Sejarah Rusia banyak bertabur dongeng ajaib dan penuh intrik.
Coba tengok kisah pembangunan katederal St. Basil yang selalu dituturkan turun temurun. Bangunan dengan kubah berwarna-warni mirip permen lolipop ini dibangun di masa Ivan The Terrible, atau Ivan yang Mengerikan pada 1555. Arsiteknya adalah Barma dan Postnik Yakovlek. Setelah bangunan ini selesai, dua orang arsitek malang ini dibutakan agar tak bisa membuat bangunan yang sama indahnya.
Kita tahu ini dongeng belaka. Sebab Postnik diketahui membangun beberapa tetenger lain, termasuk tembok Kazan Kremlin. Tapi kita tak peduli, sebab dongeng arsitek yang dibutakan ini begitu menarik hati.
Ada lagi kisah ajaib tentang orang Rusia. Kali ini tentang salad Olivier, salad tradisional Rusia yang juga populer di beberapa negera seperti Iran, Israel, dan Mongol.
Meski jadi makanan kebanggaan Rusia, ternyata makanan ini dibuat oleh juru masak Belgia bernama Lucien Olivier. Saat itu, titimangsa 1860-an, Olivier membuka restoran Hermitage –sekaligus jadi chef– yang begitu kondang di Moskow.
Olivier menjaga resep salad itu sama seperti guru Kungfu menjaga jurus rahasia. Orang hanya bisa mengira belaka apa saja komposisinya. Kalau bahan sih mudah ditebak. Potongan kentang rebus, wortel, kacang polong, acar timun yang direndam bersama adas sowa (dill), dan potongan daging ayam. Namun sausnya? Hanya tuhan, setan, dan Olivier yang tahu.
Resep ini tetap menjadi rahasia hingga berpuluh tahun kemudian dan hanya bisa disantap di Hermitage. Namun Ivan Ivanov, asisten Olivier, berusaha mencuri resepnya. Saat Olivier tak ada di dapur, Ivan menyelinap dan mengamati Mise en place (bahasa Perancis untuk menyebut jejeran bahan baku yang disiapkan oleh seorang juru masak) Olivier. Dari sana, dia mengira-ngira resep salad Olivier.
Setelah itu Ivan berhenti dan bekerja di restoran Moskva. Dia kemudian membuat salad yang serupa, bernama stolichny. Sengaja dibuat untuk menandingi salad Olivier. Namun menurut para kritikus makanan kala itu, rasa salad milik Ivan masih di bawah salad Olivier.
“Pasti ada bahan yang tertinggal,” kata para kritikus itu.
Meski tak bisa menyamai salad Olivier, Ivanov berjasa menyebarkan resep tiruan-yang-tak-persis-persis-amat itu. Dia menjual resepnya ke banyak penerbit buku resep masakan. Hal ini membuat salad Olivier jadi populer dan tersebar. Namun hingga restoran Hermitage ditutup pada 1905 dan Olivier pergi dari Rusia, tak ada yang benar-benar bisa menyamai resepnya.
Resep pertama salad ala Olivier dicetak pada 1894. Terdiri dari setengah burung belibis, dua kentang, satu timun kecil, 3-4 helai daun selada, 3 bagian ekor udang karang berukuran besar, 1/4 cangkir aspik (sejenis agar-agar yang terbuat dari kaldu ikan atau kaldu daging) dipotong dadu, satu sendok teh capers (buah-buahan semak berukuran kecil khas Mediterania), 3-5 butir zaitun, dan 1/2 sendok makan mayonaise.
Sejak itu resep salad Olivier pun menjadi beragam, variatif tergantung selera pembuat. Resep asli milik Olivier? Masih tetap menjadi mitos, bahkan hingga sekarang.
***
“Otw ke bawah ya. Orangnya pakai topi biru.”
Saya menerima pesan pendek itu di sebuah Minggu yang cerah. Anak-anak bermain di taman. Bapak-bapak agak menjauh sembari merokok dan bercengkrama. Tak sampai 5 menit menunggu, pria bertopi biru itu datang juga.
“Assalamualaikum, aku Muhammad. Senang bertemu denganmu,” ujarnya sembari mengulurkan tangan.
Seorang pria Rusia berdiri di depan saya. Tingginya sekitar 175 centimeter. Kulitnya putih. Berjanggut tipis dan berkacamata. Muhammad bersama istrinya, Marlina, adalah pemilik Spasibo, usaha makanan pesan antar masakan Rusia. Sepengetahuan saya, ini adalah usaha makanan Rusia satu-satunya di Jakarta saat ini. Pesan antar pula. Pasangan ini memang belum membuka restoran.
