang ke sana adalah mencoba raengmyeon, maka itulah yang kami pesan.
Sore itu, pengunjung Pyongyang hanya tiga orang pemuda yang tampak lusuh dan kelaparan. Ya kami ini.
Di dekat kursi, ada satu televisi layar datar yang memutarkan hiburan dari Korea Utara. Sekilas mirip Aneka Ria Safari yang populer di era 80-an, lengkap dengan resolusi layar 240p. Penyanyi perempuan berusia 40-an, memakai hanbok merah, bernyanyi lempang dengan diiringi irama musik yang terasa monoton. Penonton menyaksikan dengan senyum datar dan bertepuk tangan ketika sang biduan selesai bernyanyi. Tayangan ini diputar berulang-ulang hingga kami meringis bosan.
“Mungkin kalau negara kita menganut sosialisme, tayangan televisi kita ya kayak gini ya?” kata Yandri setengah bertanya.
Kami bertiga belum pernah ke Korea Utara. Namun bayangan tentang upaya keras-namun-terhuyung sosialisme untuk bertahan di sana, begitu menarik hati. Saya rasa kami tak sendiri. Manusia selalu diberkahi rasa ingin tahu. Kadang terlampau besar. Korea Utara yang berselimut misteri, tentu memancing rasa penasaran banyak orang. Pelancong, flaneur, antropolog, jurnalis, pecinta sosialisme, ataupun pemuja kapitalisme yang ingin menemukan bukti tak terbantahkan bahwa sosialisme sudah bangkrut.
Ryan Nee mungkin salah satunya. Dia pelancong asal Amerika Serikat. Kerja di sebuah lembaga yang bergerak di bidang inovasi sumber daya manusia. Sebagai orang yang punya ketertarikan ganjil terhadap daerah-daerah yang asing, wajar kalau Korea Utara adalah salah satu destinasi impiannya.
Maka pada musim panas 2014 lalu, Ryan, dengan dibantu biro travel Young Pioneer asal China, pergi ke Korea Utara. Pendiri Young Pioneer adalah Gareth, warga negara Inggris yang hingga dua tahun lalu sudah berpergian ke Korut hingga 46 kali. Sebagai biro perjalanan, mereka mengambil ceruk yang hanya berisi sedikit pemain: tur Korea Utara. Biro yang sudah berdiri sejak 2008 ini menjual berbagai paket wisata ke Korut dengan berbagai varian harga.
Ada paket bujet seharga 400-an Euro, hingga paket 10 hari 9 malam yang dibanderol 1495 Euro. Ada pula paket tur mengunjungi Rason, daerah timur laut Korea Utara yang berbatasan dengan Rusia dan Cina. Ini adalah kawasan perdagangan bebas, karenanya punya privilese mendirikan kasino (satu dari hanya dua kasino di seluruh Korut).
Jangan salah. Peminat ke sana cukup banyak. Seperti yang sudah saya bilang tadi, manusia memang selalu punya rasa ingin tahu. Setiap tahun, ada setidaknya 1.000 turis Barat yang datang ke Korea Utara. Sekitar 20 persennya berasal dari Amerika Serikat, negara yang Presidennya pernah menjuluki Korut sebagai negara iblis.
Meski keinginan melancong ke Korea Utara sudah diprotes keras oleh teman dan saudaranya –nyaris semua orang Amerika akan melakukannya– toh Ryan tetap berangkat.
“Kami mendarat di bandara yang berselimut halimun, membuat saya kesusahan melihat apa yang ada di luar jendela. Di antrian keluar pesawat, kami menggumam, campuran antara rasa senang dan grogi karena akan menginjak kawasan yang asing. Aku menengok menara pengawas penerbangan yang catnya pudar dan sudah bobrok, dan melihat segerombolan tentara mengenakan pakaian berwarna hijau zaitun dan memegang senapan. Ini nyata. Holy… shit… Aku ada di Korea Utara.”
Begitu kesaksiannya ketika pesawat yang ditumpanginya mendarat dengan keras di bandara Pyongyang.
Apa yang diceritakan oleh Ryan selanjutnya mungkin nyaris sama seperti apa yang ada di bayangan saya, Panjul, maupun Yandri. Korut itu tidak hitam putih. Warga sana ya sama saja dengan manusia lain di belahan dunia manapun. Butuh makan. Tidur. Juga berak. Senang bercanda. Bisa menangis. Dan selalu penasaran jika melihat orang asing.
Khusus bagi Panjul, perempuan Korut punya paras yang menarik, sama saja dengan perempuan manapun. Berkali-kali dia mencuri pandang ke seorang pelayan perempuan bertubuh sintal, dengan rambut dikucir kuda. Menjelang pulang, Panjul sempat merayunya untuk foto bersama. Tentu saja ditolak. Sebelum Panjul sempat menangis, saya sudah menariknya keluar restoran.
Selagi menunggu menu utama datang, para pelayan menyodorkan beberapa hidangan pembuka gratis yang disajikan dalam piring kecil. Selain kimchi sawi yang sudah populer –dan rasanya nyaris tak berbeda dengan kimchi ala Selatan, hidangan menarik lainnya adalah kimchi mangga. Mangga berusia muda yang sekal dan masam, dipotong julienne, kemudian dibalur dengan gochujang (pasta cabai merah). Menghadirkan rasa asam yang bercampur dengan pedas sedikit menyengat. Hidangan asam pedas macam ini sukses menghadirkan nafsu makan. Yang unik, ada pula kerupuk dan beberapa kerat ikan asin.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, raengmyeon datang dalam mangkuk besi berukuran besar. Mi-nya berukuran panjang, konturnya lurus. Cerminan dari filosofi umur panjang dan kemakmuran yang mengiringi. Di atas gulungan mi, ada tumpukan helai kimchi sawi, gochujang, potongan daging, timun, dan setengah butir telur rebus.
Kuahnya segar. Kaldunya ringan. Bagi orang yang terbiasa dengan ledakan rasa yang kaya atau rasa kuat dari MSG, raengmyeon ini akan terasa hambar. Namun bagi mereka yang suka rasa alami, kaldunya bisa bersinonim dengan kebahagiaan. Mi-nya berwarna pucat, bertekstur lebih kenyal ketimbang mi biasa. Maklum, ada campuran kentang yang membuat mi lebih liat.
Tak banyak pilihan minuman di sana. Yang standar adalah teh dingin Korea Utara, tak jauh berbeda dengan teh dingin yang disajikan di restoran Korea Selatan atau di restoran Jepang. Ada juga bir ala Korut. Yang mungkin tak akan kamu duga, di lemari pendingin dekat kasir ada jejeran kaleng Coca Cola.
Meski Pyongyang dikelola oleh negara, mungkin kebijakannya tak selalu melambangkan haluan politiknya. Jika Korut selama ini tampak berhati-hati terhadap Amerika Serikat, toh mereka jelas tak memusuhi produknya. Kalau ideologi Korea Utara bersebrangan dengan Amerika Serikat, dalam urusan boga mereka bisa saja akur.
Di Pyongnyang, restoran dengan renik peninggalan perang dingin berupa siaran televisi resolusi rendah, kamu bisa menyaksikan sisi lain Korut. Di sana kamu bisa menyaksikan Korut berjejeran dengan Korsel, lengkap dengan hadirnya Amerika Serikat dan kapitalisme dalam wujud sekaleng Coca Cola.[]