Selamat Menikah, Anam!

Saya beberapa kali berpikir kalau Khairul Anam adalah kawan yang bakal terakhir menikah di antara gerombolan Cah Ekspresi. Sebabnya adalah reputasi.

Ini tentu saja guyonan, yang terus-terusan diulang sehingga jadi seperti kenyataan. Anam itu gali. Hobinya kalau sedang suntuk adalah membakar Kopaja. Kalau ada preman malak terus lihat muka Anam, malah Anam yang dikasih duit. Belum lagi belakangan dia menumbuhkan kumis yang melintang panjang. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Kata Azwar, Cah Ekspresi yang tinggal satu kos bareng Anam, dia sering memergoki Anam memarahi akamsi (anak kampung sini) dekat kos.

“Kalau akamsi sudah berisik, Anam keluar sambil ngomong, ‘ada apa ini?'”

“Lha trus piye?”

“Ya akamsine keweden to, cuma ngomong ‘enggak bang, gak ada apa-apa kok bang’.”

Azwar dan Anam ini dua kawan dekat. Meski Azwar tak mau mengakui itu. Sewaktu pindah ke Jakarta, Azwar diajak Anam untuk tinggal satu kos. Yang diajak mau, sembari berikrar akan menjaga sikap dan jadi anak baik. Cukup sudah jadi mahasiswa edan selama di Jogja. Di Jakarta dia mau jadi manusia yang lebih bermoral. Maka tibalah hari Anam mengenalkan Azwar pada bapak kos.

“Pak, kenalkan ini Azwar. Dia homo lho.”

Azwar tertegun. Buyar sudah rencananya untuk jadi anak baik-baik di depan bapak kos.

“Anam iku nang ngarep bapak kos yo misah misuh kontal kont*l, jembat jemb*t. Sampe bapak kos iki ngelus dodo. Akhire yo aku melu-melu,” kata Azwar.

Kami yang mendengar cuma bisa ngekek.

Dengan segala reputasi Anam yang seperti itu, wajar kalau saya dan Cah Ekspresi lain seperti Panjul, Yandri, Habib, juga Azwar, mengira kalau Anam akan butuh waktu lebih dari dua puluh purnama untuk cari perempuan yang mau diajak menikah.

Hingga suatu hari Anam membuat kejutan di grup Whatsapp.

“Aku meh nikah, awal Mei,” tulisnya singkat.

Walah. Kami tahu kalau Anam punya pacar. Putri, namanya. Perempuan asli Jogja. Sama-sama jadi wartawan di ibu kota. Tapi yang kami tak sangka-sangka, kok dia mau diajak nikah sama Anam. Tapi ya itulah, beda cinta dan khilaf memang setipis helai rambut dibelah tujuh.

Sebagai lelaki urban, Anam merasa pesta bujang adalah kewajiban sebelum menikah. Maka dia mengundang anggota grup WA Dua Anak Cukup (isinya saya, Dhani, Habib, Yandri, Panjul Anam, dan Azwar. Kami sungguh lupa kenapa grup ini dinamakan seperti itu) untuk mimik-mimik lucu di Melly’s. Tapi Panjul sedang ada di Jogja, maka tak bisa ikut. Begitu pula Dhani yang lebih suka twitwar ketimbang nongkrong dengan Homo sapiens. Yandri pun tak bisa ikut karena ada acara.

Awalnya hanya ada kami berempat. Anam, Habib, Saya, dan Joni, juga Cah Ekspresi. Melly’s seperti biasa, pelayanannya agak lelet. Tapi lebih ramai ketimbang hari biasa, karena ada acara yang diadakan oleh sebuah merek minuman asal Rusia. Selain itu sempat ada dua perempuan satu meja yang berkelahi sehingga membuat penjaga keamanan turun tangan.

Merek minuman itu mengundang Candil, lelaki beroktaf tinggi yang dulu jadi vokalis Seurieus. Dia menyanyikan beberapa lagu, mulai “Don’t Wanna Miss A Thing”, “Daripada Musik Metal Lebih Baik Musik Jazz”, dan tentu saja “Rocker Juga Manusia”.

Hingga lewat tengah malam, Azwar tak juga muncul. Akhirnya Anam menelpon, dan seperti biasa, mengkont*l-kont*li Azwar. Ternyata Azwar sudah di kamar dan bersiap tidur. Tapi setelah disembur aneka rupa kont*l, dia jengah dan memutuskan untuk memesan ojek online.

Hampir 40 menit, Azwar tak kunjung datang. Kata Joni, Azwar buta arah. Benar-benar buta arah. Pernah suatu ketika Cah-cah Ekspresi ngopi di Kopikina, sebuah kedai kopi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Azwar menyusul karena dia sedang di sekitar Kota Kasablanka, sekitar 1 kilometer dari Tebet. Tak jauh. Joni pun memberi ancer-ancer.