Memulai usahanya di Bogor sekitar 3 bulan silam, Muhammad berkeliling jalan kaki sembari menjajakan pelmeni, semacam dumpling khas Rusia. Makanan ini adalah kebanggaan para kamerad Rusia. Pelmeni populer karena mudah dibuat dan mengenyangkan. Campuran antara karbohidrat dari tepung dan protein dari daging. Saking populernya, hingga ada anekdot Rusia yang mengatakan: selama kamu punya persediaan pelmeni, kamu tak akan kesusahan.
Resep isian pelmeni klasik adalah daging (kau bisa pakai ayam, sapi, atau babi), bawang bombay yang dibumbui garam dan lada hitam. Namun makanan memang tak punya bentuk baku. Pelmeni berkembang jadi banyak versi. Ada yang menggunakan daging ikan, jamur, atau lobak sebagai pengganti daging, ada pula yang menambahkan marjoram: rempah Mediterania yang bercitarasa mirip jeruk.
Karena menyajikan makanan halal, Muhammad memakai daging sapi sebagai isian. Namun ternyata makanan ini kurang laku. Karena ketika menjajakan pelmeni sembari berjalan kaki, makanan itu tidak lagi hangat. Padahal pelmeni lebih enak disantap ketika masih hangat.
Muhammad dan Marlina putar otak. Akhirnya disepakati usaha pesan antar dan dipasarkan melalui Instagram. Untuk menjaga mutu, mereka memasak berdasar pesanan. Karena produk yang unik dan harganya yang murah, makanan mereka cepat sekali habis. Mereka sampai kewalahan.
Didorong rasa penasaran, saya mencoba memesan paket makanan mereka. Isinya 7 butir pelmeni, satu tangkup salad Olivier, dan dua helai blini, alias panekuk ala Rusia yang lebih tipis dan disajikan dengan cara dilipat hingga berbentuk segitiga. Harganya hanya Rp25 ribu.
Karena takjub dengan kisah salad Olivier, maka saya mencobanya terlebih dulu. Ada potongan kentang rebus, wortel yang dipotong dadu kecil, kacang polong, potongan sosis, dan ini yang spesial: timun yang diacar bersama adas sowa. Semua bahan itu kemudian diaduk dengan saus mayonaise.
Rasanya unik. Ada sedikit rasa asam manis dari mayonaise. Sedangkan kecut segar dihadirkan oleh acar timun. Adas sowa menguarkan wangi serta menghadirkan rasa manis sedikit pahit, nyaris sama seperti jintan atau rosemary. Adas sowa ini juga konon berfungsi menajamkan rasa asam pada acar timun.
Sedangkan pelmeninya tak kalah menarik. Kulit pembungkusnya lebih tebal ketimbang pembungkus pangsit atau dimsum. Isinya adalah daging ayam cincang dan bawang bombay yang dibumbui garam serta lada hitam, ringan saja. Pemakaian daging ayam dikarenakan pengalaman menjajakan pelmeni daging sapi yang kurang laku.
“Selain itu, daging ayam juga lebih juicy,” kata Muhammad.
***
Sebagai seorang juru masak, Muhammad sedikit unik. Dia punya dua sisi bertolak belakang. Tumbuh sebagai juru masak yang berkembang dari rumah dan memasak makanan Rusia rumahan, dia konservatif. Bisa ditengok dari sikapnya yang bersikeras untuk memasukkan adas sowa dalam salad Olivier-nya. Meski saya sama sekali tak keberatan dengan itu, menurut Marlina, kebanyakan konsumennya yang orang Indonesia tak suka adas sowa yang rasanya tajam. Selain itu, Muhammad juga teguh untuk membuat acar timun sendiri ketimbang beli di supermarket. Padahal membuat acar timun untuk masakan Rusia membutuhkan kesabaran dan waktu yang lama.
“Aku memakai air gara yang sangat asin,” katanya.
Kemudian Muhammad akan menambahkan cuka, bawang putih, lada hitam, dan tentu saja adas sowa. Bahan-bahan itu akan direbus. Setelah dingin, baru masukkan timun. Acar itu akan dimasukkan dalam toples kaca. Kadang, sebagai variasi, dia juga membuat acar tomat. Saya membayangkan rasa asam tomat yang direndam dalam larutan cuka dan garam. “Istriku gak suka,” kata Muhammad sembari tertawa kecil.
Sewaktu saya datang ke rumah mereka, saya menyaksikan romansa yang intim dan penuh canda. Mereka kerap berdebat kecil tentang hal-hal yang remeh temeh Seperti apakah Turki itu berada di Eropa dan Asia, atau Eropa dan Timur Tengah.
Namun Muhammad tak selamanya juru masak konservatif. Dia menambahkan beberapa bahan yang sebenarnya nyaris tak ditemukan dalam kultur makanan Rusia. Seperti oregano atau rosemary. “Asal rasa dan wanginya enak, why not?”