Ternyata Azwar tak kunjung menemukan tempatnya. Sampai harus dipandu oleh Joni, via ponsel. Karena tak kunjung ketemu, akhirnya Azwar minta dijemput.

“Dan koen eruh dijempute nangdi? Meh nyampe Pulogebang cuk!” kata Joni sembari emosi.

Kami ngekek. Jarak Tebet-Pulogebang itu sudah mirip perjalanan antar galaksi.

Azwar panjang umur. Baru saja dia digosipkan, dia menelpon. Seperti sudah diduga, Azwar kesasar. Joni kesal. “Supir ojeke gak eruh dalan pisan ta?”

“Gak eruh cuk!”

Maka Joni dengan kesabaran tingkat pertapa, memberikan ancer-ancer. Telepon kemudian ditutup. Sekitar 15 menit kemudian, telepon kembali berdering.

“Aku dimudunke nang tengah dalan cuk!”

Kami ngakak. Si tukang ojeknya mungkin kesal dengan Azwar yang dari tadi tak tahu jalan. Maka dia diturunkan begitu saja di depan Circle K, yang sebenarnya tak begitu jauh dari Melly’s. Akhirnya Anam yang menjemputnya.

“Asu ancene koe Nam. Cah asu. Wong meh turu malah dikont*l-kont*li. Bajingan,” maki Azwar begitu sampai di Melly’s.

Sebenarnya yang jadi bintang malam itu ya Azwar dan Anam. Azwar dengan cerita nyasar-nyasarnya di Jakarta (di hari pertama kerja, dia yang berkantor di Senayan malah nyasar ke Cempaka Putih), dan Anam dengan cerita ditipu oleh sahabatnya sendiri.

Dulu sekali Anam punya sahabat bernama Arif Rahman, panggilannya adalah Kombor. Dia sempat ikut Ekspresi juga. Namun berakhir dengan diusir oleh Yandri, karena sebab yang tak perlu diceritakan di sini. Kombor dan Anam bagai biji pelir kanan dan biji pelir kiri. Ke mana ada Kombor, di sana ada Anam. Begitu pula sebaliknya. Tak terpisahkan.

Satu hari, Anam yang berada di Bantul menerima pesan pendek.

Kombor sudah meninggal dunia.

Anam panik. Sebagai jurnalis, dia melupakan marwah verifikasi. Apalagi sejak beberapa hari lalu Kombor memang sakit-sakitan dan memutuskan untuk pulang sejenak ke Magelang. Dengan hati yang remuk dan air mata yang tumpah sedari Bantul, Anam memicu motor kencang ke Magelang. Menjelang masuk Magelang, Anam memeriksa ponsel. Ada pesan pendek.

Kombor sudah meninggal dunia. Tapi Arif Rahman masih hidup.

Anam ditipu. Dengan tipuan yang seharusnya hanya bisa mengecoh bocah TK. Dia hanya bisa misuh-misuh.

Persahabatan mereka pecah. Anam tak pernah menyapa Kombor sejak itu. Apa karena penipuan culun itu? Bukan. Usut punya usut, persahabatan mereka pecah karena melibatkan kimpet. Lagi-lagi tak perlu diceritakan di sini. Karena itu Anam tak pernah menyapa Kombor hingga sekarang. Kombor pun tak merasa bersalah, tak merasa perlu meminta maaf.

Tapi sekadar tak disapa sudah merupakan keuntungan bagi Kombor. Sebab kalau Anam marah biasanya dia suka membakar manusia. Kalau itu terjadi, tentu Kombor sekaligus Arif Rahman sudah benar meninggal dunia. Tapi untung itu tak terjadi, sehingga sekarang kita tahu kalau Kombor alias Arif Rahman sekarang sudah jadi guru PNS di sebuah Madrasah Aliyah.

Malam itu, kami semua berbual-bual dan tertawa-tawa hingga rahang pegal. Hingga akhirnya pukul 2 pagi memaksa kami untuk bersiap pulang. Anam dengan gagah minta bon. Sebagai orang yang akan menikah, dia yang membayar semua pengeluaran pesta bujang.

Ternyata angka yang tertera di bon melebihi uang yang dibawa Anam. Anggap saja total kerusakan ada di angka kepala 7. Tapi Anam cuma membawa uang dengan angka kepala 3. Bahkan tak sampai separuhnya.

“Bib, nyilih duitmu disik,” kata Anam sembari cengengesan ke Habib.

“Ancene cah bajingan. Duit cuma semono kok gaya-gayaan pesta bujang. Mbok mending nang warung kopi wae murah meriah. Ra mashoook, asuuuu!” Azwar memaki-maki.

Tanggal 8 Mei 2016, Khairul Anam akan menikah. Semoga setelah menikah, gairahnya untuk membakar kopaja maupun menakut-nakuti akamsi hilang dengan sendirinya. Selamat menikah, Nam! Semoga acara sukses tanpa onak, dan Putri tetap khilaf hingga maut memisahkan. []

Leave a Reply

Your email address will not be published.