***
Mungkin tak banyak dari kita yang tahu tentang makanan Rusia. Mungkin terbatas pada kaviar, borscht, atau malah air suci bernama vodka. Nama seperti coulibiac, knish, kvass, pirozkhki, solyanka, atau vatrushka, masih terdengar begitu asing dan terasa jauh. Perang dingin yang membuat kita mencurigai –atau malah membenci– Uni Sovyet dan segala produknya, juga berperan besar dalam minimnya pengetahuan soal khazanah kuliner Rusia.
Padahal makanan Rusia punya kekayaan rasa maupun pengaruh. Dekat dengan Asia, India –jangan lupa kuliner India adalah salah satu yang paling luhur dan berpengaruh di dunia– hingga Eropa, membuat masakan Rusia punya bentuk maupun rasa yang menerabas sekat. Belum lagi masakan para nomaden yang tinggal di bawah kaki pegunungan Ural, yang juga menyerap banyak pengaruh dari tempat lain.
Muhammad masih ingat beberapa masakan yang kerap dimasak ibunya. Orlov, salah satunya. Kata Muhammad, makanan ini juga dikenal sebagai beef by France sebab dibuat oleh juru masak asal Perancis bernama Urbain Dubois. Secara penyajian, orlov nyaris mirip dengan lasagna. Menata bahan lapis demi lapis. Bedanya, orlov memakai daging pinggang sapi yang diiris tipis, sedang lasagna memakai daging cincang.
“Orlov juga gak pakai pasta, tapi potongan tipis kentang dan bawang bombay,” kata Muhammad.
Selain orlov, Muhammad masih ingat betul plov yang dimasak ibunya. “Itu memang bukan makanan tradisional Rusia, tapi itu masakan andalan ibuku.”
Plov memang makanan pengembara. Menembus teritori. Masakan berbahan dasar beras ini bisa ditemui di Afghanistan, Armenia, Azerbaijan, Bangladesh, Turki, hingga Uyghur. Mereka mengenalnya dengan sebutan pilaf. Di India, masakan ini dikenal sebagai pulao dan bisa ditemui di teks Mahabharata. Sedangkan Rusia menyebut masakan ini sebagai plov.
Resep makanan ini berkembang seiring waktu dan perbedaan teritori. Di Azerbaijan dan Uzbekistan (dua Negara yang kerap didaku sebagai kampong halaman plov) ada ratusan resep yang berbeda.
“Aku akan memasak plov sekarang,” kata Muhammad sembari tersenyum.
Sebelumnya Muhammad sudah merebus potongan daging sapi dalam waktu sekitar 1-2 jam. Menurutnya, daging sapi di Indonesia agak berbeda dengan yang ada di negaranya. Di Indonesia, dagingnya cenderung alot. Karena itu merebusnya agak lama.
Kebanyakan makan suap sih, batin saya.
Setelah merebus daging, Muhammad menyiapkan cacahan bawang bombay. Dia juga mengiris wortel dengan bentuk memanjang. Bawang bombay ditumis dengan minyak kelapa terlebih dulu. Di Rusia, kebanyakan orang memasak dengan minyak bunga matahari. Namun karena di sini mahal, dan Muhammad enggan memakai minyak kelapa sawit, maka dia menggunakan minyak kelapa yang lebih sehat dan lebih berhasil mengeluarkan aroma. Sebentar saja, wangi bawang tumis memenuhi ruang apartemen satu kamar yang dihuni Muhammad dan Marlina.
“Kamu pakai beras basmati?” tanya saya.
“No, beras biasa aja.”
Marlina sempat bercerita kalau mereka sempat memakai beras organik. Ternyata tidak berhasil. Beras organik terlalu cepat matang. Padahal plov dimasak dalam waktu yang agak lama.
“Akhirnya pakai beras biasa aja,” kata Marlina.
Setelah bawang bombay dan wortel sudah agak layu, Muhammad menuangkan kaldu sapi sekira 500-700 mililiter. Baru beras dimasukkan. Muhammad juga menaburkan bubuk kari dan rosemary. Tutup panci. Kemudian tunggu hingga air asat.
Saat itulah Muhammad memasukkan 7 butir bawang putih. Utuh, tidak digeprek. Matikan apik, tutup Teflon, dan tunggu hingga 10 menit.
Saya alpa menanyakan kenapa bawang putihnya tidak digeprek. Namun setelah mencicipi plov ini, saya menduga agar rasa bawang putihnya tidak dominan. Plov yang dimasak Muhammad memang bercitarasa ringan. Tidak terlalu asin. Dengan sentuhan bubuk kari yang samar.
Menu lain yang disajikan oleh pasangan ini adalah manti, saudara sedarah pelmeni. Secara akar, mereka mirip dumpling: isian yang dibungkus dengan kulit berbahan dasar tepung. Namun bentuk dan cara masaknya berbeda. Jika pelmeni yang disajikan Muhammad berbentuk bulan sabit, maka mantinya berbentuk persegi dengan pertautan di tengah. Kalau pelmeni dimasak dengan cara direbus, maka manti dikukus. Isian yang digunakan pun berbeda. Pelmeni ala Muhammad berisi cacahan daging ayam dan bawang bombay. Sedang manti berisi cacahan daging sapi, bawang bombay, dan kentang rebus. Dua-duanya mengandalkan rasa enteng bubuk kari.
“Sebenarnya hampir semua makanan Rusia lebih enak kalau pakai smetana,” kata Muhammad. “Kami memakai smetana di semua makanan. Borscht, untuk cocolan pelmeni atau manti, juga untuk salad.”
Tapi smetana tak ada di Indonesia. Jadi kadang diakali dengan mencampur mayonaise dan saus sambal. Ini lebih cocok untuk lidah Indonesia, saya kira.
***
“Kampung halamanmu dingin?”
“Gak juga kok.”
“Berapa suhunya di hari biasa?”
“Ya mungkin nol derajat.”
Saya nyengir.
Muhammad berasal dari kota Neftekamsk, Republik Bashkortostan. Jaraknya 220 kilometer dari Ufa, ibu kota Bashkortostan. Kota Neftekamsk dikenal sebagai kota industri sekaligus kota budaya di Bashkortostan. Sewaktu bekerja di sebuah perusahaan logistik, Muhammad pernah rapat dengan…Mikhail Kalashnikov! Iya, sang pencipta senjata AK 47 yang legendaris itu.
Maaf, itu tadi intermezzo.
Bashkortostan, kalau ditulis abjad Romawi, sekilas gampang. Diucapkan pun, walau harus mendengar dua kali, bisa dimengerti. Tapi coba baca Bahasa Rusianya: Респу́блика Башкортоста́н. Mata saya langsung juling.
Kawasan ini berada di kaki gunung Ural, hawanya selalu menjamin pria negara tropis menggigil. Apalagi kalau sedang musim dingin. Suhu bisa jatuh hingga -20 celcius. Republik (setara dengan Provinsi di Indonesia) ini dikenal sebagai kawasan yang kaya akan hasil tambang. Di sana Muhammad lahir dan tumbuh besar.
“Yang selalu aku rindukan dari kampung halaman adalah pemandangannya yang indah dan juga musim salju,” katanya.
“Tapi aku juga senang di Indonesia. Karena selalu musim panas di sini. Buah dan sayur segar selalu tersedia setiap hari,” kata pria yang menggemari salak dan buah naga ini.
Di kampung halamannya, saat musim panas (yang tetap saja dingin itu) para ibu rumah tangga mengumpulkan bahan makanan yang ditaruh di dalam ruang penyimpanan berdinding palet kayu yang mengizinkan suhu dingin dari luar untuk masuk. Semacam kulkas alami. Beberapa buah dan sayur diacar agar bisa tahan lama.
Pemandangan musim salju selalu mengesankan bagi Muhammad. Atap-atap rumah, juga jalanan desa, tertutupi oleh salju tebal. Cerobong dari tiap rumah mengeluarkan gumpalan asap putih abu-abu. Tanda penghuninya sedang menghangatkan diri. Di tumpukan salju yang tebal itu, kalau salju baru saja turun semalam, hanya tampak jejak binatang seperti rubah atau tupai. Sendu.
“Ya, aku rindu kampung halaman. Sudah setahun aku pergi merantau.”
“Kamu ada rencana main ke Rusia?” tanya Muhammad.
Saya menggelengkan kepala. Jauh sekali, dan tiketnya mahal, kata saya.
“Insyaallah bisa, amin,” balasnya.
“Kalau kamu mampir ke Bashkortostan, datang saja ke rumahku. Menginap di sana. Ibuku juga akan masak buat kamu,” kata Muhammad sembari tersenyum.
Kemudian saya membayangkan seorang mamochka ramah yang dengan tekun mengiris tipis lembaran daging sapi, menatanya bergantian dengan potongan kentang dan bawang dalam loyang, kemudian menuang saus keju. Atau mamochka yang memotong dadu daging sapi dan merebus beras dengan kaldu. Memasakkan sepiring plov yang mengenyangkan dan semangkuk borscht yang hangat.
Pasti enak disantap sembari memandangi timbunan salju yang baru turun semalam dan menyaksikan jejak kaki rubah terpacak di sana. []